Suatu hal yang berbeda dan amat bertolak belakang dengan kebiasaan mereka yang mendapatkan jabatan strategis, apalagi sebagai kepala negara, ketika mende- ngar pengangkatan dirinya sebagai khalifah, Umar bin Abdul-Aziz justru berduka dan kecut hatinya. Tubuhnya menggigil dan gemetar diliputi rasa Khawatir yang luar biasa ketika beliau diminta oleh para ulama untuk naik ke mimbar dan berorasi di depan khalayak ramai. Dia hanya berdiri terdiam di mimbar untuk beberapa saat, kemudian terlontar ucapan rendah hati: "Baiat kalian untuk diri kalian. Aku tidak menginginkan kekhalifahan kalian." Mendengar ucapannya, semua yang hadir menangis terharu dengan kerendahan hatinya dan kebaikan perangainya. Kemudian mereka serempak berkata, "Kami takm enginginkan selain engkau ya Umar."Â
Setelah beliau turun dari podium, semua tung- gangan kehormatan disiapkan untuknya sebagaimana kebiasaan para khalifah sebelumnya. Sambil menandangi kendaraan kehormatan yang telah disediakan untuknya, beliau berkata, "Tidak, aku hanya seorang laki-laki muslim seperti kalian, hanya saja aku muslim yang lebih banyak menanggung risiko, beban dan tanggung jawab di hadapan Allah, cukup dekatkan kuda milikku ke sini." Hanya itu permintaannya kepa da ajudannya.
Selanjutnya Umar menunggang kudanya dan kem bali ke rumahnya. Ia menjual gedungnya dan bersedekah dengan semua perabotan dan barang-barangnya kepada fakir miskin. Sementara beliau tinggal di sebu- ah kamar di lingkungan orang-orang biasa di Damaskus. Hal itu ia lakukan semata-mata untuk lebih mendekatkan diri dengan fakir miskin dan para janda, ia lalu memanggil istrinya, Fatimah, dan berkata ke- padanya: "Wahai istriku! Aku memangku urusan umat Muhammad, sedang mereka semua tahu bahwa wila- yah yang dikuasai memanjang dari Sind sebelah timur sampai ke Rabat di sebelah barat, dari Turkistan sebe- lah utara sampai Afrika Selatan di bagian selatan."
Lalu Umar berkata lagi kepada istrinya, "Jika engkau menginginkan Allah dan kehidupan akhirat, beri- kanlah perhiasan dan emasmu ke baitul mal. Tapi, jika engkau menginginkan dunia maka kemarilah akan kuhiasi engkau dengan perhiasan yang indah. Dan kembalilah ke rumah ayahmu."
Fatimah berkata, "tidak, demi Allah, kehidupanÂ
adalah kehidupanmu, maka kematian pun adalah ke- matianmu." Fatimah lalu memberi semua perhiasannya dengan ikhlas. Umar berusaha keras untuk menjadi kan umat Islam seimbang dalam kehidupannya. Ketika Umar tidur siang karena kelelahan, lalu datang anaknya Abdul Malik bin Umar bin Abdul- Aziz, "Ayah! Engkau tidur sedang engkau telah dinobatkan sebagai khalifah. Di antara mereka ada yang fakir, miskin, lapar, dan para janda. Mereka semuanya akan meminta pertanggungjawaban engkau kelak di Hari Kiamat." Beliau terbangun dan menangis tersedu- sedu mendengar nasihat anaknya.
Fatimah berkata, "Tidak, demi Allah, Kehidupan Sebelum Umar membina rakyatnya, ia komit membina terlebih dahulu keluarganya terutama istri yang selalu mendampinginya, karena baik tidaknya seorang pemimpin tergantung pada pendamping setia- nya atau dengan kata lain pembisik utamanya.
Beliau membenahi keadaan keluarganya terlebih dahulu, baru setelah itu ia mencopoti jabatan para menteri menterinya yang zalim sepeninggalan Khalifah Sulaiman sebelumnya. Kemudian dia mengangkat menteri-menteri baru yang alim lagi saleh serta bijak dalam setiap tindakan mereka. Begitulah komitmennya dalam menjalankan tugasnya.
Ada tiga hal yang dicanangkan beliau kepada sesama: Pertama, tidak menggunjing apalagi mencela karena di samping dilarang agama, juga akan menimbulkan fitnah di mana-mana dan akan menimbulkan ketidaknyamanan. Kedua, tidak mengutarakan pengaduan seorang Muslim, yakni keputusan-keputusan yang memalukan terkait dengan harga diri, kesepakatan, dan tempat kumpul mereka. la enggan untuk diperlihatkan kepada dirinya tentang itu semua.
Ketiga, tidak bercanda di dalam majelisnya, akan tetapi mereka harus memperingatkan tentang akhirat atau hal-hal yang mendekatinya.
Karena itu, suatu ketika beliau memanggil Muzahim, salah seorang menterinya dan berkata ke- padanya: "Tetaplah di sampingku, wahai Muzahim! Jika engkau melihatku menzalimi seorang muslim, atau menodai kehormatan, atau mencaci orang yang beriman. Maka tariklah kerah bajuku dan katakanlah: "Takutlah engkau kepada Allah, wahai Umar bin Abdul-Aziz." Begitu permintaannya untuk menjaga komitmennya. (Al-Misk wal-'Anbar fi Khuthabil-Mimbar)