Abdurrahman bin Auf lahir 10 tahun setelah Tahun Gajah dan meninggal pada tahun 652 masehi pada usia 72 tahun. Beliau adalah salah seorang dari sahabat Nabi Muhammad yang terkenal. Beliau seorang dari delapan orang pertama yang menerima agama Islam (As-Sabiqunal Awwalun), yaitu dua hari setelah Abu Bakar. Abdurrahman bin Auf adalah salah satu orang yang hijrah ke Madinah. Sebagai seorang saudagar di Makkah kala itu, beliau tidak membawa semua harta bendanya. Semua kekayaannya beliau tinggalkan. Yang beliau bawa hanyalah baju yang beliau kenakan waktu itu. Sesampainya di Makkah, Nabi Muhammad saw. lalu mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum Ansar. Abdurrahman yang kala itu sudah tidak memiliki apa-apa disaudarakan dengan seorang yang kaya raya, pemilik hampir setengah perkebunan kurma di Madinah, Sa'ad bin Rabi.
Mendengar disaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Rabi dengan senang hati memberikan setengah dari apa yang sudah dimilikinya seperti kebun kurma. Hingga dapat dikatakan bahwa persaudaraan keduanya menjadi salah satu contoh sebuah persaudaraan karena Allah, menjadi salah satu wujud sahabat sampai akhirat. Ketika beliau harus memulai mengumpulkan harta dari nol kembali, mendapat tawaran yang bisa menjadikannya kembali kaya dari Sa'ad bin Rabi ternyata tak lantas langsung Abdurrahman bin Auf setuju.
Abdurrahman bin Auf justru menolak dengan lembut dan memilih bertanya letak pasar. Meski kekayaan sudah ada di depan mata, beliau tetap memilih melakukannya dengan usahanya sendiri. Kala itu, Abdurrahman bin Auf mencoba untuk berjualan cangkul. Walau tidak memiliki modal, beliau tidak lantas berhutang Yang beliau lakukan adalah sistem jatuh tempo, dimana di hari berikutnya baru dibayarkan. Tidak perlu menunggu lama, dalam satu bulan Abdurrahman bin Auf sudah memiliki kios sendiri.
Julukan yang diberikan kepada beliau adalah Sahabat Bertangan Emas dan sosok yang suka bersedekah. Semenjak itu, kehidupan Abdurrahman bin Auf makin sejahtera. Beliau bahkan sempat menikahi wanita kaum Ansar, yang waktu itu bisa dianggap prestasi karena tidak mudah bagi kaum muhajirin untuk menikahi kaum Ansar dengan mahar emas sebesar biji kurma.
Keberkahan yang Allah berikan pada Abbdurhaman bin Auf memang begitu besar. Sampai-sampai jika beliau mendapat sebongkah batu, maka dibawahnya terdapat emas dan perak. Kekayaan yang beliau miliki tidak lantas membuatnya menjadi gelap mata. Beliau dikenal sebagai seorang kaya yang juga dermawan bersedekah. Semakin banyak keuntungan yang beliau dapat, semakin besar pula sedekah yang diberikan. Yang bukan menjadikannya menjadi miskin, tetapi justru menjadi kaya.
Meski telah banyak membantu penduduk Madinah lewat hartanya, Abdurrahman bin Auf sama sekali tidak memanfaatkan hal ini untuk mendapatkan kekuasaan. Ia memutuskan menjadi penduduk biasa saja.
Abdurrahman bin Auf selalu mempercepat langkah untuk mendermakan hartanya di jalan Allah Swt. karena beliau mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya dan sebagai sikap zuhud terhadap kehidupan dunia yang fana. Dari Thalhah bin Abdillah bin Auf r.a. berkata, "Orang-orang Madinah bergantung kepada Abdurrahman bin Auf, satu pertiga dari mereka beliau berikan pinjaman dari uangnya, satu pertiga penduduk yang lain beliau bayarkan (lunasi) hutangnya, dan satu pertiga penduduk yang lainnya beliau sambungkan silahturahminya".
Setiap harta yang diberikan akan menjadi umpan untuk memperlancar rezeki, sebab Allah SWT. Akan menggantinya dengan yang lebih baik, seperti telah difirmankan:
"Katakanlah, sungguh Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang dia kehendaki diantara hamba-hambanya. Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan dialah pemberi rezeki yang terbaik." (Saba:39)
Berbahagialah Abdurrahman bin Auf dengan limpahan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah kepadanya. Ketika meninggal dunia, jenazahnya diiringi oleh para sahabat mulia seperti Sa'ad bin Abi Waqqash dan yang lain. Dalam kata sambutannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, "Engkau telah mendapatkan kasih sayang Allah, dan engkau berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah selalu merahmatimu."
Ketika akan wafat, Abdurrahman menangis. Tangisannya bukan karena takut menghadapi kematian, melainkan karena beliau wafat dalam keadaan kaya harta. "Sesungguhnya, Mush'ab bin Umair lebih baik dariku. Beliau meninggal di masa Rasulullah dan beliau tidak memiliki apa pun bahkan kafan sekalipun. Hamzah bin Abdul Muthalib juga lebih baik dariku. Kami tidak mendapatkan kafan untuknya. Sesungguhnya, aku takut bila aku menjadi seseorang yang dipercepat kebaikannya di kehidupan dunia. Aku takut ditahan dari sahabat-sahabatku karena banyak hartaku," tutur Abdurrahman.