[caption id="attachment_264115" align="alignleft" width="300" caption="LONTONG BALAP"][/caption] Berbicara soal makanan khas Surabaya, tak akan ada habisnya. Pasalnya, Surabaya merupakan daerah yang kaya akan makanan khas, mulai dari yang harganya sangat miring sampai yang harganya lumayan memberatkan kantong (misal rujak cingur yang dijual di salah satu kawasan di Surabaya Utara, harganya bisa mencapai puluhan ribu per porsi!). Makanan khas Surabaya, kebanyakannya mengandung petis sebagai salah satu bahan bakunya. Perhatikan saja rujak cingur yang sudah saya sebut-sebut di atas; juga tahu tek, kupang lontong, lontong mie, semanggi dan beberapa makanan yang lain. Makanan khas Surabaya beberapa waktu yang lalu sempat hampir terlupakan lantaran serbuan makanan-makanan modern, seperti burger, hotdog, steik dan lain-lain. Namun tren berubah lagi, kini makanan khas karena satu dan lain hal mulai mendapat perhatian masyarakat lagi dan kedudukannya pun mulai membaik: disajikan di tempat-tempat makan yang bergengsi dan keren seperti di restoran dan di pusat jajan di mal-mal Namun, di antara jenis-jenis makanan khas Surabaya yang derajatnya mulai naik itu, saya memerhatikan bahwa lontong balap merupakan makanan yang malahan sekarang kurang dilirik orang. Sudah berminggu-minggu ini saya sangat ingin makan lontong balap.Karena keinginan saya itu makan lontong balap, maka setiap kali keluar rumah saya selalu 'tolah-toleh' apakah dapat saya temui tempat makan lontong balap yang 'oke'. Tetapi agaknya kini penjual lontong balap susah ditemui (dibandingkan, misalnya rujak cingur).Di jalan-jalan tak mudah lagi ditemui kedai lontong balap, atau 'bakul lontong balap' seperti beberapa tahun yang lalu. Akhirnya, saya menemukan sebuah depot yang menjual lontong balap; maka saya pun mencoba mampir. Namun saya merasa tidak puas, pasalnya 'LENTO' yang menyertai hidangan lontong balap itu tidak otentik lagi, karena terbuat dari serutan ubi kayu yang dikepal-kepal lalu digoreng hingga menyerupai 'carang mas', yaitu kudapan yang terbuat dari serutan ubi jalar dan digoreng renyah hingga 'kremes-kremes'. Maka saya pun melanjutkan perburuan saya. Beberapa hari kemudian saya menjajal lontong balap di sebuah pujasera; sama juga, lentonya tidak otentik lagi karena sama dengan lento yang sudah saya uraikan di atas. Lebih parah lagi, ada satu depot yang menjual lontong balap tanpa lento sama sekali. Yang paling akhir, yaitu kemarin, saya mencoba lagi makan lontong balap di sebuah mal. Lentonya? Lentonya masih kurang otentik, namun masih tersisa jejak-jejak kekhasannya. Pertanyaannya, seberapa pentingkah lento di dalam sepiring lontong balap? Sangat penting, karena lento posisinya sama dengan rempeyek pada pecel, krupuk kanji pada tahu tek, atau emping goreng pada soto bandung...dan seterusnya. Mana asyiknya makan pecel tanpa rempeyek atau makan tahu tek tanpa kerupuk kanji? Mana sedapnya soto bandung tanpa emping goreng? Pertanyaan kedua, apa sih lento itu? Nah, lento itu adalah sejenis perkedel yang terbuat dari kacang tolo merah. Kacang tolo dilumat KASAR-KASAR sehingga masih terasa tekstur dan cita rasa alaminya, dicampur bumbu-bumbu, dikepal-kepal lalu digoreng seperti perkedel. Nantinya ia akan diremas kasar-kasar di atas sepiring lontong balap yang hangat. Pertanyaan ketiga, tetapi apakah lontong balap itu? Sederhana saja. Lontong balap adalah potongan lontong yang disajikan bersama sayur kecambah berkuah bening, potongan tahu goreng, irisan selederi, bawang goreng lalu diberi sesendok atau dua sendok sambal petis berbumbu bawang putih goreng, dan terakhir 'toping'nya adalah remukan lento seperti yang saya uraikan di atas. Nah, di sinilah pentingnya lento. Ia berfungsi menguatkan rasa hidangan ini, karena tanpa lento yang lezat, lontong disiram kuah kecambah bening akan terasa kurang menggigit. Pertanyaan selanjutnya, mengapakah kini jarang orang yang menjual lontong balap yang otentik seperti dulu? Mungkin karena makanan ini sangat sederhana, dan kurang bisa tampil gaya. Ia hanyalah potongan lontong yang disiram dengan sup sayur kecambah yang berwarna putih, tak merangsang indera penglihatan. Padahal dari segi rasa, lontong balap punya kelebihan, yaitu ia 'ringan' dan tidak 'enek': segar. Pertanyaan terakhir, bagaimanakah agar makanan khas Surabaya ini tidak punah tergerus arus modernisasi makanan yang pada zaman ini mengutamakan penampilan yang memikat mata? Jawabannya tentu saja lontong balap ini harus didandani agar cantik. Sajikan lontong balap di atas peranti makan yang modern. Tempatkan sate kerang (yang biasa menemani hidangan lontong balap) di atas piring cantik beralas daun pisang dan hiasi dengan 'garnish'. Jangan lupa, buat lento dengan resep yang otentik sehingga citarasanya dikuatkan. Foto yang saya upload di artikel ini adalah foto lontong balap yang saya nikmati kemarin. Ada gambar perkedel lento di sana, tetapi seperti yang saya katakan di atas, itu bukanlah lento yang otentik. Lento yang otentik tampilannya tidak mulus, tetapi kasar-kasar dan bulatnya tak beraturan. Ayo, buatlah lento yang otentik agar lontong balap tidak terbalap oleh makanan khas yang lain gara-gara lento yang tidak otentik lagi! (tulisan dibuat untuk: Indonesia Travel hyperlink www.indonesia.travel )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H