Sebanyak 50 ribu liter susu sapi terpaksa dibuang karena tidak terserap pasar. Susu adalah produk yang mudah rusak, sehingga jika tidak segera diolah atau didistribusikan, harus dibuang untuk mencegah penurunan kualitas. Kondisi ini menjadi ironi besar, terutama ketika kebutuhan susu dalam negeri masih tinggi, dan sebagian besar dari pasokan ini dipenuhi oleh impor.
Meski konsumsi susu nasional belum tergolong tinggi---hanya sekitar 17 kg per kapita per tahun---Indonesia tetap bergantung pada impor untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Produksi susu dalam negeri belum mampu bersaing baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sehingga pabrik pengolahan susu sering kali memilih untuk membatasi penyerapan dari peternak lokal.
Ada dua masalah utama dalam pengelolaan produksi susu nasional: pertama, kualitas susu yang dihasilkan peternak sering kali tidak memenuhi standar yang dibutuhkan industri. Ketidaksesuaian ini bukan hanya soal kebersihan, tetapi juga terkait kandungan nutrisi dan daya tahan yang memerlukan penanganan khusus. Kedua, pabrik pengolahan susu menghadapi pembatasan kapasitas yang mengakibatkan ketidakseimbangan antara produksi lokal dan kebutuhan yang bisa diserap.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan susu dalam negeri, tetapi langkah ini memerlukan keseimbangan yang hati-hati. Impor seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti produksi dalam negeri. Sebab, jika impor terlalu mudah diberikan, sektor produksi susu lokal bisa tertekan, berakibat pada sulitnya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi susu nasional.
Selain itu, kerjasama erat antara pemerintah, peternak, dan industri pengolahan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas produksi susu lokal. Dalam hal ini, pemerintah bisa memainkan peran penting melalui program-program pelatihan dan pendampingan teknis bagi peternak. Teknologi peternakan yang mendukung pemeliharaan ternak, serta standar operasional yang memastikan produk susu tetap segar dan berkualitas, perlu terus dikembangkan dan diterapkan.
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah mendorong terbentuknya koperasi atau lembaga perantara yang menghubungkan peternak dengan pabrik. Dengan adanya lembaga ini, peternak dapat dibina agar mampu menghasilkan susu berkualitas tinggi sesuai dengan standar industri. Hal ini sekaligus bisa menjadi solusi untuk mengurangi risiko susu terbuang karena keterbatasan kapasitas serap dari pabrik. Koperasi atau lembaga perantara juga bisa memberikan alternatif bagi peternak dalam pengolahan susu, misalnya untuk diolah menjadi produk lain seperti keju atau yogurt, yang memiliki daya tahan lebih lama dan nilai tambah yang lebih tinggi.
Pembatasan impor yang ketat juga perlu dipertimbangkan. Dengan memperketat izin impor, kita tidak hanya melindungi peternak lokal, tetapi juga menciptakan dorongan bagi sektor ini untuk berinovasi dan meningkatkan produksi. Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan kuota atau tarif impor yang mengutamakan suplai lokal terlebih dahulu, sehingga pabrik pengolahan lebih memilih untuk membeli dari peternak dalam negeri daripada mengimpor susu dari luar.
Dalam jangka panjang, untuk menjaga ketahanan pangan di sektor susu, Indonesia harus mampu mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat rantai produksi lokal dari hulu ke hilir. Semua pihak terkait---pemerintah, peternak, dan industri pengolahan susu---harus bahu-membahu. Dengan dukungan yang tepat, kita bisa menciptakan ekosistem produksi susu yang berkelanjutan, meningkatkan pendapatan peternak, dan pada akhirnya memenuhi kebutuhan susu nasional tanpa harus membuang produksi lokal yang begitu berharga.
Dengan strategi yang kompak dan terintegrasi, kita bisa mengatasi masalah susu terbuang sia-sia dan memastikan setiap tetes susu lokal dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kemandirian pangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H