(Bagian 2)
Perempuan Dan Kesetaraan Gender
Oleh : Uni Marni Malay
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words intomasculine, feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan.
Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelaminantara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Misalnya sepertiapa yang telah kita ketahui bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut,emosional, dan keibuan sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin. Pada hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Dan sebaliknya,ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karena itu gender dapat berubahdari individu ke individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkandari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah.Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karenagender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itugender dapat berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal, sebagai akibatketidak samaan kesempatan, sehingga dalam masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.
Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistemhubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-lakidikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukanmenjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan ituyang tepat bagi perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yangdikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kitaseakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti.Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara penuh hak-hak dan potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya hanyadiskenerioi oleh struktur masyarakat patriarkhi. Oleh karena itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar bagi kehdupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajardilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Teori nature (Kelemahan Sebagai Kodrat Perempuan)adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kunomisalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangankosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.
Senada dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.
Jika Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya, Aristoteles juga mengandaiakan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi tubuh, akal mendominasi perasaan, laki-laki mendominasi perempuan dan seterusnya. Perempuan yang didefinisikan sebagai suatu yang ganjil, menyimpang dari prototipe manusia generik adalah budak-budak dari funghsi tubuh yang pasif dan emosiaonal. Akibatnya perempuan lebih rendah dari laki-laki yang memiliki pikiranm aktif dan cakap.2 Dampak dari dasar filsafat di atas, maka perempuan dianggap sebagai perahu/kapal tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia karena ia keluar tanpa jiwa. Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati
Menyimak pemikiran dua filsuf besar di atas, terlihat jelas bahwa keduanya dibatasi dan terdistrorsi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat dan oleh keinginan untuk menjaga atau melestarikan tatanan tersebut. Kendati eksistensi perempuan masih dipandang penting dalam suatu tatanan kosmik, namun perempuan tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang beradab.Dengan demikian, tidak asing dalam tradisi Yunani Kuno bahwa ada kecenderungan untuk melakukan kategorisasi atas pengalaman manusia yang berhubungan dengan pertentangan alam dan budaya, sebagai sesuatu yang berada di bawah kontrol manusia.Dalam konteks ini, menimbulkan konsekuensi lebih jauh bahwa dalam kaitannya dengan suatu perlawanan, perempuan dipandang oleh laki-laki lebih dekat dengan alam daripada dengan kebudayaan, perempuan berada pada posisi margin dan periferi kebudayaan.
Memperkuat teori Yunani kuno, filosuf Yahudi, Philo (30 SM-45 M) terilfiltrasi oleh pemikiran Yunani, dengan enggabungkan ide status kekrangan an kelemahan perempuan dengan dogma teologi Yahudi. Teologi Yahudi mengganggap perempuan sebagai sumber dari segala kejahatan. Perempuan dikenal dengan tubuh yang emosi, mudah berubah, dan tidak stabil. Laki-laki adalah simbol pikiran dan aspek jiwa intelektual yang lebih tinggi. Laki-laki adalah situs dan perempuan adalah anima. Secara lebih tegas dukungannya dengan teori nature, Philo menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran, mengetahui dan mengenal dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian ini, memiliki akar yang menghunjam pada tataran kos`mologis. Dengan pikiran dunia dibangun berkaitan dengan kontinuitas, stabilitas dan kekelannya, sebaliknyaperempuan yang direpresentasikan dengan materi, mengkategorikannya pada instabilitas dan mudah berubah.Philo secara lebih vulgar menyatakan ; dikhotomi laki-laki dan perempuanberikut peran sosial yang diembannya, merupakan fakta dari alam dan hukum dunia mengikuti perintah alam.Di sampingfilsafat tentang definisi nature-nya, Philo juga mencari legitimasi pemikirannya pada teks-teks keagamaan, yakni naskah Perjanjian Lama yang diinterpretasikan bukan sebagai mitos atau sejarah, namun lebih dipahami sebagai cara menyimbolkan sesuatu yang mengacupada realitas kosmik. Cerita Adam dan Hawa misalnya, memiliki pengaruh penting bagi status, kedudukan danperempuan.
Senada dengan kontradiksi kosmik yang digagas Phytagoras, yakni siang-malam, Philo yang mungkin terpengaruh oleh Phytagoras menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kategori yang terpisah. Pemisahan ini kemudian menimbulkan perbedaan yang mutlak. Misalnya dinyatakan bahwa ciri-ciri laki-laki adalah akal, yang menyimbolkan ketenangan, aktif, kuat, dan stabil. Sementara perempuan digambarkan dengan emosi, pasif, lemah dan tidak stabil. Berdasarlan pemikiran itu, ia meyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi Hawa untuk menahan emosinya ketika dibujuk syetan, mengakibatkan ia mudah digelincirkan syetan. Menurut Philo, perempuan secara alamiah memiliki sifat lebih terbuka kepada kesenangan fisik, membuat syetan berhasil menggodanya, bahkan rasa rendah diri perempuan dianggap sebagai kaki tangan syetan.
Teori Nurture (Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial), Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala ssuatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara
jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil. Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu.
Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Melengkapi dua konsepsi metafisis di atas, kodrat merupakan penyempurnanya.Kodrat atau esensi merupakan sesuatu yang diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah entitas dikatakan sebagai manuasia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang mutlak, given dan tidak dapat dirubah oleh konstruksi dan kekuatan apapun. Tampaknya, wacana gender, juga selalu digelayuti oleh persoalan seputar kodrati-non kodrati, terkait dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan di jagat ini. Oleh karena itu, membicarakan peran gender tanpa mengikutkan teori yang mengkonstruksinya, akan mengakibatkan wacana tersebut akan kehilangan elan vital-nya. Filsafat Barat yang mendasari kelahiran sejumlah ideologi, perlu dirunut kontribusinya dalam melahirkan konsepsi kodrati dan non-kodrati bagi kedua jenis kelamin manusia ini.
Konsepsi ideologi patriarkhi yang sessunguhya lahir dari mesopotamia Kuno pada zaman neolithik, semakin memiliki daya hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang melahirkan teori-teori identitas, dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini diposisikan sebagai “tersangka” bagi pendefinisian secara tidak adil dan tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan” ideologis antara kekuatan patriarkhi --yang diwariskan oleh peradaban kuno-- dan metafisika Barat, dapat dijelaskan sebagai berikut: Patriarkhi mengurung mahluk laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas yang tertutup rapat antara satu dengan yang lain. Kompartmentalisas ini diperparah oleh pemaknaan identitas perempuan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Perempuan didefinisikan secara sosial, oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Identitas perempuan adalah mahluk yang bukan laki-laki. Jika misalnya laki-laki beridentitas rasional, maskulin dan publik, maka perempuan adalah beridentitas emosional, feminin, dan domestik. Konsepsi identitas ini kemudian mengarah pada adanya dikhotomi, konsepsi kedua dari metafiska Barat.Persekongkolan antara ideologi patriarkhi dan dikhotomi, terlatak pada adanya dominasi satu pihak atas pihak lain, yang lahir dari dikhotomi ini. Kosekusesinya, relasi laki-laki dan perempuan merupakan relasi dominasi. Posisi superior yang dimiliki oleh identitas laki-laki, yakni rasional, maskulin, dan petualang publik, dianggap merupakan kualitas, sifat dan perilaku yan melekat pada identitas tersebut. Kualitas rasionalitas dan maskulinitas laki-laki, diyakini lebih unggul dari kualitas emosionalitas dan feminitas perempuan. Konsekuenasi dari keyakinan ini adalah lahirnya klaim masyarakat patriarkhi bahwa sudah kodratnya, laki-laki memiliki posisi superior, dominatif, dan menikmati posisi-posisi istimewa dan sejumlah privelege lainnya atas perempuan.Untuk melanggengkan superioritasnya, dominatifnya dan kekuatan priveleg-nya, laki-laki harus menekan emosinya dan menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek dan tidak wajar jika laki-laki menangis. Dikatakan tabu kalau laki-laki berbicara lembut. Laki-laki dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara dan bertindak, dan seterusnya.
Berdasarkan kolaborasi dan “perselingkuhan” kepentingan antara patriarkhi dan metafiskan barat yang melahirkan sejumlah keistimewaan posisi laki-l;aki dibanding perenpuan di atas, maka perlu adanya gerakan penyadaran tidak hanya terhadap perempuan tetapi juga terhadap laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah ideologi yang mapan, ternyata dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh manusia. Kendati terkesan sosok patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia dibangun di atas pondasi yang goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas, dikhotomi dan kodrat yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang given dan absolut, sebenarnya tidak lebih dari sekedar buatan tangan manusia. Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya.
Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh instritusi sosial berupa Dharma wanita, demikian juga wacana mengenai posisi laki-laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi agama. Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh masyarakat secara seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.
Untuk mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.
Berdasarkan realitas pengkondisian sosialmasyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa semua itu merupakan produk sosial, maka penghapusan seksisme yang berimplikasi sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang menimbulkan segala bentuk ketidak-adilan gender, sepereti marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran ganda bagi perempuan, salah satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang kuat ideologi patriarkhi. Pembagian kerja secara seksual, seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat melulu sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain dianggap feminin. Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan, sebaliknya perkayuan hanya dilakukan oleh laki-laki. Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air menjadi tugas perempuan.Sementara kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh laki-lakidan perempuan adalah mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen.
Dalam masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak. Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja misalnya dalam suku Arapesh di Papua Newgini, yang beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-isteri, sehingga mereka dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya. Suku Aboriogin di Australia dan kepulauan Tobriand di Papua Newgini meyakini bahwa mengasuh anak adalah merupakan tugas penting ibu maupun ayah.
Mengacu kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah bergantung pada jenis kelamin tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah.
Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik, ekonomi dan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H