Oleh: Marsuki
(Dosen Fekon Unhas dan PPs Unhas)
Persoalan besar yang dihadapi bangsa saat ini yang sangat mengkhawatirkan adalah semakin terjun bebasnya nilai tukar rupiah melewati batas kritis teratasnya, menembus Rp.14.000 per Dollar AS. Masalahnya, sebelumnya pemerintah sepertinya bersikap biasa, dan baru Jumat lalu mulai merasa khawatir dan menyampaikan ada beberapa kebijakan akan dikeluarkan dalam minggu ini untuk mengatasi nilai tukar yang semakin anjlok.
Kondisi saat ini, harus diakui sebagai akibat dari beberapa persoalan dasar, baik persoalan global yang belum selesai, atau karena kebijakan beberapa pemerintahan sebelumnya, atau akibat lainnya. Tapi banyak pengamat kritis menengarai itu sebenarnya karena perilaku dan kebijakan pemerintahan saat ini yang kurang konsisten. Begitu banyak rencana yang dijanjikan tapi ternyata tidak bisa dilaksanakan karena berbagai alasan, akibatnya kinerja pemerintahan tidak sesuai harapan sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terutama pelaku pasar jatuh drastis. Hal itu ditunjukkan melorotnya indeks kepercayaan terhadap kepala pemerintahan khususnya termasuk beberapa jajaran di kabinet kerjanya yang kinerjanya dan perilakunya dianggap semakin kurang performans dan jelas.
Repotnya, itu berimbas kepada perilaku beberapa pihak yang dulunya mendukung dan berjanji mem-backup, baik dari pengusaha maupun loyalitas, karena mulai putus harapan. Yang rawan, perilaku negara mitra utama China, tampak kepercayaannya juga mulai luntur, seperti terbaca di beberapa media di China.
Bermitra dengan China telah banyak diperingatkan Amerika dan sekutunya, perlu diwaspadai, karena dalam banyak kasus perilaku bisnisnya memberatkan mitranya, terutama dengan strategi bisnisnya yang berpola “turnkey project”, utamanya proyek-proyek besar infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam. Suatu strategi bisnis, dimana China bertindak sebagai pemodal atau kreditur, sekaligus menjadi kontraktor, mempekerjakan konsultan proyeknya, bahan-bahan pendukung termasuk tenaga kerja, semuanya diatur dan didatangkan dari China. Seperti banyak dipraktekkan di Afrika yang telah menimbulkan masalah social-politik yang menelan banyak korban. Ditengarai, Indonesia saat ini sudah menjadi sasaran kebijakan bisnis China serupa.
Walaupun banyak dijelaskan ekonomi China kuat karena memiliki banyak kelebihan, seperti cadangan devisa terbesar di dunia, jaringan ekonomi dan bisnis luas di penjuru bumi, pinjaman luar negerinya banyak, tapi faktanya saat ini China sedang mengalami persoalan ketidakamanan dalam negeri, akibat pemboman berencana atau bukan di beberapa wilayah ekonomi strategisnya, sehingga terjadi pelemahan ekonominya. Ditengarai hal ini dimungkinkan karena Amerika Serikat bersama negara sekutunya tampaknya mempersiapkan atau mungkin telah melakukan perang ekonomi dan bisnis, karena menganggap China beberapa waktu ini sudah menganggu stabilitas dan kesejahteraan bangsa dan rakyat mereka.
Perang tersebut sudah melewati masa prematurnya, dan masuk ke era perang terbuka. Sehingga tentu saja jika ada dampak negatifnya, akan terasa pula pada beberapa negara mitra ekonomi China, terutama yang kapasitas ekonominya marjinal, seperti Indonesia. Oleh karena itu, disarankan beberapa pihak agar pemerintah sebaiknya cepat mencari jalan keluar agar negara ini tidak tergadai oleh cengkraman kapitalisme naga China yang sudah mulai melilit beberapa aktivitas ekonomi besar pemerintah, utamanya pembangunan puluhan infrastruktur strategis yang sudah direncanakan dan bahkan telah mulai dikerjakan China.
Tampaknya perang ekonomi dan bisnis yang akan terjadi, di atas kertas posis China masih belum mampu membendung apalagi melawan kekuatan Amerika dan sekutunya yang sudah lama melanglang buana dengan strateginya dalam segala lini aktivitas dunia, terutama ekonomi dan bisnis. Sedangkan China, belum mempunyai sekutu permanen dan solid secara emosional seperti Amerika Serikat dan sekutunya, walaupun memang ada beberapa negara besar aktif berhubungan dengannya, seperti Rusia, India, dan beberapa negara di Amerika Latin dan di Afrika.
Dalam posisi seperti itu, Indonesia yang sudah terlibat dalam kegiatan ekonomi dan bisnis dengan China jika perang terbuka berlangsung, Indonesia jelas akan terjepit, dan yang pasti memperoleh dampak negatifnya. Misalnya tampak, saat China mendevaluasi mata uangnya, segera nilai rupiahpun semakin bablas lewati batas kritisnya dan terus melemah hingga kini. Dengan model politik ekonomi luar negeri pemerintah yang tampaknya pro China, maka Indonesia akan kehilangan kredibilitas kepercaayan dari negara mitra utamanya tradisionalnya, AS dan sekutunya. Sehingga Indonesia akan dapat menjadi bulan-bulanan politik ekonomi Amerika dan sekutunya jika dianggap akan menyulitkan kepentingannya.
Dari sisi domestik, kondisi Indonesia yang rawan, ditengarai disebabkan karena instrumen kebijakan ekonomi dan khususnya keuangan masih bersifat pragmatis dan mengacu pada sistem kapitalisme liberal, yang terus dilanjutkan pemerintahan baru, meskipun sebelumnya, janji politiknya akan menerapkan ekonomi “Berdikari”, tapi tampaknya tidak demikian.
Dengan kebijakan ekonomi-keuangan begitu bebas karena keinginan menarik dana asing begitu besar, tanpa melihat asal dan tujuannya, maka pasar modal dan keuangan nasional dibanjiri dana-dana asing yang sifatnya hot money, milik para investor yang hanya mencari untung besar. Hal tersebut dipicu karena kebijakan suku bunga tinggi oleh bank sentral (BI) didukung lembaga keuangan terkait, OJK dan LPS, termasuk nilai balik luar biasa besar dari surat berharga swasta termasuk pemerintah sendiri (SUN) yang ditransaksikan di pasar modal dan uang. Masalahnya, pemerintah percaya diri, saat indeks harga saham terus meningkat, padahal sebenarnya pasar modal sedang “Buble” atau digelembungkan. Nyatanya, pasar modal Indonesia bukan pasar modal produktif yang dapat membiayai sektor riil, tapi hanya sebagai pasar spekulasi para pialang keuangan dunia yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan apalagi kebangsaan. Sehingga saat prospek kondisi ekonomi memburuk, para spekulan tersebut segera memindahkan dananya ke tempat lain, dan akibatnya perekonomian nasional kelimpungan, seperti yang sedang dialami sekarang, nilai tukar langsung anjlok dan ekonomi semakin lesu.
Kemudian, karena kebijakan industri dan perdagangan yang tidak memberdayakan kapasitas dan kekayaan sumber daya lokal, terus masih dilakukan pemerintah, akibatnya industri kita tergadai oleh bahan baku industri asing, sehingga biaya membelinya melambung tinggi saat nilai tukar rupiah lemah. Dampaknya, impor berkurang dan ekspor komoditas sektor industripun menurun. Sialnya, saat sebagian wilayah Indonesia seharusnya memperoleh manfaat dari nilai tukar rupiah melemah, harga-harga komoditas dunia atas sumber daya alam titipan Tuhan mengalami penurunan harga, sehingga neraca perdagangan atau neraca pembayaran Indonesia selalu defisit, dan akibatnya nilai tukar rupiahpun ambruk.