Jika nanti saya kaya, saya akan mendirikan sebuah yayasan. Saya akan menamakan yayasan itu Yayasan Sayang Guru. Yayasan ini akan saya danai sendiri supaya saya sebagai pemilik yayasan tidak akan menyalah gunakan dana yang ada untuk keperluan yang tidak sesuai dengan AD/ART-nya.
Apa sebabnya saya ingin mendirikan Yayasan Sayang Guru? Beginilah ceritanya:
Pada tanggal 10 Juli, 2010 saya bereuni dengan teman-teman SMA saya. Selain senang sekali bertemu kawan-kawan masa remaja dulu, hati saya terharu juga. Terharu karena guru-guru saya yang dahulu adalah orang-orang yang sederhana ternyata sampai sekarang juga masih sederhana. Bahkan, mereka tampak semakin "sederhana" dimakan oleh usia. Beda sekali dengan kami~anak-anak didik mereka yang dahulu "culun"¾yang sejalan dengan waktu tampak glamour. "Jaman gak enak" telah berlalu bagi kami¾setidaknya bagi sebagian besar dari kami.
Mengapa guru-guru kami yang sederhana itu tidak pernah berubah menjadi lebih glamour? Jawabannya pasti sudah bukan rahasia umum lagi: honor guru tidak pernah glamour!
Mengapa gaji guru tidak pernah glamour? Mengapa, mengapa, mengapa? Itu pertanyaan yang sampai sekarang saya tidak berani menjawabnya.
Saya teringat, seorang guru saya ber puluh-puluh tahun yang lalu pernah berkata di depan kelas, "Nanti kalian kalau sudah kerja, kalian akan jadi "orang" dan naik mobil. Dan gurumu ini akan kalian lewati...wes, wes, wes...karena masih naik sepeda." Waktu itu, ketika belum jadi "orang" saja, hati saya merasa terenyuh mendengar hal itu. Saya mengerti pada saat itu memang demikianlah kondisi guru; sederhana.
Ternyata sampai kini, berpuluh-puluh tahun kemudian setelah saya jadi "orang" (menikah dan punya anak-anak), kondisi guru-guru saya masih sederhana. Guru-guru anak-anak saya juga keadaannya sederhana, walau sebagian dari mereka sudah memiliki telepon selular dan naik motor untuk pergi mengajar (tidak lagi naik sepeda dan ada juga yang sudah naik mobil).
Mengapa, mengapa, mengapa?
Di sekolah ada guru-guru yang "killer" dan tukang "bully" terhadap murid-muridnya. Mengapa? Seorang dosen memberikan sebuah jawaban yang masuk akal (walau belum tentu 100 persen benar): "Guru menindas murid karena guru berpikir apa sebabnya dia harus baik terhadap muridnya? Guru hidup dalam keterbatasan, sedangkan murid hidup dalam kemewahan. Murid tidak menghargai gurunya karena gurunya tampak asor. Jadi mengapa murid-murid yang tak pernah menghargai jerih-payah guru ini harus dikasihani?"
Di sisi lain, ada juga murid-murid yang mem-"bully" guru-guru mereka. Mengapa?
Nah, di sinilah terjadi sebuah lingkaran setan. Murid-murid yang berkecukupan ini melihat gurunya yang sederhana dan merasa diri mereka "di atas angin", maka mereka bersikap meremehkan. Murid-murid mulai menunjukkan sikap yang liar, misal tidak menghargai upaya guru di depan kelas, melecehkan dengan kata-kata dan lain-lain. Maka guru mulai berekasi negatif, dibalas dengan negatif pula oleh murid. Dan siklus ini berlangsung terus.