Terkadang sesuatu hadir begitu sederhana, namun mengukir indah dan menusuk tajam di akhir cerita. Semua itu sempat aku sebut "Jatuh cinta".Â
"Tanggal berapa kamu akan mulai jadian sama Bernard?" tanya seorang teman laki-lakiku. "Udah mulai pendekatan sih, tapi aku ingin cepet cepet ngerasain kenangan bersamanya. Saling menatap dan saling memperbaiki (revisi) dan sama sama dipersalahkan (dosen) dia dicoret (skripsi) tapi aku yang merasakan sakit katanya. Oohh sungguh aku ingin cepat bersama kenangan itu. Trus kita ngerasain bahagia sama sama (wisuda). Tunggu ya sayang, ini juga baru pdkt kok.. " jawabku sambil mengkhayal mimpiku yang pengen cepet kelar kuliah dan ingin merasakan cinta dari laki-laki yang aku sukai sejak kelas 2 SMP.
Siang itu dimana hari masih berjalan seperti biasa, ketika aku sedang bersantai ria di teras rumah. Tiba-tiba Bernard memanggilku, "Birgit...Birgit..!" suara itu, suara yang pernah ada yang menggetarkan hatiku dulu terdengar kembali. Aku kaget, dan menjawab sinis "Kenapa?". "Lo udah ibadat minggu di gereja belom?" kata Bernard. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aku harapkan dan sekaligus membuatku terbang kembali, dan memacu detak jantungku. "Belom." jawabku singkat. "Yaudah, lo gereja bareng gue aja ya ntar sore. Lo yang nentuin tempat mau gereja mana? Gue kesini lagi nanti.." balas dia sambil tersenyum sinis.
Bahagia banget rasanya, aku mulai menyiapkan diri mulai dari ijin ke orang tua dan akhirnya aku diijinkan, kemudian memilih pakaian dan make up yang cocok. Tanya kesana kesini apa yang harus aku pakai dan harus aku siapin. Ribet sekali intinya. Sampai orang seisi rumah pun heran melihatku. "Apa ini yang dinamakan Cinta?" batinku mulai menyadarinya.
Sore pun datang. Bernard dengan mengendarai sepeda motor miliknya memanggilku tanpa mematikan mesin sepeda motornya terlebih dahulu. Aku pun cepat berlari menghampirinya karena waktu sudah hampir terlambat. "Yuk, kita Gereja Santo Petrus & Paulus aja yaa.." kataku malu-malu. "Siap!" katanya. Bernard langsung menancap gas dan sampailah di tempat yang menjadi tujuanku. Malang sekali, di luar dugaannku. Ternyata gereja itu tidak mengadakan misa di minggu sore. Aku dan Bernard sempat mengalami pertengkaran kecil didepan gereja karena masalah itu. Tapi dengan cepat, Bernard kemudian mencari solusi untuk beralih ikut ibadat di tempat lainnya. " Gini aja, kita Gereja Santa Maria Assumpta aja.." kata Bernard dengan nada sedikit marah. Entah rasa apa yang sedang terjadi saat itu. Seneng, takut, kecewa, marah bercampur aduk jadi satu. Sambil berpegangan kuat karena kendaraan yang dikendarai sangat cepat sampai mataku tidak bisa melek sedikitpun karena hempasan angin yang terlalu kencang dari depan yang mengenai tepat dimukaku. Puji Tuhan, sampai juga kita di tempat ibadah yang dituju.
Semenjak kejadian pertengkaran kecil tadi, aku dan Bernard hanya diam saja. Karena sudah terlambat untuk mengikuti ibadat di gereja tersebut maka aku dan Bernard mendapat tempat duduk di sisi luar gereja. Selama ibadat berlangsung kita fokus kepada Tuhan. Setelah selesai ibadat, suasana hati yang dingin masih saja terjadi, aku dan Bernard hanya tersenyum saat kita membagikan salam damai kepada orang terdekat kita. Sungguh, suasana yang tidak mengenakkan. Sesampainya dirumah, malam sudah terlalu malam, kita akhirnya saling meminta dan memberikan maaf atas apa yang baru saja terjadi. "Maafin gue tadi yaa, gue kebawa emosi. Udah dulu yaa, terimakasih udah nemenin gue.." katanya. Pelukan terhangat pun aku dapatkan malam itu. Aku lega saat itu juga. Â
Hari berikutnya, adalah hari dimana aku harus meninggalkan kota kelahiranku. Berat rasanya, tapi demi masa depanku, maka aku harus pergi. Saat itu, aku sebenarnya sudah mendaftarkan diri sebagai mahasiswi di PTS tempat kelahiranku, tetapi karena aku ingin menjadi pribadi mandiri maka aku memutuskan untuk tidak melanjutkan studiku disana. Dan pada akhirnya, tanpa sepengetahuan aku, Bernard memutuskan dirinya sendiri untuk memilih meneruskan mimpiku melanjutkan studi di PTS yang memiliki jurusan yang sama dengan impianku dulu di tempat kelahiranku. Akibat dari long distance, hidup kita pun mulai berjalan masing-masing.Â
Lama-kelamaan aku lost contact dengan Bernard. Aku mulai menjalani dan nyaman dengan hidup baruku di ibukota. Ucapan terakhir hanyalah "Selamat Natal Birgita!" itupun aku yang memulai mengucapkan salam itu terlebih dahulu. Terkadang aku masih teringat dengan kenangan-kenangan indah yang pernah kita lakukan bersama.Â
Setahun kemudian, aku mendapat kabar dari temanku bahwa Bernard sudah mempunyai seorang pacar. Aku jadi teringat pesan terakhir dia "Kita saling mendoakan aja yaa.." Saat itu aku pun malah mengartikannya begini "Bukan saling mendoakan, melainkan saling menduakan kali yaa." Entah, aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu.Â
"Lo masih belom bisa move on sama si banci itu?" tanya teman dekatku yang sempat membuyarkan lamunanku pagi itu. "Udah, tenang gue udah bisa move on ko." kataku. "Jangan sok tegar lo!" Kata-kata itu yang terdengar seperti kilat yang akan menyambar cepat di tubuhku. "Sudahlah." kataku menyudahi obrolanku yang kemungkinan akan menjadi sangat panjang jika masih tetap diteruskan. Inilah kisah terakhir aku bersama Bernard, kita mempunyai tujuan kehidupan masing-masing yang berbeda. "Terimakasih sudah pernah mengisi sebagian dari kehidupanku, Bernard" ucap batinku sambil mengikhlaskannya.
Bahagia itu kita. Kita yang hanya sebatas pernah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H