Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Kampung Wunga Aset Pariwisata yang Terlupakan

29 April 2017   22:13 Diperbarui: 29 April 2017   22:42 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampung Wunga merupakan salah satu kampung yang terletak di pinggiran hutan daerah ketinggian di Desa Wunga, kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Kampung Wunga memiliki nama popularitas (bahasa lokal wunga: na ngara hunga na) yaitu Haharu Malai, Kataka Lendu Wacu (Haharu = Sejenis pohon yang dikenal sebagai pohon hahar, Malai = Layu, Kataka= kapak, Lendu = Jembatan, Wacu = batu). Haharu Malai, Kata Lendu Wacu artinya pohon hahar yang layu dan kapak serta jembatan batu. Sedangkan, nama aslinya (bahasa lokal wunga: na ngara puhu na) yaitu Kamboru Harada Uda, Kambala Horu Lamba(wawancara langsung tokoh adat: Bula Anakonda, 2016). 

Didalam kampung wunga terdapat marga (kabihu) yaitu kabihu waimoru, tula parengu, rua, uma bakul, haru kondu, kalitu ahu, pahoka, rumbu wulang, anama ari (makatemba), bohu, matolang, uma ratu, analingu. Kegiatan ritual adat yang sering dilakukan yaitu hamayang (sembayang), mangajung (pesta besar), pulu loru (acara adat tentang kehidupan) dan pulu matu (acara adat kematian).

Sebagian besar masyarakat Wunga masih menganut kepercayaan lokal yang disebut Marapu. Kepercayaan Marapu dianggap sebagai kepercayaan yang memperkuat solidaritas dan persatuan masyarakat sehingga masyarakat dapat saling membantu dalam kondisi susah/mendesak. 

Penelitian Palekahelu (2010) melaporkan bahwa sistem kepercayaan Marapu memiliki peran yang sangat besar dalam mengkondisikan masyarakat untuk mengatasi ketidakpastian dan ketidaknyamanan pangan rumah tangga masyarakat Wunga. Lebih lanjut dilaporkan bahwa Marapu juga berfungsi menopang masyarakat untuk bertahan hidup, beradaptasi dengan lingkungan alam yang kering dan sulit, serta menghadapi ketidakpastian dan ketidaknyamanan pangan.

Desa Wunga berdiri pada tahun 1958 bersamaan dengan lahirnya Kabupaten Sumba Timur (Kemendikbud, 2014). Data monografi Desa Wunga tahun 2015 menggambarkan 719 jiwa, matapencaharian utama adalah petani lahan kering (petani sub sistem). Warga wunga mempunyai kerja sampingan seperti melaut, beternak (sapi, kuda, kerbau, kambing, babi dan ayam). Bentangan alam dominan berbukit-bukit tandus dan berbatu serta memiliki area hutan yang terbatas. Hampir sebagian besar padang saban yang tumbuh subur pada musim hujan (bulan Desember-Mei) dan gersang/kering pada musim kemarau (bulan April-November). 

Dengan kondisi iklim yang demikian berdampak pada ketahanan pangan bagi manusia dan pakan bagi ternak yang sangat terbatas. Di desa ini juga terdapat beberapa tempat unik yang bisa dijadikan sebagai tempat wisata. 

Berikut ini adalah tempat-tempat unik yang ada di Desa Wunga adalah Waimulung (sebuah danau kecil dipinggir laut), Bata Wacu (jembatan batu) terletak di tanjung sasar, Lendu (sumber mata air dengan akses jalan menggunakan tangga kayu), La Ngorana (sebuah gunung tinggi yang berbentuk seperti wajah parang), Pangora Mbandul (sebuah bukit kecil yang modelnya seperti ujung senjata), Awu Jawa (dua batang bambu yang tumbuh ditengah hutan Wunga serta dikenal sebagai bambu keramat), Parengu memang (lokasi kampung sementara para leluhur sebelum membangun kampung wunga yang saat ini ada), kalambar cuna (sebuah danau tadah hujan yang terletak di tengah padang savana). Permasalahan utama adalah ketersediaan sumber air, baik untuk kebutuhan minum bagi manusia dan ternak masih diambil dari lokasi mata air yang cukup jauh sekita 2 kilo di Desa tetangga. 

Hal ini dikeranakan Desa tersebut tidak memiliki sumber mata air yang bisa menunjang seluruh masyarakat. Perhatian pemerintah pun baru dilakukan pada tahun 2010 dengan bantuan Tangki Air, namun masyarakat masih membeli air tengki dengan harga Rp.200.000/tengki. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat menggunakan air tengki untuk kebutuhan air minum maupun untuk keperluan MCK. 

Sedangkan untuk kebutuhan ternak seperti sapi, kuda, kerbau masih diambil di Desa tetangga seperti Desa Napu dan Kadahang. Selain itu, akses jalan raya yang masih rusak dan akses listrik belum tersentuh oleh masyarakat. Melihat kondisi yang demikian, penulis sekedar memberikan cerita sehingga cerita ini menjadi bahan refleksi bagi pemerintah kabupaten Sumba Timur, NTT.

Salam.

Marsel Hambakodu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun