Mohon tunggu...
Marsudi Budi Utomo
Marsudi Budi Utomo Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Seorang Engineer, politisi, pebisnis... atau seorang ayah ???

Selanjutnya

Tutup

Money

Kemelut Pemerintah dengan Freeport

28 Februari 2017   07:59 Diperbarui: 8 Maret 2017   20:01 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Akar Permasalahan

Inti dari UU No. 4 Tahun 2009 yang dikenal dengan UU Minerba adalah bahwa perusahaan tambang harus sudah memiliki pemurnian biji mineral (smelter) sendiri, dan tidak diperbolehkan mengekspor mineral mentah. Keinginan untuk melakukan revisi UU minerba tersebut berbarengan dengan keinginan pemerintah untuk mengeluarkan PP terutama terkait pengolahan, pemurnian dan ekspor mineral.

Pemerintah akhirnya merilis Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Aturan-aturan tersebut menjadi payung baru pertambangan minerba, termasuk mengenai ekspor mineral mentah dan kewajiban pengolahan dan pemurnian produk mineral pertambangan.

Salah satu poin aturan baru itu adalah agar perusahaan pertambangan termasuk pemegang kontrak karya bisa mengekspor mineral mentah, maka syaratnya harus mengantongi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Selain itu juga mengubah ketentuan divestasi saham pertambangan milik asing, semua perusahaan tambang asing wajib menjual 51% saham secara bertahap, mulai dari tahun keenam sampai tahun kesepuluh.

Konsekwensi

Dalam suasana lambatnya revisi UU minerba, dan keluarnya PP No. 1/2017 memunculkan masalah baru dengan perusahaan tambang PMA. Yang menjadi akar permasalahan dengan adanya PP tersebut, keterkaitan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI), status Kontrak Kerja (KK) PTFI harus berubah menjadi IUPK jika ingin mengekspor mineral mentah atau konsentrat. Kewajiban PTFI sebagai IUPK, pertama PTFI harus membangun smelter di Indonesia, kedua  PTFI wajib mengikuti sistem pajak tidak tetap sehingga besaran pajak menyesuaikan perkembangan regulasi pajak, dan ketiga PTFI wajib melakukan divestasi saham menjadi 51%.

PTFI menawar pemberlakukan PP No. 1/2017 itu dengan usulan tarif pajak tetap selama masa operasi , perpanjangan kontrak 2 kali 10 tahun sampai 2041, dan diijinkan eksport konsentrat sebelum smelter jadi.

Secara legalitas, KK PTFI dengan Pemerintah Indonesia  masih berlaku sampai tahun 2021 dengan dasar UU yang berlaku pada saat itu. Perubahan yang muncul karena perubahan UU di kemudian hari maka harus ada kesepakatan kedua belah pihak. Penerapan PP No. 1/2017, tentunya menyalahi KK dan sangat mungkin muncul konsekwensi hukum. Pemerintah melarang eksport konsentrat selama PTFI tidak atau belum memiliki IUPK. Di sisi lain, PTFI akan menurunkan produksi sampai 60% sehingga ada PHK masal dan akanmembawa kasus ke arbitrase internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun