Mohon tunggu...
Marsuki MARSUKI
Marsuki MARSUKI Mohon Tunggu... -

Marsuki, lahir di Gowa Sunggu Minasa, Sulsel, Juni 1961. Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Unhas. Pendidikan Magisteral (DEA) dan Program Doktoral (Ph.D) di Universite de Nice Sophia Antipolis, France, konsentrasi keilmuan Analisa Ekonomi Moneter dan Keuangan Domestik-Internasional. \r\nPekerjaan : Dosen tetap pada Fekon dan PPs Unhas dan universitas terkemuka di KTI dan Jakarta. Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI, Periode 2005-2008 dan 2010-2013). Pernah sebagai konsultan manajemen dan keuangan ADB (LEC Sulsel), Ketua STIM Nitro Makassar, serta Widyaswara di sentra pendidikan BRI Makassar. Pemakalah dalam seminar nasional dan internasional. Menulis 17 buku serta penulis di beberapa harian nasional terkemuka. Pernah melakukan kunjungan kerja profesional ke beberapa Bank Sentral : Inggris (BOE), Belanda (DNB), Perancis (BDF); Jepang (BOJ), New Zealand (RBNZ), dan Amerika Serikat (FED New York dan FED Washington DC.).

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pro-Conts Kebijakan BI Rate

28 Februari 2011   15:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:11 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Marsuki

Hampir 1,5 tahun Bank Sentral RI (BI) mampu mematok suku bunga indikatornya (BI Rate) pada tingkat 6,5%, kemudian akhirnya dinaikkan 25 basis point menjadi 6,75%, setelah Rapat Dewan Gubernur BI, dipenghujung hari kerja minggu pertama bulan Februariini. Tentu saja sesegera mungkin tanggapan pros-conts menyeruak kepermukaan. Yang pro menyatakan bahwa BI bijaksana melakukan kebijakan tersebut, sedangkan yang kontra menyesalkan. Tentu semuanya didasarkan pada alasan masing-masing pihak. Sehingga menarik untuk mengulas masalah kebijakan suku bunga BI Rate ini dalam perspektif untuk pencerahan, dengan harapan nantinya para pembaca dapat memperoleh sedikit pemahaman atas masalah ini.

Bagi pihak yang pro, sepertinya kenaikan BI Rate tersebut memang sudah lama ditunggu, bahkan sepertinya pihak ini selalu berupaya mendesak supaya BI tanggap merespon kebutuhan untuk menaikkan suku bunga indikatornya, jika menginginkan kondisi ekonomi akan baik seperti yang direncanakan. Pertimbangannya didasarkan pada beberapa hal yang dianggap sudah mulai mengkhawatirkan. Sehingga jika tidak diambil, maka kondisi perekonomian akan tidak sesuai dengan rencana.

Seperti kecendrungan inflasi yang terus meningkat, dianggap akan memberi sinyal negatif kepada para penabung karena akan mengerus nilai asset keuangannya. Akibatnya mereka akan bereaksi dengan mengurangi tabungannya dan akan memindahkan asset keuangannya ke jenis yang lain atau ke tempat lainnya. Tentu saja posisi perbankan akan terganggu terutama keuntungan atau NIM-nya diperkirakan dapat turun. Kondisi tersebut selanjutnya diangap akan mengakibatkan melemahnya nilai tukar rupiah. Dan kemudian kepercayaan beberapa pelaku ekonomi, khususnya di pasar keuangan akan berkurang dan selanjutnya akan mengganggu perekonomian secara keseluruhan.

Tentu saja bagi pihak yang kontra menganggap bahwa kerangka pemikiran seperti itu terlalu sederhana dan tendensius karena hanya dimaksudkan untuk memikirkan kepentingan pihak-pihak tertentu saja, terutama pemilik uang. Sebenarnya, inflasi yang terjadi yang telah mencapai kisaran 7% belum dapat dianggap bermasalah, paling kurang dari sisi tanggung jawab BI (Core inflation). Sebab inflasi inti tersebut masih cukup rendah dan terkendali, yakni hanya sekitar hampir 4,8% saja.

Faktanya ada faktor penentu inflasi lainnya yang diluar kendali BI. Seperti, akibat perubahan kondisi alam (anomali), sehingga harga beberapa komoditas kebutuhan pokok masyarakat meningkat, maupun karena adanya beberapa kenaikan harga akibat penetapan harga oleh pemerintah (administered prices), termasuk karena adanya persoalan infrastruktur dalam system distribusi yang kurang baik dan tidak dapat dikendalikan akibat ulah para pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan keadaan yang sulit. Apalagi, kondisi beberapa indikator ekonomi utama masih relatif baik dan terkendali, seperti posisi nilai tukar yang cukup stabil dan masih dalam range nilai yang rasional, serta perkembangan pasar modal yang tetap menjanjikan, tercermin dari IHSG yang tinggi dan cukup stabil. Sehingga dianggap oleh pihak yang kontra bahwa BI seharusnya belum perlu menaikkan suku bunga indikatornya, hanya karena alasan desakan untuk antisispasi terhadap perilaku inflasi yang cendrung meningkat, apalagi dianggap bersifat temporer.

Masalah yang pasti adalah pada saat posisi bunga indikator BI yang sudah cukup rendah saja, sektor perbankan ternyata belum melaksanakan fungsi intermediasinya secara optimal, apalagi jika BI Rate dinaikkan. Tercermin dari penyaluran dana masyarakat dalam bentuk kredit tidak tumbuh sesuai harapan, akibat suku bunga kredit perbankan masih sangat tinggi. Sepertinya perbankan bersikap bahwa dari pada disalurkan dalam bentuk kredit, maka lebih aman memanfaatkan dana-dana masayarakat yang dihimpunnya untuk membeli surat-surat berharga, selain menguntungkan meskipun kecil, tidak berisiko lagi (SBI dan SUN).

Selain itu, biasanya pada saat ada kenaikan BI Rate tersebut, perbankan segera menaikkan suku bunga pinjamannya, sedangkan suku bunga simpanannya tidak berubah. Dengan kondisi demikian, berarti perbankan memperoleh keuntungan seketika, akibat selisih bunga pinjaman dan kewajibannya yang membesar, karena adanya alasan kenaikan suku bunga BI Rate tersebut. Oleh karena itu, pelaku ekonomi di sektor riil termasuk penabung dan terutama pengusaha selalu mempersoalkan masalah ini, sehingga mengangap sektor perbankan selalu bertindak hanya mementingkan kepentingan keuntungannya sendiri.

Yang jelas, masalah besar yang harus ditanggung BI sendiri dengan menaikkan suku bunga indikatornya tersebut adalah BI berarti harus mengeluarkan ongkos yang semakin besar dari kebijakannya. Sebagai dampak turunan dari akan meningkatnya pembayaran bunga surat berharga yang diterbitkan BI (SBI), jika kondisi kelebihan likuiditas perekonomian selama ini tidak berubah. Kondisi ini jelas akan semakin memperberat posisi keuangan BI sendiri yang sudah mengalami defisit yang semakin membesar yang diperkirakan akan mencapai Rp.30-an triliun dalam tahun 2010 lalu,bahkan diperkirakan akan menjacapai Rp.45 triliun pada akhir tahun 2011 nanti.

Sehingga pertanyaan besarnya adalah apa, untuk apa dan untuk siapa sebenarnya kebijakan menaikkan BI Rate tersebut. Tentu saja jawabannya sangat sulit dijawab begitu saja. Untuk itu berikut ini akan disampaikan beberapa review pengetahuan singkat tentang masalah BI Rate tersebut.

Seperti diketahui bahwa BI Rate adalah salah satu instrumen kebijakan tidak langsung yang dapat digunakan BI untuk menciptakan stabilitas nilai mata uang rupiah (inflasi dan nilai tukar). Dalam waktu terakhir ini sebenarnya sudah begitu beragam instrumen kebijakan BI yang digunakan BI untuk mengamankan pencapaian tujuan akhir kebijakannya. Seperti menaikkan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) terhadap simpanan rupiah di perbankan dari 5% menjadi 8%, efektif November 2010, dan termasuk GMW Valas dari 1% menjadi 8%, efektif Maret 2011 depan. Namun kebijakan BI Rate ini selalu yang menjadi sorotan publik, sebab kebijakan ini merupakan kebijakan yang dapat secara langsung atau tidak mempengaruhi perilaku para pelaku ekonomi, baik dalam maupun luar negeri, utamanya perilaku pelaku di pasar keuangan, baik perbankan dan di pasar uang atau modal. Karena kebijakan BI Rate tersebut memang sepertinya dijadikan acuan atau jangkar (anchor) bagi pelaku pasar untuk mengetahui arah kebijakan moneter dan keuangan BI kedepan (forward looking).

Ketika BI menetapkan BI Rate, maka itu akan menjadi awal mekanissme proses transmisi kebijakan moneter BI bekerja, melalui interaksi antara BI dengan sektor perbankan, keuangan dan sektor riil (dunia usaha). Jadi saat BI misalnya menetapkan BI Rate diturunkan maka perbankan selayaknya menangkap sinyal bahwa dia akan dapat menggerakkan sektor riil dengan menurunkan bunga kreditnya. Bagi pengusaha itu berarti akan dapat meingkatkan kegiatan produktifnya sebab akan dapat memperoleh kemudahan kredit. Sedangkan bagi masyarakat umum akan berperilaku meningkatkan konsumsinya karena ada indikasi stabil dengan rendahnya tingkat inflasi. Dampaknya, perekonomian akan bergerak dalam arah yang baik dalam keseimbangannya yang baru.

Tapi faktanya ternyata tidak demikian. Karena misalnya saat BI menetapkan BI Rate demikian cukup rendahnya selama beberapa periode yang lalu, ternyata perbankan menjalankan perannya sesuai dengan pertimbangan untuk keuntungannya sendiri, seakan tidak mengikuti sinyal kebijakan BI, karena kredit tetap seret, sehingga pengusaha mengeluh tanpa solusi.

Untung saja, ada krisis berkepanjangan di beberapa Negara, sehingga ada aliran modal masuk yang berlimpah, yang sementara waktu berdampak positif, dimana sebahagiannya dapat menggerakkan sektor ekonomi riil, konsumsi masyarakat meningkat, nilai tukar menguat dan stabil. Memang inflasi dapat terkendali, tapi BI menderita sendiri, karena harus menanggung biaya untuk menyerap kelebihan likuiditas perekonomian yang melimpah, melalui penjualan instrumen kebijakan moneternya di pasar uang, SBI dan FASBI. Syukurlah, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tercapai, walaupun belum dapat menyelesaikan pekerjaan besar bangsa ini, yakni mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.

Akhirnya, masalahnya bagaimana ke depannya, saat BI Rate sudah dinaikkan dan kemungkinan akan dinaikkan lagi, terutama jika aliran modal masuk yang selama ini terjadi akan balik ke asalnya (reversal)? Sepertinya, jawabannya semakin sulit dan kompleks, sebab di Negara ini begitu beragam peristiwa “Anomali” teori dan fakta selalu terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun