Pengeboman 3 gereja di Surabaya kemarin semakin mendiskreditkan posisi perempuan di Indonesia. Bagaimana bisa tidak, kejadian itu disinyalir dilakukan oleh seorang perempuan yang membawa anaknya masuk ke dalam gereja, lantas meledakkannya. Mirisnya kejadian itu bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Dan sejauh ini belum ada penindakan khusus, selain dijebloskan kedalam penjara.
Mau bagaimana lagi? Seorang teroris perempuan memang sudah menjadi tren baru lagi di Indonesia. Para gembong teroris secara picik memanfaatkan kaum hawa sebagai pelaku teroris. Dari data BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) melalui direkturnya, Â Brigjen Petrus Reinhard Golos mensinyalir kalau para terorisme sudah mulai merekrut kaum perempuan. Dan mirisnya lagi, perempuan yang berhasil direkrut akan ditempatkan di posisi terbaik ketika melakukan aksi terror.
Barangkali pernyataan Brigjen Petrus itu pula yang mendasari aksi pengeboman 3 gereja di Surabaya menempatkan perempuan sebagai aktor utamanya. Ini yang bisa membuat langkah polisi dan aparat agak tersendat untuk melakukan pencegahan. Hingga pada akhirnya mereka baru sanggup bertindak kala sudah terjadi. Kita tentu bertanya-tanya kenapa polisi lamban mencegah aksi terorisme? Kenapa pula mereka baru melakukan tindakan setelah terjadi pengeboman atau semacamnya?
Penindakan terhadap pelaku terror perempuan cenderung lamban dikarenakan kasusnya berbenturan dengan Hak Asasi Manusia, ditambah lagi pasal perlindungan wanita dan anak juga memunggungi kasus ini. Maknanya polisi dituntut untuk menangani kasus terorisme namun regulasinya belum jelas. Kemarin saja Undang-undang Anti Terorisme belum juga rampung dibahas oleh pemerintah.
Polemik ini bak buah simalakama, membuat wajah perempuan di Indonesia semakin rumit dan tak cantik lagi. Di satu sisi perempuan musti dilindungi dari tindak kekerasan, baik itu fisik maupun seksual. Di sisi lain perempuan justru dimanfaatkan sebagai senjata teror yang paling ampuh. Jangankan kita, polisi pun ragu untuk menindak tegas teroris perempuan.
Permasalahan ini harusnya menjadi refleksi kita bersama. Bahwa Indonesia sudah genting dan sudah rawan tindak kekerasan. Perempuan tak melulu menjadi korban, mereka kini sudah mulai bermigrasi menjadi pelaku teror. Bahayanya, kegiatan perekrutan semakin masif dan merujuk pada sinisme terhadap perempuan, terutama yang bercadar dan memakai pakaian yang serba tertutup.
Selain itu, ini juga membuat pemahaman emansipasi semakin buyar tak karuan. Posisi wanita dalam aksi teror menunjukan ketidaksesuaian dengan hakekat seorang perempuan. Seorang perempuan yang harusnya berada di garda paling belakang, justru ditempatkan di posisi penting alias memegang senjata diposisi terbaik. Salahnya lagi bila ini diasumsikan sebagai kesetaraan gender.
Kenapa itu terjadi? Dalam beberapa akun sosial media, mereka ingin menunjukan kalau untuk berjihad tak membutuhkan orang laki-laki. Kaum perempuan pun bisa meledakkan bom dan melakukan teror dimana-mana. Mereka (para teroris) juga menanyakan dimana kaum lelaki? Mereka mengutuk dengan keras kaum lelaki yang melankolis, tak berani berjihad. Walaupun yang mereka pahami soal jihad sudah melenceng.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Mulai sekarang berhentilah memandang sinis pada perempuan. Terutama perempuan yang berpakaian khusus, seperti bercadar. Kita perlu mendekatinya secara persuasif bukan secara frontal. Karena yang salah dan harus dibenahi adalah pemahamannya bukan orangnya. Terorisme harus diberantas dari akar-akarnya, jangan hanya kurcaci-kurcaci yang diberantas.Â
Pemerintah juga harus mencegah, proses pengobatan harus berhenti sampai disini. Kedepan aparat harus lebih sigap mendeteksi titik dimana teroris itu akan melakukan teror. Keberanian dari polisi juga dipertaruhkan, bagaimana mereka bias menidak tegas aklsi teror yang terjadi di Indonesia. Tembak langsung saja dalang dan sutradaranya. Beres sudah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H