Mohon tunggu...
Martha Pratana
Martha Pratana Mohon Tunggu... lainnya -

Menjadi ibu dan menjadi istri dan menjadi diri sendiri (menyunting, menerjemahkan, menulis, memasak, makan-makan, kumpul-kumpul, dan jalan-jalan)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jika Nanti Saya Kaya

29 Juli 2010   06:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:31 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jika nanti saya  kaya, saya  akan mendirikan sebuah yayasan. Saya akan menamakan yayasan itu Yayasan Sayang Guru. Yayasan ini akan saya danai sendiri supaya saya sebagai pemilik yayasan tidak akan menyalah gunakan dana yang ada untuk keperluan yang tidak sesuai dengan AD/ART-nya.

Apa sebabnya saya ingin mendirikan Yayasan Sayang Guru? Beginilah ceritanya:

Pada tanggal 10 Juli, 2010 saya bereuni dengan teman-teman SMA saya. Selain senang sekali bertemu kawan-kawan masa remaja dulu, hati saya terharu juga. Terharu karena guru-guru saya yang dahulu adalah orang-orang yang sederhana ternyata sampai sekarang juga masih sederhana. Bahkan, mereka tampak semakin "sederhana" dimakan oleh usia. Beda sekali dengan kami~anak-anak didik mereka yang dahulu "culun"¾yang sejalan dengan waktu tampak  glamour. "Jaman gak enak" telah berlalu bagi kami¾setidaknya bagi sebagian besar dari kami.

Mengapa guru-guru kami yang sederhana itu tidak pernah berubah menjadi lebih glamour? Jawabannya pasti sudah bukan rahasia umum lagi: honor guru tidak pernah glamour!

Mengapa gaji guru tidak pernah glamour? Mengapa, mengapa, mengapa? Itu pertanyaan yang sampai sekarang saya tidak berani menjawabnya.

Saya teringat, seorang guru saya ber puluh-puluh  tahun yang lalu pernah berkata di depan kelas, "Nanti kalian kalau sudah kerja, kalian akan jadi "orang" dan  naik mobil. Dan gurumu ini akan kalian lewati...wes, wes, wes...karena masih naik sepeda." Waktu itu, ketika belum jadi "orang" saja, hati saya merasa terenyuh mendengar hal itu. Saya mengerti pada saat itu memang demikianlah kondisi guru; sederhana.

Ternyata sampai kini, berpuluh-puluh tahun kemudian setelah saya jadi "orang" (menikah dan punya anak-anak), kondisi guru-guru saya masih sederhana. Guru-guru anak-anak saya juga keadaannya sederhana, walau sebagian dari  mereka sudah memiliki  telepon selular dan naik motor untuk pergi mengajar  (tidak lagi naik sepeda dan ada juga yang sudah naik mobil).

Mengapa, mengapa, mengapa?

Di sekolah ada guru-guru  yang "killer" dan tukang "bully" terhadap murid-muridnya.  Mengapa? Seorang dosen memberikan sebuah jawaban yang masuk akal (walau belum tentu 100 persen benar): "Guru menindas murid karena guru berpikir apa sebabnya dia harus baik terhadap muridnya? Guru hidup dalam keterbatasan, sedangkan murid hidup dalam kemewahan. Murid tidak menghargai gurunya karena gurunya tampak asor. Jadi mengapa murid-murid yang tak pernah menghargai jerih-payah guru ini harus dikasihani?"

Di sisi lain, ada juga murid-murid yang mem-"bully" guru-guru mereka. Mengapa?

Nah, di sinilah terjadi sebuah lingkaran setan. Murid-murid yang berkecukupan ini melihat gurunya yang sederhana dan merasa diri mereka "di atas angin", maka mereka bersikap meremehkan. Murid-murid mulai menunjukkan sikap yang liar, misal tidak menghargai upaya guru di depan kelas, melecehkan dengan kata-kata dan lain-lain. Maka guru mulai berekasi negatif, dibalas dengan negatif pula oleh murid. Dan siklus ini berlangsung terus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun