Di tepian senja, seorang pengelana bernama Aryasatya duduk termenung di bawah pohon beringin tua. Daun-daun berguguran, seperti fragmen waktu yang terlepas dari genggaman. Dalam diamnya, ia mendengar desau angin yang tak pernah benar-benar sunyi, seperti bisikan semesta yang mengingatkan manusia akan kefanaan.
"Apakah tujuan dari perjalanan ini?" tanyanya pada dirinya sendiri, namun ia tahu, pertanyaan itu sejatinya tak memiliki jawaban tunggal. Ia memejamkan mata, mencoba menafsirkan gema dari pikirannya sendiri---serangkaian suara yang saling beradu, menciptakan simfoni paradoks.
Seorang pria tua tiba-tiba muncul, mengenakan jubah kelabu yang pudar oleh waktu. Tatapannya tajam namun penuh kasih, seperti seseorang yang menyimpan rahasia besar namun tak pernah berniat mengungkapkannya. Ia duduk di sebelah Aryasatya tanpa berkata-kata, hanya menyerahkan sebuah cermin kecil yang kusam.
Aryasatya menerima cermin itu dengan ragu. Ketika ia melihat pantulannya, ia tidak menemukan wajahnya sendiri. Sebaliknya, ia melihat sekumpulan fragmen---bayangan masa lalu, harapan masa depan, dan kebingungan yang memenuhi hari-hari kini. Ia terdiam, menyadari bahwa cermin itu bukanlah alat biasa, melainkan simbol dari sesuatu yang lebih dalam.
"Apa yang kau lihat?" tanya pria tua itu dengan suara yang tenang.
Aryasatya terdiam sejenak. "Aku melihat ketidaksempurnaan," jawabnya akhirnya. "Pecahan-pecahan yang tak pernah bisa kusatukan."
Pria tua itu tersenyum samar. "Ketidaksempurnaan adalah keutuhanmu, wahai pengelana. Tanpa retakan, tak ada cahaya yang bisa masuk. Dan tanpa kekosongan, tak ada ruang untuk pertumbuhan."
Kata-kata itu menyentak kesadaran Aryasatya. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah berusaha keras mencari makna di luar dirinya, tanpa menyadari bahwa makna sejati selalu tersembunyi dalam retakan-retakan itu sendiri. Seperti simfoni yang membutuhkan jeda untuk menjadi harmoni, kehidupan pun membutuhkan kekosongan untuk menjadi penuh.
Pria tua itu perlahan bangkit, meninggalkan Aryasatya yang masih terdiam. Namun cermin itu tetap di tangannya, memantulkan bayangan yang kini mulai ia pahami. Di dalam pecahan-pecahan itu, ia melihat keindahan. Keindahan yang tak sempurna, namun nyata.
Senja akhirnya menyerah pada malam, namun Aryasatya tidak lagi merasa tersesat. Dalam retakan jiwanya, ia menemukan simfoni yang selama ini ia cari---simfoni yang tak pernah bisa ia dengar, karena ia terlalu sibuk mencari di luar, bukan di dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H