Mohon tunggu...
Marsha Devana Wahab
Marsha Devana Wahab Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Gadis biasa di khatulistiwa. Begundal yang manis. Pemberontak yang santun. Pemuda harapan bangsa. marshawahab@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tumbuh Dewasa

4 Agustus 2014   02:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:30 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lama sekali rasanya tidak menulis. Setahun, bahkan lebih rasanya.  Waduh... Kemarin sempat post tulisan sih, tapi tulisan lawas. Tulisan yang saya buat dua tahun lalu. Entah kenapa, kebiasaan saya menulis sulit sekali dilanjutkan beberapa waktu terakhir. Begitu juga dengan membaca. Waktu untuk membaca -- juga menulis pastinya, berkurang sangat drastis. Anyway, karena bosan dengan pembahasan soal copras-capres yang malang melintang di lini masa akun Twitter saya, saya iseng scroll-scroll 9gag, situs meme yang terkenal itu cyin. Saya menemukan pic yang cukup membuat trenyuh -- "Remember when Dad's shoulders were the highest place on earth? And Mum was your hero?" Masa kecil. Ya ampun. Rasanya baru kemarin saya diantar oleh Ibu ke Taman Kanak-kanak untuk pertama kalinya. Diantar ayah main ke Timezone, yang saat itu (saya kelas 3 SD) baru buka di kota saya. Digandeng saat jalan-jalan ke mall, digendong ayah waktu jalan-jalan cari sepatu baru di daerah Citra Niaga, Samarinda. Nangis berantem sama adik -- kemudian dicubit Ibu. Bersekongkol sama adik, menyembunyikan satu kaleng Fanta dingin dari kulkas untuk saya, yang saat itu mengidap radang amandel, sehingga dilarang orang tua minum minuman dingin terlalu sering. Ngambek, mutung, pasang muka jelek plus monyong karena dipaksa tidur siang, sementara acara favorit saya, Sesame Street tayang. Eeeh, malah ketiduran pas Agnes Monica dan Indra Bekti muncul di TV membawakan acara Tralala-Trilili. Sialaaaannn!!!!! "Race issue were about who ran the fastest, war was only a card game, the most pain you felt was when you skinned your skin," Dahulu, main kwartet (atau apa sih namanya? Lupa) pas istirahat sekolah sangat menyenangkan! Kartunya beli di maman "eo-eo" -- begitu bunyinya -- yang biasa nangkring di depan sekolah. Macam-macam, ada Digimon, dan tema kartun lainnya. Saya sempat punya banyak, padahal fungsinya sih sama saja. Gak jarang permainan ini dilanjut setelah jam sekolah. Janjian ngumpul di rumah salah satu teman, sampe jam 5 sore. Kadang lebih. Pas nyampe rumah dijamin, pasti dimarahi. Kadang juga tukar-tukaran koleksi dengan  teman sekelas. Koleksi kartu yang jadi bonus makanan ringan, salah satunya Tini-Wini-Biti. Wuih, keren banget rasanya wara-wiri di kelas saling pamer koleksi kartu. Tidak ketinggalan koleksi KERTAS SURAT! Wahahahahahahaha! Booming waktu saya kelas 3 atau kelas 4 SD. Beli binder bagus buat album, kertas suratnya warna-warni, lucu-lucu. Gak jarang kegiatan tukar menukar koleksi kertas surat ini bisa bikin berantem loh! Si Tono janjian tukaran kertas surat sama si Wati, eeh, mendadak si Budi juga mau tukaran kertas surat yang sama -- dan tinggal satu-satunya!!-- milik si Tono. Walhasil, Budi marah ke Wati, Wati marah ke Tono. Ancur. Permainan lain yang gak kalah seru adalah balapan sepeda! Untuk anak perempuan seperti saya sebenarnya kurang pantas. Rata-rata teman cewek sekelas, atau tetangga saat itu hobinya bersepeda keliling kompleks, bersepeda dengan "manis". Hanya sedikit anak cewek yang suka naik sepeda kenceng-kenceng, adu balap di daerah kompleks tertentu, terutama yang ada tanjakannya. Start tepat diatas tanjakan, hingga sepedamu melaju cepat melawan angin. Di atas sadel sepeda putih-ungu saya, dengan rumbai ungu tua di kedua sisi stang. Sungguh, rasanya bagai penguasa dunia. Kesukaan ini berbuah "pahit" pada saya. Meninggalkan bekas yang cukup banyak di daerah kaki, terutama lutut. Beberapa di daerah siku, namun tidak terlihat jelas sekarang. That's why, sekarang saya agak minder pake rok diatas lutut. Luka perang jaman kecil yang bikin lutut menghitam bisa terlihat. Hiks. "and goodbyes only meant until tomorrow?" Rasanya tidak ada perpisahan yang terlalu berat saat itu, kecuali saat teman sekelas harus pindah sekolah, atau pindah ke daerah lain. Pedihnya bukan kepalang. Berantem gara-gara kartu, main sepeda atau perselisihan lainnya bisa selesai hanya dengan main dakon keesokan harinya. Tidak ada permusuhan yang benar-benar berarti. Dan tidak ada kalimat "aku gak mau ngomong sama kamu lagi!" yang benar-benar serius. Seolah semua masalah selesai hanya dengan bermain bersama. Atau ketika ada mainan baru yang dipamerkan salah satu teman di kelas, hingga semua berkumpul penasaran, ngobrol ngalor-ngidul. Lupa kalau kemarin sudah berikrar untuk bermusuhan seumur hidup, seperti hendak pergi perang ke bulan dan tidak akan pernah kembali lagi. "...and we couldn't wait to grow up," Ingatkah masa-masa saat (sepertinya) menjadi dewasa akan jauh lebih baik? Keren sekali rasanya membayangkan jalan sendiri ke mall, tanpa ditemani ayah, tanpa digandeng ibu lagi karena takut kamu hilang diculik orang terus di jadikan pengamen  di simpang empat jalanan. Pacaran, naik motor. Kerja, cari uang. Belanja dengan gaji sendiri. Cieile. Dan terkadang, saat rasanya bosan berantem berebut krayon dengan adik, atau sebel melihat ibu yang selalu membela adik, ingin rasanya cepat dewasa, dan bekerja. Mungkin ingin meninggalkan rumah. Untuk kemudian berteriak pada dunia yang dahulu meremehkan tubuh kecil kita, "Hei!! Aku sudah mandiri sekarang!!!" Kelihatannya keren sekali melakukan segala sesuatunya sendirian, mandiri. Hebat sekali menjadi orang dewasa. Sempat terselip doa penuh harap, saat orang-orang sekitar mengucapkan kalimat yang pasti sering juga kalian dengar dahulu, "Cepat besar ya!!!". Yang dengan tololnya, seringkali kita iyakan dengan mata berbinar. Mendambakan kehebatan orang dewasa yang luar biasa. Tak sabar untuk menggapainya. ========================================================================= And why we couldn't wait to grow up? Betapa waktu berlalu dengan begitu cepat. Terkadang saya merasa -- entah mengapa -- Tuhan terlampau buru-buru. Hingga, BOOOM! Tiba-tiba saya terlempar di masa saat tubuh saya lebih besar, dan kurang bersahabat. Kulit berjerawat. Terkadang menghitam terbakar, terlebih jika saya sering beraktivitas di lapangan. Atau mungkin saya kurang menikmati masa kecil? Entahlah. Saat waktu benar-benar uang -- waktu adalah uang -- seperti kalimat yang dulu hanya saya dengarkan sekedarnya. Saat masalah ternyata benar adanya, benar wujudnya, dan tidak bisa terselesaikan dengan tidur siang dan pelukan ibu -- yang mungkin sudah tiada, atau tinggal jauh dari kita sekarang. Saat bermusuhan, terkadang artinya benar-benar tidak saling bicara lagi. Selamanya. Saat pacaran ternyata tidak terlalu menyenangkan, seperti yang kita duga dahulu. Cemburu menguras bak mandi, kata Afgan. Saat ternyata pertanyaan, "Apa kabar kamu? Kapan-kapan deh keluar bareng" bisa jadi hanya sekedar basa-basi. Senyum dari orang lain sekalipun. Atau saat ternyata punya kendaraan sendiri merupakan beban. Bensinnya, cicilannya. Belum lagi kalo rusak, dan lain-lain. Dan cokelat atau permen tidak bisa membuatmu berhenti menangis. Dan saat ada beberapa luka, yang ternyata jauh lebih sakit dari luka di kaki atau tanganmu, karena jatuh dari sepeda atau saat bermain bola. Yang paling menyedihkan adalah, saat-saat dimana kita baru menyadari bahwa keluarga adalah segalanya. Rumah yang sesungguhnya. Setelah dewasa, dengan segala masalah hidup yang mengiringi, tak jarang kita sulit menemukan kawan sejati. Yang benar-benar berada di samping kita, menerima kita dalam keadaan apapun. Atau hal-hal lain yang ternyata hanya bisa dicurahkan kepada Ibu, kepada adik-adik dirumah. Hal-hal yang jauh lebih menyenangkan dibagi dengan keluarga, rumah tempat kita pulang. Rumah yang selalu terbuka pintunya untuk kita, kapan saja. Bertahun-tahun setelah mengaminkan harapan tolol "cepat besar ya!" sialan itu, akhirnya saya meninggalkan kota saya. Tidak jauh memang, tetapi tuntutan pekerjaan tidak memungkinkan saya untuk selalu pulang. Nyatanya, -- setidaknya bagi saya -- tumbuh dewasa tidak sekeren dan sehebat dugaan kita dahulu. Tidak ada lagi kartu kwartet, tidak adalagi main sepeda, tidak adalagi Ibu yang marah-marah karena saya tidak mau tidur siang. Bahkan saya sudah sangat jarang berantem sama adik. Hal-hal yang sejujurnya -- bahkan setelah beberapa tahun meninggalkan rumah -- selalu saya rindukan. Cukup kebersamaan dengan orang-orang yang saya cintai. Keluarga yang selalu saya rindukan, tempat terdekat untuk melihat jejak-jejak masa kecil saya dulu. Melalui foto, gambar-gambar, bahkan cerita yang kerapkali dituturkan ibu. "Ingat dulu gak, kamu pernah dikejar angsa di jalan itu," atau "Ya ampun, dulu kan kamu sama dede pernah hilang disana, disuruh ayah diem jangan kemana-mana, malah ngabur," serta hal-hal lain yang mengorek kenangan masa kecil yang sangat menyenangkan itu. Karena itu pula, pernah satu kali ketika saya pulang, saya sempatkan untuk berkeliling kota, mengunjungi sekolah lama, kampus, atau tempat-tempat lain yang sering saya kunjungi bersama teman-teman dan tentunya keluarga. Beberapa waktu belakangan ini, saya mulai baca majalah Bobo lagi, Bobo (yang memang) tidak pernah gede dan tumbuh dewasa itu, Donal Bebek juga, ada pula kumpulan dongeng Hans C. Andersen yang menemani masa sekolah saya. Saya bahkan membeli krayon dan buku gambar. Selain karena merindukan kebiasaan di masa kecil, saya juga mencoba mencari kebiasaan baru di waktu luang. Untung saja, gambar saya tidak jelek-jelek amat. Tumbuh dewasa memang suatu keniscayaan, fisik yang berubah, suara yang berubah, pola pikir, pergaulan, semuanya. Hanya satu yang tidak pernah berubah. Keluarga. Ayah, ibu, dan kakak-adik. Mungkin kita bisa menambah keramaian dengan keluarga baru, yang dibawa oleh kita sendiri, atau saudara-saudara kita. Tapi bagi saya, tidak ada "buku sejarah" masa kecil kita yang lebih baik dari ayah dan ibu, dua orang yang menjadi saksi masa-masa yang kita lewati, bahkan turut membantu kita, jatuh-bangun. Sejak lahir, hingga mandiri. Nyatanya, saya tidak dapat berteriak dengan lantang pada dunia seperti rencana saya dahulu, berteriak lantang pada dunia yang -- saya kira -- meremehkan tubuh kecil mungil saya, yang lututnya penuh luka. Bahwa nyatanya, tumbuh dewasa ternyata tidak membuat saya lebih berani menghadapi hari-hari saya, bahwa nyatanya, tubuh kecil mungil saya dulu, jauh lebih tangguh menantang dunia. Bahwa semuanya akan sulit saya lalui dengan hanya menjadi orang yang telah tumbuh dewasa. Tanpa semangat dan motivasi dari keluarga. Ayah dan Ibu, adalah orang yang selalu membuka pintunya untuk kita saat badai berkecamuk diluar, saat hujan turun dengan begitu deras, menampar wajah kita dengan butiran airnya yang tajam dan menyakitkan. Hujan yang dulu sekali, dengan gagah berani saya tantang bersama sepeda mungil berwarna putih-ungu kebanggan saya. Ayah dan Ibu, yang mungkin tidak pernah tahu harapan-harapan nyinyir dari kita, berharap lekas dewasa, berharap lekas meninggalkan rumah, sesuatu yang seringkali akhirnya kita sesali. Dua orang yang akhirnya kita sadari adalah rumah yang sesungguhnya. Bahwa bahunya memang tempat tertinggi di dunia, bahwa ia memang pahlawan untuk kita. Penyemangat, pemberi motivasi. Kawan baru, kekasih, rekan-rekan, datang dan pergi. Tapi mereka tetap disini, di hati, di kota tempat kita tinggal dahulu. Kota yang sama, yang tiap sudutnya menyimpan jejak-jejak masa kecilmu. Kota yang selalu memanggilmu pulang untuk bertemu mereka, keluarga. Jadi, ayo jangan malu-malu beli Bobo lagi. Walaupun membuat kita sedikit iri karena dia selalu menjadi anak-anak tanpa perlu tumbuh dewasa. Beli juga sekotak krayon murah dan buku gambar, atau iseng-iseng, cobalah menggambar menggunakan peralatan gambar milik anak atau keponakanmu. Hanya "perjalanan singkat" untuk mengembalikan masa kecil kita. Ah, Ibu. Saya ingin digandeng lagi, ke mall, ke pasar, kemana saja. Setiap saat, seperti dulu lagi. =========================================================================== Bila kuingat lelah, ayah bunda... Bunda piara-piara akan daku Sehingga aku besarlah... Waktuku kecil, hidupku amatlah senang Senang dipangku dipangku dipeluknya Serta dicium-dicium dimanjakan Namanya kesayangan... 3 Agustus 2014 20.16 PM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun