Mohon tunggu...
Marsudi Budi Utomo
Marsudi Budi Utomo Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Seorang Engineer, politisi, pebisnis... atau seorang ayah ???

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Soft Power dalam Hubungan Tiongkok dan Indonesia

7 Maret 2017   17:33 Diperbarui: 8 Maret 2017   20:00 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sciencesetavenir.fr

Peringatan genap 60 tahun hubungan persahabatan Indonesia dan Tiongkok ditandai dengan perhelatan Islamic Cultural Show & Expo 2010 di Jakarta yang digelar oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Asosiasi Agama Islam Cina. Republik Rakyat Tiongkok telah menggalang hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia pada 13 April 1950. Pagelaran ini merupakan puncak dari serangkaian kegiatan diplomatik dan budaya kedua negara, sehingga diharapkan bisa meningkatkan hubungan emosional dan tradisional umat Islam di kedua negara.

Perjanjian persahabatan kedua negara dan warga negaranya diharapkan selalu berada dalam keadaan aman secara nyata dan kekal, serta dalam hubungan baik untuk selamanya. Ini ditegaskan sejak kedatangan Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai beserta delegasi tahun 1955 di KAA Bandung dan kunjungan balasan Presiden Soekarno, serta kunjungan kedua pemimpin negara setelah itu. Meskipun pada tahun 1967 sempat terjadi pembekuan hubungan diplomatik, tetapi setelah normalisasi hubungan tahun 1990, kerja sama ekonomi, sosial budaya dan politik mengalami percepatan yang luar biasa.

Diplomasi Soft Power

Tiongkok, yang menjadi sentra komunis bagi beberapa negara lainnya, mulai bermain cantik dalam merebut hati negara-negara tetangganya. Terdapat kecenderungan bahwa negara dengan proyeksi kekuasaan global mulai memainkan kebijakan diplomasi yang lebih komplek dan smart. Negara di regional Eropa dengan basis kesamaan geografis daratan dan kultural demokrasi yang kuat, memiliki kecenderungan untuk memainkan diplomasi soft power.

Asia memiliki keunikan tersendiri karena memperlihatkan tidak adanya kesamaan diplomasi sehingga menerapkan pola pendekatan diplomatik yang berbeda-beda. Asia Selatan sebagaimana Timur Tengah, merupakan regional bergejolak yang memiliki kekhasan pendekatan hard power. Adapun Asia Tenggara didasari oleh sistem kenegaraan yang berbeda-beda menerapkan pendekatan yang berbeda-beda kebijakan diplomatiknya. Sementara Australia, karena letaknya yang dekat dengan regional Asia Tenggara memiliki fokus soft power.

Memadankan konsepsi Joseph Nye ke dalam kegiatan diplomasi dan hubungan internasional, ada tiga kebijakan yang biasa ditempuh dalam hubungan diplomatik antar negara. Pertama, diplomasi hard atau military power yang kebijakannya lebih cenderung menggunakan pendekatan coersive, penekanan dengan militer, diplomasi menekan basis teritorial, bahkan merusak infrastruktur.

Kedua, diplomasi economic power yang kebijakannya lebih cenderung menggunakan pre-emptive seperti ISA (internal security act) sebagai jaminan stabilitas atas dasar pertimbangan kenyamanan investasi. Ketiga, diplomasi soft power yang kebijakannya lebih cenderung menggunakan argumentasi nilai demokrasi seperti penghargaan pada HAM dan berbasis criminal justice system. Sehingga segala kebebasan berekspresi termasuk provokasi dan berorganisasi akan cenderung diperbolehkan, penindakan hanya dilakukan setelah ada aktivitas kongkrit yang benar-benar melanggar aturan hukum.

Belakangan ini, Tiongkok ditengarai telah memainkan diplomasi soft power berupa bantuan ekonomi untuk memikat hati negara-negara sahabat, investasi ekonomi di Timur Tengah dan Afrika, kerja sama budaya dan bahasa, lalu dilanjutkan dengan perjanjian bilateral yang mengikat sehingga ketergantungan kepada Cina meningkat. Di Indonesia, akselerasi memasyarakatkan bahasa mandarin sebagai sarana infiltrasi budaya sangat kentara, termasuk tawaran studi di universitas ternama di Tiongkok. Ini agak berbeda dengan Amerika, meskipun menerapkan diplomasi soft power tetapi sering terkesan sebagai rhetorical support untuk demokrasi dan HAM.

Politik Tiongkok Islam

Menelisik kebijakan Pemerintah Tiongkok dalam Pameran Budaya Islam Cina yang digelar di berbagai negara menampakkan kebijakannya yang ingin merapat ke negara-negara berpenduduk muslim. Bagi Pemerintah Tiongkok, diplomasi militer jelas tidak menguntungkan paska perang dingin dan setelah terjaganya stabilitas militer di kawasan Asia. Kekuatan ekonomi Tiongkok meski berhasil mendongkrak GDP-nya, memiliki restriksi keras dari Amerika dan Eropa. Alternatifnya adalah membuka kiat diplomasi baru dengan kebijakan open komunis.

Maksudnya adalah komunis sebagai sebuah ideologi tidak lagi disandingkan secara vis a vis dengan agama-agama yang ada, tetapi sebagai mitra untuk kemaslatan bersama sepanjang tidak mencampuradukkan antara agama, dalam hal ini Islam dengan Komunis. Di dalam negeri Tiongkok sendiri, sebagaimana dilansir oleh Ketua Asosiasi Agama Islam Cina, Hilalunddin Chen Guangyuan, pembukaan 35 ribu mesjid berikut penunjukan 40 ribu imamnya menunjukkan komunis tidak lagi menjadi predator bagi muslim Tiongkok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun