Mohon tunggu...
Mas Morang
Mas Morang Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Marojahan Situmorang, 29 Tahun, bekerja dan Tinggal di Pangururan, Pulau Samosir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Kota Lebih Kejam dari Ibu Tiri

31 Juli 2012   09:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:24 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hampir dua jam saya berputar-putar disatu area yang sama, mungkin seandainya dilihat dari udara, mirip seperti bermain-main disebuah labirin raksasa. Beberapa gedung-gedung pencakar langit itu berpindah-pindah, kadang didepan kadang dibelakang, kiri dan kanan. Sampai-sampai beberapa gedung ketahuan seluruh sisinya. Ah, kota jakarta sedang mempermainkanku.

Hari semakin senja, aku belum mendapat tempat duduk. Setengah berbisik saya tanyakan halte transit terdekat, dua kali saya ulang bertanya, tidak ada jawaban. Beberapa orang disamping saya berdiri sama seperi saya, seperti tak saling memperhatikan, tatapannya kosong, mungkin larut mendengarkan sesuatu lewat alat dengar yang menempel ditelinganya. Tentu saja tidak semuanya bersikap demikian, andai semuanya cuek mungkin saya tak akan pernah sampai dirumah.

Di halte berikutnya, keadaan bertambah parah, dibalik kaca nampak ratusan orang berpakain rapi saling berdesakan, spontan saja mereka saling sikut berebut naik bahkan ketika belum seluruhnya pintu terbuka. Aroma tak sedap juga menyeruak, aroma tubuh yang merindukan guyuran air segar, pantas beberapa orang disudut depan mengenakan masker, masker yang populer ketika wabah flu burung beberapa tahun lalu.

Perlahan keringatku mulai mengucur, pendingin di bus ini tak mampu lagi menetralisir suhu yang naik dari ratusan penumpangnya. Sambil memandangi panorama jalanan saya terbayang nikmatnya mandi pagi di Danau Toba tiga hari yang lalu. Saya terbiasa mandi di danau pagi hari sebelum ke kantor, Danau Toba yang termashyur itu hanya 50 meter dari rumahku. Samar-samar dibalik kaca nampak kehidupan masyarakat di pinggiran kali ciliwung, pemukiman kumuh terbentang mengikuti aliran sungai, anak-anak asyik bermain diair kotor, entah apa kata para pakar tentang kandungan polutan di dalamnya, para pakar sanitasi juga pakar penanggulangan kemiskinan yang kerap datang ke daerah.

Sempat juga terlintas dibenakku, apa hebatnya kota ini hingga jutaan orang rela menanggung kejamnya kehidupan ini. Kenapa pula jalan harus dibangun seperti itu, saling bertumpuk, miliaran bahkan triliunan rupiah harus digelontorkan hanya untuk membangun sebuah fly over, sementara jalan ke Danau Toba tak satupun yang bisa dibilang mulus.

Tetapi namanya juga ibu kota. Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri, pepatah lama yang sering diucapkan ibu guruku waktu sekolah dasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun