Pesta demokrasi Indonesia itu adalah pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif pilpres dan pilkada. Pertarungan hegemoni partai dengan kapital dan tokoh-tokohnya selalu mewarnai perhelatan rutin tersebut sejak diundangkannya UU Pemilu.
Akan tetapi yang menarik untuk dicermati adalah pertanyaan usil dari pemilih hampir di setiap pemilu terutama pilkada, khususnya untuk daerah pemilihan produktif dengan jumlah pemilih besar; Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Yaitu, apakah setelah terpilih, mungkinkah anda akan mencalonkan diri menjadi Presiden ? atau Wakil Presiden ?
Jawabnya, mungkin sekali. Buktinya, Pak Jokowi bisa jadi Presiden RI. Namun demikian, ada dua pendekatan untuk memungkinkan hal tersebut, yaitu komitmen dan timing (waktu).
Ada hal yang perlu ditelisik kembali mengenai pencalonan dan naik jenjang suatu kepemimpinan. Sama seperti di Polri maupun di TNI, ada kenaikan jenjang yang ‘sengaja’ dipercepat karena adanya dukungan khusus. Sehingga pejabat tersebut dalam waktu yang cukup singkat bisa mengungguli rekan satu angkatan bahkan senior-senior di atasnya karena dukungan khusus tersebut.
Pencalonan pilpres oleh calon yang sudah menduduki jabatan di daerah, apakah perlu dukungan khusus? Tentunya sangat perlu. Tanpa dukungan khusus tersebut mustahil bisa muncul sebagai kandidat, yang bahkan memiliki potensi keterpilihan atau elektabilitas tinggi.
Akan tetapi, yang perlu dicatat adalah adanya komitmen dengan konstituen yang berubah. Konstituen memilih awalnya, tentunya untuk menjadikan pejabat ketika pemilu itu berlangsung, dengan koimitmen jabatan lima tahun penuh. Ketika pejabat tersebut maju ke pilpres, di satu sisi ada perubahan komitmen (kontrak politik) yang telah ditandatangani, di sisi lain pemilih seakan mendapatkan bonus, dalam satu masa jabatan bisa berhasil mendudukan satu orang untuk dua jenjang kepemimpinan.
Keterkaitan dengan timing atau waktu pemilu, UU Pemilu sudah memberikan rambu-rambu pelaksanaan pemilu legislatif, pilkada dan pilpres dan ketentuan waktunya. Pilpres diadakan lima tahunan terdekat tahun 2019 lalu 2024 bersamaan dengan pemiliah anggota legislatif (DPR RI, DPRD Propinsi dan Kabupaten Kota). Sementara itu, pilkada ada beberapa angkatan pelaksanaan, terdekat tahun 2017 dan 2018 lalu 2022 dan 2023.
Nah, sekiranya ada peserta pilkada atau kada petahana yang ingin ‘nyapres’ maka sejak awal harus jujur menyampaikan ke konstituen, bahwa tidak akan bisa memenuhi komitmen selama lima tahun kerena dua tahun lagi ikut pilpres. Itu lebih fair, dari pada koar-koar komitment tetapi akhirnya nyapres juga. Memang tidak dilarang sih, tapi untuk masyarakat yang santun masih terasa risih. (MBU) https://www.facebook.com/marsudibu/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H