Kekhawatiran akan dampak buruk posisi strategis Indonesia di persimpangan lalu lintas pelayaran dunia, seperti godaan keuntungan berlipat-lipat dan pasar yang tetap terbuka membuat berbagai kejahatan di laut meluas secaraliar, seharusnya menjadi isu nasional utama yang layak diperhatikan pemerintah.
Sebagai sampel dari semua wacana potensi ancaman kelautan di Indonesia. Berada tepat di jalur persimpangan lalu lintas laut dunia, Kepulauan Riau dianugerahi keuntungan strategis. Tak hanya sebagai wilayah kepulauan yang 95,79 persen atau seluas 241.215,30 kilometer persegi adalah laut, Kepulauan Riau juga menyimpan banyak potensi kekayaan alam seperti ikan, minyak, dan gas bumi. Namun, di balik hampir 1.800 pulau di wilayah itu--394 pulau berpenghuni—hingga saat ini terus diiringi pula ancaman kejahatan lintas negara sepeti penyelundupan, perdagangan manusia, dan penyelundupan obat terlarang.
Akhir Januari lalu, publik kembali dikejutkan oleh kasus perompakaan terhadap MV Lucky Star 8 di perairan internasional di utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Meskipun perompakan tersebut berhasil digagalkan KRI Kelabang 836 yang sangat sigap, kejadian itu kembali mengundang keprihatinan. Seharusnya.
Meskipun berada di jalur perdagangan dan lalu lintas dunia yang sibuk dan hanya dipisahkan selat selebar 17 mil, nyatanya kondisi sosial ekonomi penduduk Singapura dan Kepulauan Riau sangat berbeda seperti minyak dan air. Sebagai negara kota, Singapura berkembang pesat, termasuk dalam jasa pelayanan pelabuhan, sementara Batam masih tertatih-tatih hingga kini.
Perbedaan minyak dan air itulah yang kerap diasumsikan sebagai media subur bagi timbulnya berbagai kejahatan lintas negara. Contoh sederhana, meskipun patroli laut oleh ketiga negara sangat ketat, hingga saat ini masih banyak penyelundup memasukkan rokok dari Indonesia ke Malaysia, Singapura atau menjualnya pada operator kapal asing yang melintasi Selat Malaka hanya untuk memperoleh keuntungan sekitar 0,5 hingga 1 dollar Singapura atau Rp 3.500-Rp7.000 per bungkus.
Dalam penyelundupan itu, mereka bisa mengambil dua keuntungan. Pertama, dari penjualan barang selundupan seperti kayu atau rokok. Kedua, dari hasil penjualan atau pengiriman barang-barang bekas asal Malaysia atau Singapura yang mereka selundupkan ke berbagai wilayah Indonesia.
Ya, setiap potensi ancaman-ancaman itulah yang hendaknya menjadi dorongan pemerintah Indonesia untuk peka dan tanggap menyikapi kejahatan-kejahatan di laut dengan penanganan darurat maupun terencana. Banyak antisipasi lain yang bisa dilakukan pemerintah. Memang, kehadiran terus-menerus di laut mampu mencegah terjadinya kejahatan di laut. Lebih dari itu, kerjasama lintas sektor pun menjadi sangat penting karena awal mula kejahatan di laut tetap berasal dari daratan. Penanaman jaringan intelejen di berbagai wilayah untuk mengantisipasi penyelundupan di Selat Malaka harus terus diusahakan. Selain itu, pemberdayaan ekonomi wilayah pesisir layak dipelihara dan dikembangkan karena menjadi kunci pengamanan wilayah laut Republik Indonesia. Kemiskinan yang dihadapi nelayan-nelayan Indonesia dengan mudah dapat dimanfaatkan jaringan sindikat kejahatan lalu lintas negara untuk mempermudah aksi mereka. Untuk itulah diperlukan sosialisasi yang menyeluruh oleh pemerintah daerah setempat, karena ini penting. Membangun jejaring dengan masyarakat setempat dapat membantu kinerja matra penjaga kelautan utnuk mengamankan wilayah Indonesia. Toh dari merekalah informasi-informasi awal tentang potensi kejahatan di laut bisa diperoleh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H