Pagi ini ketika saya meng-klik mesin pencari GOOGLE, tampak sepasang binatang berwarna hijau. Awalnya, saya kurang paham dengan maknanya. Keingintahuan saya tiba-tiba saja membuat saya meng-klik gambar tersebut. Akhirnya, barulah saya mengerti ternyata kedua binatang hijau itu menggambarkan ayah Penguin dan anaknya.
Ternyata 12 November adalah Hari Ayah Nasional!
Bicara tentang sosok seorang Ayah mungkin akan terlalu subjektif kali ini. Tentu saja kiblat saya hanya tertuju pada satu-satunya sosok Ayah yang saya kenal dan kagumi sepanjang umur hidup hingga saat ini.
Sosok Ayah saya bukanlah sosok seorang dewa yang sempurna tiada cela. Di antara segala kekurangan, saya tetap akan "mengangkat topi" dan memberikan sebuah "Standing ovation" baginya. Saat Ayah sebenarnya mampu untuk membangun dan mengejar karirnya, ia memilih untuk untuk "mundur" dan meluangkan waktu bagi anak-anaknya.Â
Ada saat-saat ketika saya mempertanyakan keputusan Ayah dan Ibu untuk berpindah domisili ke kota yang lebih kecil saat saya berusia pra-remaja. Saya yang sejak kecil terbiasa hidup di tengah-tengah kota Metropolitan, sempat merasa tidak nyaman dengan keputusan Ayah dan Ibu saat itu.
Saat kami sekeluarga hidup di kota besar, karir Ayah di sebuah perusahaan sangat bagus. Hal ini membuat waktu Ayah bersama kami menjadi terbatas. Jujur saya, sebagai anak kecil (saat itu) saya tidak merasakan perbedaannya. Saya hanya tahu, setiap pagi Ayah mengantar saya dan adik-adik saya ke sekolah, lalu beliau langsung berangkat ke kantor. Malamnya, kala saya hendak tidur, Ayah baru tiba di rumah. Macetnya kota Metropolitan membuat Ayah tidak bisa tiba di rumah lebih awal. Terlebih lagi lokasi antara rumah dan kantor lumayan jauh. Ayah harus berjuang melewati beberapa daerah rawan macet.
Sekali lagi, saat itu saya hampir tidak menyadari perbedaannya. Buat saya, hal tersebut merupakan hal yang normal. Senin hingga Jumat, Ayah pasti jarang di rumah. Sabtu dan Minggu adalah waktu berkumpul keluarga. Ayah dan Ibu kerap mengajak kami jalan-jalan mengunjungi beberapa tempat. Kalau dipikir-pikir, betap melelahkannya menjadi seorang Ayah. Senin hingga Jumat ia harus berjibaku dengan kemacetan lalu-lintas, serta pekerjaan yang menuntut konsetrasi dan profesionalitas tinggi. Sabtu dan Minggu seharusnya meruapakan hari untuk beristirahat, namun ia pun harus "berjibaku" untuk menyenangkan kami sebagai anak-anaknya.
Saat saya mempertanyakan alasan Ayah dan Ibu memutuskan untuk pindah domisili ke kota yang lebih kecil, saya terenyuh. Sebagai seorang anak berusia pra-remaja, alasan mereka kurang bisa saya pahami saat itu. Seiring berjalannya waktu, saya pun akhirnya mengerti.
Ayah dan Ibu berkata, mereka ingin supaya Ayah punya lebih banyak waktu dengan kami, anak-anaknya. Selama ini, yang terjadi adalah, Ayah hanya melihat kami saat mengantar kami ke sekolah di pagi hari. Malamnya, Ayah hanya menyaksikan kami mengucapkan "Selamat Malam" menjelang kami menuju kamar masing-masing untuk beristirahat. Roda kehidupan seperti itu berputar terus setiap hari.Â
Ayah memiliki kerinduan untuk memiliki waktu yang cukup bersama kami, mendengarkan cerita-cerita kami di sekolah, dan lain sebagainya. Sejak saat itulah Ayah memutuskan untuk menjadi seorang wiraswastawan. Meski kondisi finansial keluarga kami tidak se"teratur" saat Ayah masih bekerja di perusahaan, namun kami sekeluarga memiki ikatan yang lebih erat.
Setiap keluarga pastilah memiliki standar idealnya masing-masing. Idealisme dalam keluarga saya belum tentu cocok diterapkan dalam keluarga-keluarga yang lain. Namun, satu hal yang saya tahu, kehadiran seorang Ayah sangatlah penting dalam pertumbuhan anak.