Akhir-akhir ini, viral sebuah video dalam sebuah kajian di mana seorang ustaz mengolok-olok penjual es teh di hadapan khalayak umum. Video tersebut memicu banyak reaksi, terutama kemarahan dari masyarakat yang menilai bahwa sang ustaz tidak memiliki empati terhadap penjual es teh tersebut. Dari kejadian itu, banyak konten kreator yang berlomba-lomba memberikan bantuan kepada bapak penjual es teh tersebut sambil menjadikannya sebagai konten. Fenomena membantu orang lalu dikemas dalam bentuk konten bukanlah hal baru di Indonesia. Hal ini memunculkan berbagai pandangan, mulai dari yang mendukung karena dianggap inspiratif hingga yang mengkritik karena dinilai mengeksploitasi penderitaan orang lain.
       Fenomena memanfaatkan penderitaan orang lain untuk donasi juga semakin marak di era digital. Tidak sedikit pihak yang menjadikan cerita kesedihan atau kemalangan seseorang sebagai alat untuk menggalang perhatian dan sumbangan dari masyarakat luas. Meskipun pada dasarnya donasi adalah bentuk kepedulian sosial yang positif, praktik ini sering kali menuai kritik. Pasalnya, penderitaan orang yang seharusnya menjadi hal pribadi justru dipublikasikan tanpa mempertimbangkan dampak psikologis bagi pihak yang bersangkutan. Selain itu, transparansi pengelolaan donasi juga sering dipertanyakan, karena ada beberapa kasus di mana dana yang terkumpul tidak sepenuhnya disalurkan kepada orang yang membutuhkan. Alhasil, niat baik masyarakat yang ingin membantu sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab, sehingga menimbulkan skeptisisme terhadap kampanye donasi di masa depan.
       Dampak sosial dan psikologis dari fenomena ini sangat signifikan, baik bagi penerima bantuan maupun masyarakat luas. Bagi penerima bantuan, eksposur yang berlebihan terhadap kondisi mereka sering kali menyebabkan rasa malu, kehilangan privasi, atau bahkan trauma karena kisah penderitaan mereka menjadi konsumsi publik. Sementara itu, bagi masyarakat, maraknya cerita penderitaan yang dikomodifikasi dapat menurunkan tingkat empati dan menimbulkan kelelahan emosional (empathy fatigue). Orang-orang mulai merespons kisah-kisah serupa dengan skeptisisme, bahkan sinisme, karena merasa tidak bisa lagi membedakan mana yang tulus dan mana yang dibuat-buat untuk keuntungan tertentu. Pada akhirnya, kondisi ini dapat menciptakan masyarakat yang apatis, di mana solidaritas dan kepedulian berkurang akibat hilangnya kepercayaan terhadap narasi penderitaan yang beredar.
       Di balik fenomena memanfaatkan penderitaan orang lain untuk donasi, terdapat akar masalah yang lebih besar, yakni kemiskinan struktural. Ketimpangan sosial yang terus berlangsung dan kurangnya jaring pengaman sosial yang memadai membuat banyak individu terjebak dalam situasi sulit tanpa solusi jangka panjang. Mereka akhirnya bergantung pada belas kasihan atau bantuan spontan yang terkadang hanya menjadi tambal sulam sementara, tanpa memberdayakan mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Di sisi lain, fenomena ini juga diperkuat oleh budaya konsumerisme emosional, di mana masyarakat cenderung "mengonsumsi" cerita penderitaan sebagai hiburan atau sarana untuk mendapatkan kepuasan moral. Alih-alih tergerak untuk membantu secara nyata, banyak orang merasa cukup dengan memberikan respons emosional seperti menyukai, membagikan, atau berkomentar tanpa tindakan konkret. Kombinasi antara sistem sosial yang timpang dan perilaku pasif ini membuat fenomena eksploitasi penderitaan semakin mudah berkembang, sementara solusi nyata untuk mengatasi akar masalah kemiskinan kerap terabaikan.
       Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan solusi yang menyasar perubahan pola pikir masyarakat dan pendekatan yang lebih berkelanjutan. Salah satu langkah penting adalah melalui pendidikan empati, di mana masyarakat diajarkan untuk memahami dan merasakan penderitaan orang lain secara mendalam, bukan sekadar memberikan respons emosional sesaat. Empati yang tulus dapat mendorong tindakan nyata dan berkelanjutan untuk membantu orang lain. Selain itu, reformasi dalam sistem bantuan sosial juga diperlukan. Bantuan harus diarahkan pada pemberdayaan, seperti pelatihan keterampilan atau akses ke peluang ekonomi, sehingga individu yang menerima bantuan dapat mandiri dan tidak terus bergantung pada belas kasihan. Di era digital, penerapan etika di media sosial menjadi penting. Setiap orang harus lebih bertanggung jawab dalam menyampaikan atau mendukung cerita penderitaan, memastikan bahwa narasi tersebut tidak merugikan pihak yang bersangkutan atau sekadar menjadi alat eksploitasi. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan fenomena eksploitasi penderitaan dapat diminimalkan dan masyarakat menjadi lebih berdaya secara kolektif.
       Komodifikasi kesedihan bukanlah solusi untuk mengatasi masalah sosial, melainkan gejala dari akar permasalahan yang lebih besar, seperti kemiskinan struktural, ketimpangan sosial, dan budaya konsumerisme emosional. Fenomena ini tidak hanya merugikan individu yang dieksploitasi, tetapi juga mengikis nilai empati dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kembali kepada empati yang tulus---bukan sekadar reaksi emosional, tetapi juga tindakan nyata yang memberikan dampak positif dan berkelanjutan. Mari bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya membantu orang lain dengan cara yang bermartabat dan memberdayakan, sehingga solidaritas sosial yang sejati dapat terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H