Pada tahun 1962, Indonesia tengah dalam masa transisi menuju kemerdekaan yang lebih stabil setelah periode perjuangan panjang melawan penjajah. Namun, salah satu episod gelap dalam sejarah Indonesia adalah penangkapan Kartosuwiryo, pemimpin Darul Islam yang  hidupnya berakhir dengan tragis.
Tiga kali lolos dari penangkapan, akhirnya Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo, imam DI/TII, ditangkap pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Bandung, pada 4 Juni 1962. Dia ditangkap dalam operasi bersandi Brata Yudha.
Operasi penentuan ini dilancarkan setelah pemerintah memerintahkan pemulihan keamanan di Jawa Barat harus dapat diselesaikan akhir tahun 1962. Untuk itu, Kodam Siliwangi mengadakan operasi Brata Yudha pada awal April 1962. Dalam operasi ini, Kodam Siliwangi dibantu pasukan Kodam VII/Diponegoro, Kodam VIII/Brawijaya, dan penduduk yang membentuk Pagar Betis. Pasukan inti dalam operasi ini adalah Batalion 328 Para Kujang II/Siliwangi. Untuk mengakhiri operasi anti-Darul Islam di Jawa Barat untuk selama-lamanya, aksi-aksi militer Republik ditingkatkan, April 1962. Dalam gerakan Brata Yudha, Brawijaya dan Diponegoro sekali lagi ambil bagian. Tekanan pasukan TNI dibantu Pagar Betis dalam operasi Brata Yudha berhasil membuat tokoh-tokoh DI/TII menyerahkan diri.
Van Dijk menyebut sebagian besar pemimpin DI/TII yang terdahulu, seperti Oni dan Kamran tewas dalam pertempuran. Pengganti mereka sebagian besar tertangkap, terbunuh, atau menyerah pada 1961 --ketika amnesti diumumkan dan para gerilyawan diberi kesempatan melapor sampai Oktober-- dan pada paruh pertama tahun 1962. Termasuk di dalamnya komandan militer yang utama, Haji Zainal Abidin, Jaelani Setiawan, Danu Muhammad Hasan, Adah Jaelani Tirtapraja, dan kepala rumah tangga Halinis Sospati
Adah Jaelani Tirtapraja, panglima divisi DI/TII, menyerahkan diri pada 28 Mei 1962. Buku Siliwangi dari Masa ke Masa menyebutkan bahwa dengan turunnya Adah Jaelani, maka praktis tokoh-tokoh gerombolan sudah tidak ada lagi di samping Kartosoewirjo, karena sebelumnya telah pula melaporkan diri Haji Zainal Abidin, Ateng Jaelani Setiawan, dan Toha Makhfud. Yang masih di dalam hutan adalah Agus Abdullah, panglima divisi DI/TII, dan Aceng Kurnia, pengawal Kartosoewirjo. Kesempatan menangkap Kartosoewirjo datang setelah kejadian perampokan yang dilakukan tujuh orang anggota DI/TII di Kampung Pangauban, Pacet, Kabupaten Bandung. Letda Suhanda, komandan Kompi C Batalion 328 Para Kujang II/Siliwangi, meminta izin kepada Komandan Batalion Mayor M. Sarif, untuk mengikuti jejak gerombolan itu. Dia diizinkan bergerak tapi dalam jangka waktu 2 sampai 5 Juni 1962 harus sudah kembali lagi ke posnya. Tiga peleton Kompi C Batalion 328 Para Kujang II/Siliwangi bergerak pada 3 Juni 1962. Dalam perjalanan menuju Gunung Rakutak, Peleton II di bawah komandan kompi sendiri, Letda Suhanda, menemukan jejak gerombolan yang diperkirakan berjumlah lima orang menuju Gunung Rakutak.
Keesokan harinya, 4 Juni 1962, Peleton II meneruskan pegerakannya mengikuti jejak-jejak gerombolan menuju ke arah timur sepanjang punggung Gunung Rakutak. Jejak-jejak itu kemudian membelok ke arah selatan dan terus menyeberang kali Cijaha menuju Gunung Malang. Bekas jejak itu membelok lagi ke arah timur menuju danau Ciharus. Peleton II kehilangan jejak di dekat danau itu.
Suhanda memerintahkan peletonnya menyebar untuk mencari bekas-bekas jejak yang hilang. Tanda-tanda dari jejak gerombolan ditemukan Komandan Peleton II Pelda Amir Susanto. Peleton kemudian mengikuti bekas-bekas jejak itu dengan formasi berbanjar.
Tiba-tiba anggota pengintai depan melihat gubug-gubug di depan pada jarak kira-kira 50 meter. Setelah melihat gubug-gubug itu, Suhanda memerintahkan pasukan untuk mendekatinya dengan cara merunduk. Setibanya pasukan pada jarak kurang dari 25 meter dari gubug-gubung itu, tiba-tiba terlihat pengintai lawan melarikan diri yang diikuti beberapa orang lainnya. Suhanda segera memerintahkan pasukannya melepaskan tembakan serbuan disertai teriakan-teriakan. Peleton mengembang menjadi satu lini dan dalam tempo singkat sudah berada dalam kedudukan musuh, sehingga lawan tidak diberi kesempatan untuk mengadakan perlawanan. Suhanda menyerukan agar mereka menyerah dan keluar dari persembunyian dengan mengangkat tangan. Tidak lama kemudian, seseorang menampakkan diri dengan mengangkat tangan. Dengan menyerahnya A. Mujahid, Suhanda memerintahkan pasukannya untuk menghentikan tembakan. Seorang anggota gerombolan yang memegang Owen gun terpakasa ditembak mati karena berusaha melawan.
Suhanda memerintahkan A. Mujahid agar seluruh anggotanya meletakkan senjata dan berkumpul di suatu gubug. A. Mujahid memerintahkan tiga orang anak buahnya yang dikawal satu regu dari Peleton II untuk mengumpulkan anggota gerombolan lainnya. Anggota gerombolan yang menyerah semuanya berjumlah 23 orang termasuk Kartosoewirjo dan keluarganya. Senjata yang berhasil disita sebanyak 16 pucuk. Suhanda kemudian menuju ke gubug A. Mujahid, di mana di dalamnya terdapat seseorang yang sedang berbaring. Orang yang sedang dalam keadaan sakit payah tersebut ternyata S.M. Kartosoewirjo.
Van Dijk menyebut ketika ditangkap Kartosoewirjo sakit berat. Dia menderita bawasir, tuberkulosis, dan kelumpuhan akibat luka peluru di paha kanan yang dialaminya ketika tembak-menembak dengan pasukan Republik pada akhir April 1962. Suhanda memerintahkan A. Mujahid menulis surat kepada anggota gerombolan DI/TII yang masih di hutan agar menyerahkan diri. Setelah disetujui Kartosoewirjo, surat itu ditempelkan di pohon. Karena Kartosoewirjo tidak mampu berjalan, Suhanda menugaskan anak buahnya untuk menandunya. Dalam perjalanan, Suhanda bertemu Peleton I dan bersama-sama menuju Paseh. Sedangkan Peleton III kembali ke pangkalannya pada 5 Juni 1962. Menurut Van Dijk, setelah Kartosoewirjo ditangkap, salah seorang putranya, Dede Mohammad Darda alias Dodo yang menjadi sekretaris ayahnya selama bertahun-tahun, mengeluarkan instruksi atas nama Imam dan Presiden Negara Islam, yang memerintahkan semua anggota Darul Islam yang masih berjuang agar menyerah. Sebagian besar, termasuk satu-satunya komandan Darul Islam penting yang masih bebas, Agus Abdullah, komandan Divisi Kesatu Jawa dan Madura, mematuhinya dan menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia pada 1 Agustus 1962.
Dengan penangkapan dan pelaksanaan hukuman mati terhadap Kartosoewirjo, berakhirlah pemberontakan Islam yang terorganisasi di Jawa Barat, yang berlangsung lebih dari sepuluh tahun.
Keadaan di Jawa Barat tetap tenang hingga 1976, ketika dilaporkan kegiatan baru Darul Islam secara besar-besaran di daerah ini untuk pertama kali dalam masa hampir lima belas tahun