Mohon tunggu...
Marsyananda Aurelia zahra
Marsyananda Aurelia zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Hukum Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Budaya 'Hustle' di Kalangan Mahasiswa, Sebuah Kunci Sukses atau Penghambat Kemajuan?

30 Mei 2024   21:13 Diperbarui: 30 Mei 2024   21:22 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam era digital yang semakin canggih, budaya 'hustle' telah menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa. 'Hustle' yang berarti bekerja keras dan tidak pernah berhenti, telah menjadi standar dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Budaya ini menggambarkan gaya hidup di mana seseorang terus-menerus bekerja, sering kali mengorbankan waktu istirahat dan kehidupan pribadi demi mencapai kesuksesan akademis dan profesional.

Di era digital ini, di mana prestasi dan produktivitas sering kali diukur melalui unggahan media sosial, mahasiswa dihadapkan pada tekanan yang luar biasa untuk terus bekerja lebih keras dan mencapai lebih banyak. Namun, apakah budaya ini benar-benar bermanfaat, atau justru menjebak mahasiswa dalam perlombaan tanpa akhir yang merugikan kesehatan mental dan kesejahteraan mereka?

Budaya hustle mendorong pandangan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja, semakin sukses seseorang. Mahasiswa sering kali merasa perlu untuk terus-menerus sibuk dengan jadwal yang padat, mulai dari mengikuti kuliah, mengerjakan tugas, berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, hingga magang dan bekerja paruh waktu. Tujuan utamanya adalah membangun CV yang mengesankan dan meningkatkan peluang karier di masa depan. Tidak jarang, mereka juga terlibat dalam proyek-proyek sampingan atau bisnis startup untuk menunjukkan jiwa kewirausahaan yang kini sangat dihargai.

Namun, di balik semua aktivitas ini, ada harga yang harus dibayar. Mahasiswa sering kali mengabaikan kebutuhan dasar seperti tidur, makan dengan teratur, dan berolahraga. Waktu untuk bersosialisasi dan menikmati hobi juga berkurang drastis. Akibatnya, banyak yang mengalami kelelahan fisik dan mental. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres dan kecemasan di kalangan mahasiswa meningkat secara signifikan. Gangguan tidur, depresi, dan masalah kesehatan lainnya menjadi lebih umum.

Salah satu aspek yang memicu budaya hustle adalah media sosial. Platform seperti Instagram, LinkedIn, dan Twitter sering kali menjadi ajang pamer prestasi. Mahasiswa melihat teman-teman mereka mendapatkan magang bergengsi, memenangkan kompetisi, atau memulai bisnis baru, dan merasa bahwa mereka harus mengejar ketertinggalan. Mereka khawatir jika tidak menunjukkan produktivitas yang sama, mereka akan dianggap malas atau tidak kompeten. FOMO (fear of missing out) menjadi pemicu utama dalam menjalankan gaya hidup hustle ini.

Namun, apakah produktivitas yang dipaksakan ini benar-benar efisien? Banyak ahli berpendapat bahwa bekerja terus-menerus tanpa istirahat yang cukup justru kontraproduktif. Kelelahan mental dan fisik mengurangi kemampuan seseorang untuk fokus, berpikir kreatif, dan membuat keputusan yang baik. Dalam jangka panjang, ini dapat merugikan karier dan kesehatan seseorang. Selain itu, tekanan untuk selalu terlihat sibuk dan sukses dapat menghilangkan kebahagiaan dan kepuasan pribadi.

Budaya hustle juga memperkuat gagasan bahwa nilai seseorang ditentukan oleh pencapaian mereka. Ini menciptakan lingkungan yang kompetitif dan individualistis, di mana kolaborasi dan dukungan satu sama lain menjadi kurang dihargai. Padahal, dalam konteks kehidupan mahasiswa, dukungan sosial dan kerja sama sangat penting. Mahasiswa seharusnya dapat belajar dari satu sama lain, saling mendukung dalam menghadapi tantangan, dan menikmati proses belajar itu sendiri.

Lalu, bagaimana kita bisa mengatasi budaya hustle ini? Pertama, penting untuk mengubah pandangan tentang kesuksesan. Kesuksesan tidak hanya diukur dari seberapa banyak prestasi yang dicapai, tetapi juga dari keseimbangan hidup yang sehat dan kebahagiaan pribadi. Mahasiswa harus didorong untuk menetapkan batasan yang jelas antara waktu kerja dan waktu istirahat, serta menghargai waktu untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat.

Selain itu, institusi pendidikan perlu mengambil langkah proaktif untuk mengurangi tekanan berlebihan pada mahasiswa. Ini bisa dilakukan dengan menyediakan layanan konseling yang memadai, mengatur beban kerja akademis yang realistis, dan menciptakan lingkungan yang mendorong kolaborasi daripada kompetisi. Program-program yang mendukung kesejahteraan mental dan fisik, seperti olahraga dan kegiatan seni, juga harus diintegrasikan dalam kurikulum.

Pada akhirnya, penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa hidup bukanlah perlombaan tanpa akhir. Mahasiswa perlu diajarkan bahwa mereka berhak untuk beristirahat, menikmati hidup, dan mencari kebahagiaan di luar pencapaian akademis dan profesional. Dengan begitu, kita dapat membangun generasi yang tidak hanya sukses, tetapi juga sehat dan bahagia. Budaya hustle mungkin menawarkan ilusi kesuksesan, tetapi keseimbangan hidup adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati.

REFRENSI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun