Film "The Insider" menceritakan bagaimana peran media televisi dalam mengkomunikasikan suatu fakta dan realita sehingga dapat mempengaruhi khalayak televisi. Diceritakan bahwa seorang mantan direktur perusahaan Roko Brown & Williamson (B & W) Tobacco Company, Jeff Wigand (Russell Crowl) dikeluarkan dari perusahaannya karena kuatnya idealisme sebagai ilmuwan. Idealisme telah mendorongnya untuk mengungkap kebohongan zat nikotin yang diklaim bukan zat adiktifi oleh para CEO. Singkat cerita ia bertemu dengan Lowell Bergman (Al Pacino), seorang jurnalis senior dan berpengalaman yang juga menjabat sebagai produser acara "60 minutes" nya televisi CBS. Usaha Bergman dengan sabar dilakukan dalam meyakinkan Wigand untuk mengangkat permasalahannya pada acara "60 minutes". Tapi akhirnya Wigand bersedia untuk diwawancarai dalam acara "60 minutes". Wawancara selesai selanjutnya tinggal dilakukan tahap-tahap editing oleh pihak redaksi "60 minutes" dalam mengemas wawancara tersebut.. Namun, usaha penayangan wawancara tersebut telah memunculkan klimaks dalam film ini. Ancaman demi ancaman yang menyerang sisi psikologis Wigand mulai dilancarkan oleh pihak B & W supaya wawancara tersebut tidak ditayangkan. Begitu juga pihak CBS News akan menerima tuntutan yang berakibat fatal dari B & W apabila menayangkan wawancara tersebut. Tuntutan berupa ganti rugi milyaran dolar dan pembelian tanpa syarat statsiun televisi CBS News merupakan implikasi dari perjanjian kerahasiaan antara Wigand dengan B & W, dimana sebelumnya hal ini tidak diketahui oleh Bergman.
Kemudian setelah terjadi konflik internal di CBS maka tayangan wawancara alternatif pun akhirnya diusulkan sebagai kompromi antara pihak CBS dengan B & W. Tayangan wawancara versi baru begitu hambar dan sama sekali tidak mengungkap kebohongan publik. Hal tersebut dikarenakan terdapat banyak penyensoran isi wawancara antara lain penyensoran pada sosok Wigand, sensor pada nama-nama CEO dan nama perusahaannya, intinya wawancara tersebut sama sekali tidak memberitakan kebenaran bagi publik atau pemirsa TV.
Singkat cerita, usaha Bergman beserta rekan-rekan kerjanya mulai dilakukan untuk menayangkan wawancara versi aslinya. Maka dengan melalui berbagai proses hukum yang rumit pada akhirnya tayangan wawancara versi asli dapat disiarkan pada khalayak pemirsa TV. Kini fakta mengenai nikotin yang tidak lain adalah zat adiktif telah diketahui oleh publik.
Berkaitan dengan tindakan tokoh utama film The Insider, baik Lowell Bergman maupun Jeff Wigand. Maka tindakan kedua orang tersebut dapat digolongkan dalam kesadaran diskursif (Priyono dalam Sosiohumaniora, 2006:212). Hal tersebut terkait dengan keberanian perjuangan kedua orang itu dalam mengungkap fakta kebenaran kepada publik mengenai kandungan nikotin dalam rokok yang diklaim oleh para CEO bukan zat adiktif. Alasan Wigand dan Bergman yang mendorongnya untuk melakukan secara sadar dalam mengungkap kebohongan, adalah faktor idelisme. Kuatnya idealisme seorang ilmuwan yang tertanam pada Jeff Wigand telah mengalahkan sisi lain dirinya yang seorang kacung para kapitalis yang hanya mencari keuntungan semata. Faktor idealisme terlihat dari perkataannya ketika ia ditanya Bergman, alasan kenapa ia keluar dari perusahaannya. Dia mengatakan "karena saya masih merasa sebagai seorang ilmuwan". Dari perkataan tersebut maka hati nurani sebagai seorang ilmuwan telah menggerakan dirinya untuk mengungkap kebohongan para CEO perusahaan rokok mengenai efek zat nikotin pada rokok yang sudah melebihi batas toleransi secara medis tetapi malah diklaim bukan zat adiktif dan tidak membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, kesediaannya untuk diwawancara dalam acara "60 minutes" merupakan implikasi dari dorongan atas idealismenya yang kuat. Hal tersebut terlihat dari pernyataan Wigand di akhir wawancaranya "jika anda (reporter "60 Minutes") bertanya, apakah saya akan melakukannya lagi, apakah menurutku hasilnya sepadan........ya,menurutku hasilnya sepadan". Pernyataan tersebut menunjukan keyakinan Wigand atas tindakannya dalam mengungkap kebohongan efek zat nikotin kepada publik.
Sementara itu, kuatnya idealisme Bergman jurnalis yang terlihat dari perjuangannya yang gigih untuk menayangkan wawancara versi aslinya hingga ke pengadilan. Konflik internal yang terjadi dalam jajaran petinggi CBS, ketika CBS News akan dituntut milyaran dolar dan pembelian perusahaan CBS oleh B & W apabila ditayangkan wawancara Wigand, tak membuat Bergman menyerah. Dalam adu argumentasi dengan petinggi CBS ia menolak intervensi pengacara dalam kegiatan jurnalistik, ia mengatakan "sejak kapan jurnalisme investigatif membolehkan pengacara untuk menentukan isi acara 60 minutes". Perdebatan tersebut sempat membuatnya berjuang sendiri karena pihak CBS tidak mau mengambil resiko besar bahkan partnernya Mike pun untuk sesaat tidak memihaknya. Akhirnya ia mendapat dukungan dari teman-temannya, sehingga keputusan penayangan harus dibawa sampai meja pengadilan.
Dalam wawancara tersebut diangkat topik sentral yaitu kebohongan atau kesaksian palsu para CEO perusahaan rokok, terutama pernyataan Thomas Sandefur CEO B & W yang berbunyi "saya percaya bahwa nikotin bukan zat adiktif"atas zat nikotin dalam rokok. Proses editing berupa pemotongan dan perangkaian adegan yang saling kontradiktif antara Wigand dan para CEO perusahaan rokok sangat ditonjolkan oleh "60 minutes". Terdapat pemotongan dan penggabungan adegan yang menarik dan menunjukan kecerdasan pihak "60 minutes" yang domotori oleh Lowell Bergman. Pada awal wawancara tersebut dimunculkan tayangan cinematik dari kesaksian CEO B & W yang berbunyi "saya percaya bahwa nikotin tidak adiktif" kemudian dilanjutkan pada pernyataan Wigand "aku percaya Thomas Sandefur memberikan kesaksian palsu......aku melihat kesaksian itu secara seksama" selanjutnya kembali ke tayangan cinematik ketika para CEO perusahaan rokok sedang bersumpah di depan Kongres. Kemudian ketika Wigand berbicara panjang lebar mengenai efek nikotin dan unsur dalam nikotin seperti coumarin yang mempengaruhi otak dan sistem syaraf, dan kebohongan-kebohongan lain yang dianggap lumrah dalam bisnis nikotin, sekilas ditayangkan proses produksi rokok tayangan tersebut memperlihatkan ratusan atau ribuan rokok secara teratur digerakan oleh mesin-mesin pabrik dan siap dikemas dalam bungkusan-bungkusan rokok.
Fakta dan realita yang ditonjolkan dalam penayangan wawancara tersebut telah menunjukan sebagai suatu konsep kemasan (packaging) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang diberitakan. Realitas yang dikemas atau disajikan secara menonjol mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas. Dalam tayangan tersebut sekilas ditayangkan proses produksi ribuan rokok. Hal tersebut secara implisit menyampaikan pesan bahwa rokok itu berbahaya terlepas apakah nikotin yang dikandungnya lebih berbahaya dan lebih memerikan efek adiktif karena penggunaan teknologi. Pada akhir film tersebut ketika tayangan wawancara berhasil disiarkan secara utuh kepada pemirsa TV, diperlihatkan sekilas berbagai individu dari berbagai kategori sosial sedang menyaksikan tayangan wawancara tersebut. Fakta dan relita dalam film The insider telah diketahui oleh publik, pada akhirnya penilaian objektif atas fakta dan realita pada layar televisi ditentukan oleh masing-masing individu yang berasal dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi, budaya, dan politik.
Identifikasi dari segi kode etik dan hukum jurnalisme, ditemukan beberapa komplikasi pada film ini. Keberanian Wigand untuk mengungkap kebohongan zat nikotin yang diklaim bukan zat adiktifi oleh para CEO, merupakan implikasi dari terlaksananya Deklarasi Universal HAM. Dan bisa saja kasus seperti ini sangat memungkinkan untuk terjadi di Indonesia. Keberanian Wigand seperti itu sangat dihargai melalui UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan meyampaikan pendapat di muka umum, apalagi sampai mengungkapkan kebohongan publik. Lalu yang terakhir tindakannya itu juga memenuhi UUD 1945, pasal 28 butir F (amanded).
Kasus seperti ini dimungkinkan terjadi di Indonesia, tapi jujur saya meragukan sisi newsworthiness-nya sendiri (kelayakan berita), apakah dia semata-mata untuk pemenuhan pragmatisme saja, hanya mengandalkan profit yang bakal dituai dari wawancara itu, ataukah benar-benar idealisme yang akan muncul, seperti pada film ini tindakan Wigand yang semakin meneguhkan keberadaannya sebagai seorang (mantan) ilmuwan dan Bergmen yang membela mati-matian kebenaran yang diungkapkan Wigand, hingga akhirnya Bergmen harus dipecat dari pekerjaannya sebagai produser CBS. Yaaaa.... Media-media di Indoensia pun antara sisi pragmatisme dan idelaisme masih beda tipis. Tapi sejujurnya mayoritas media semuanya mengedepankan sisi pragmatisme saja, asal perut mereka kenyang saja, TV One misalnya sebagai televisi infotainment, bagi saya.
Saya meragukan jika kasus ini terjadi di Indonesia apakah keberadaan Wigand sebagai sesama manusia kita terlindungi dengan baik. Yang terjadi di Amerika saja seperti itu (banyak mata-mata dikirim untuk membuntuti segala macam yang dilakukan Wigand dan berimbas kepada psikologis juga keluarganya), apalagi di Indonesia. Mengenai pelaksanaan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14 tahun 2008, pasti akan sulit dilaksanakan. Mengingat peradilan di Indonesia masih dibayang-bayangi konsep 'hatzai artikelen' kiriman Belanda dan lagi sudah menjadi konsumsi publik jika ada permainan uang dalam setiap pengadilan (permainan korupsi, jelas), meski tidak selalu. Tapi dijamin saja, jika itu melibatkan perusahaan / institusi besar dan mereka punya relasi kuat pada pemerintah, pada akhirnya kebenaran selalu yang dikalahkan, hingga memunculkan sekumpulan komunitas "the spiral of silent", orang-orang yang tidak berani menyuarakan kebenaran yang ada, mereka cuma bisa diam. Itu sama saja demokrasi tidak jalan, mematikan kreatifitas dan idealisme apalagi kontrol sosial di masyarakat sudah tidak digubris. Kalau seperti ini apakah masih disebut Indonesia??
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI