Iran dan Kesepakatan Nuklir
Penarikan Presiden Donald Trump dari kesepakatan nuklir Iran (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) pada tahun 2018 menciptakan lompatan signifikan dalam ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran. Langkah ini memungkinkan Trump untuk lebih memperkuat sanksi ekonomi terhadap Teheran, yang dipandang berpotensi memicu reaksi militer dari Iran. Tindakan tersebut tidak hanya menambah ketidakstabilan kawasan, tetapi juga berisiko memicu konflik bersenjata yang lebih luas, mengingat besarnya pengaruh Iran di berbagai kelompok militan dan jaringan pro Iran di Timur Tengah. Menurut laporan Institut Studi Perang, Institute for the Study of War (2021), ketegangan ini bisa memperburuk keamanan kawasan serta mempengaruhi jalur perdagangan internasional yang strategis.
Dukungan terhadap Israel
Kebijakan pro-Israel yang digagas oleh Trump tampaknya akan terus berlanjut, mencakup dukungan untuk ekspansi permukiman di tepi barat Palestina. Ini akan menambah keterpurukan hubungan antara Israel dan Palestina, menciptakan jurang yang semakin dalam di tengah ketegangan yang sudah ada. Selain itu, langkah ini bisa menghambat proses perdamaian yang sudah rapuh, membuat harapan untuk resolusi konflik semakin menjauh. Menurut laporan The New York Times, kebijakan semacam ini dapat menjadikan situasi di wilayah tersebut semakin kompleks dan penuh tantangan.-
Pengurangan Keterlibatan Militer
Keputusan untuk menarik pasukan AS dari Suriah sebelumnya telah menyebabkan kekosongan kekuasaan yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok bersenjata seperti ISIS dan milisi Kurdi. Kemenangan Trump mungkin akan melanjutkan kebijakan ini, berpotensi menciptakan lebih banyak kekacauan di kawasan tersebut.
Reaksi Internasional
Kemenangan Trump juga akan mempengaruhi bagaimana negara-negara lain merespons kebijakan luar negeri AS. Pendekatan isolasionis yang diusung Trump membuat sekutu AS merasa cemas. Mereka mungkin akan mulai mencari cara untuk mengurangi ketergantungan mereka pada Amerika dalam hal keamanan, mendorong mereka untuk menjalin aliansi baru dan memperkuat hubungan dengan kekuatan lain.
Di sisi lain, negara-negara seperti Rusia dan China melihat peluang emas untuk memperluas pengaruh mereka di Timur Tengah. Dengan AS yang semakin menarik diri, kedua negara ini berusaha untuk mengambil peran sebagai mediator dalam konflik regional, termasuk isu Israel-Palestina. Rusia, misalnya, telah aktif menjalin hubungan dengan faksi-faksi Palestina dan menawarkan diri sebagai penengah dalam upaya rekonsiliasi (BBC, 2024). Sementara itu, China berambisi untuk mengukuhkan posisinya dengan menengahi kesepakatan antara Iran dan Arab Saudi, menunjukkan bahwa mereka siap mengambil peran lebih besar di kawasan yang kaya minyak ini (DW, 2023).
Kondisi ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju tatanan yang lebih multipolar, di mana kekuatan-kekuatan baru berusaha menggeser dominasi AS. Dalam konteks ini, pertanyaan besar muncul: apakah kebijakan luar negeri Trump akan mempercepat transisi ini atau justru menciptakan ketegangan baru yang dapat memicu konflik lebih lanjut? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Dengan demikian, kemenangan Donald Trump atas Kamala Harris dalam pemilihan presiden 2024 menandai lahirnya kebijakan luar negeri "America First" yang berpotensi membawa dampak besar bagi situasi perang di Timur Tengah bahkan adanya potensi pecahnya perang dunia ketiga. Dengan pendekatan yang lebih isolasionis dan fokus pada kepentingan nasional, kebijakan ini dapat meningkatkan ketegangan regional dan mempersulit proses perdamaian antara Israel dan Palestina serta memperburuk hubungan dengan Iran. Dalam konteks global yang semakin kompleks, tantangan bagi pemerintahan baru adalah menemukan keseimbangan antara menjaga kepentingan nasional AS sambil tetap berkontribusi pada stabilitas internasional.
Meski demikian, Trump dalam pidato kemenangannya, Rabu (6/11/2024), menekankan akan memulihkan Amerika Serikat dari keterpurukan, namun ada penekanan bahwa dirinya menginginkan militer yang kuat dan berkuasa. Selanjutnya, dalam pidato tersebut juga Trump berjanji akan menghentikan perang.
Dengan "Amerika First," Trump menggambarkan bagaimana posisi Amerika setidaknya selama empat tahun ke depan yang lebih berfokus pada pemulihan nasional. Â Menarik untuk ditunggu apakah pesan tersirat Trump ini seolah-olah menggambarkan bahwa dengan agresifnya peran Amerika di Timor Tengah dan Ukraina selama ini justru merupakan biang dari segala masalah dan perang yang terjadi di kawasan tersebut (pemulihan nasional Amerika - Janji Trump: I am gonna stop the wars). Â Â