Mohon tunggu...
UNI MARNI MALAY
UNI MARNI MALAY Mohon Tunggu... Administrasi - Saya Pengacara

aku ibu dari 5 orang putra-putri, bekerja sebagai pengacara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bundo Kanduang di Minangkabau

30 Maret 2015   05:00 Diperbarui: 4 April 2017   17:57 8037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bundo Kanduang Di Minangkabau

1. Pengertian Bundo Kanduang

Bundo kanduang dalam kaum;

Limpapeh rumah nan gadang, amban paruik pagangan kunci, pusek jalo kumpulan tali, ,hiyasan di dalam kampuang, sumarak dalam nagari.

Nan gadang basa batuah;

Ka pai tampek batanyo, kok pulang tampek babarito,  kok hiduik tampek  baniaik, kok mati tampaik banazar, ka undang-undang ka Madinah, payuang panji ka Sarugo.

Muluik manih kucindam murah;

Baso baiak gulo di bibie, muluik manih talempong kato, sakali rundiang disabuik, takana juo salamonyo.

Masaklah buah kacang padi, padi nan masak batangkai-tangkai, dibawok urang katangah pasa.Bundo kanduang tuladan budi, budinyo nan indak amuah tagadai, paham nan indak amuah tajua.

Inilah gambaran ideal seorang perempuan yang disebut Bundo Kanduang dalam Budaya Minangkabau, sungguh mulya dan elok.

Bundo kanduang secara harfiah berarti, Bundo, adalah Ibu dan Kanduang, adalah Sejati. Jadi, Bundo Kanduang (Bunda Kandung) berarti ibu sejati. Tetapi Ada juga ahli adat menyebutkan bundo kanduang berasal dari kata bundo ka anduang, bundo berarti seorang ibu yang sayang kepada anak keturunannya, sedangkan anduang adalah seorang ibu yang sayang kepada anak, cucu serta cicitnya.

Bahwa secara fitrahnya, manusia, baik perempuan maupun laki-laki, disisi Allah drajatnya sama, yang membedakannya adalah hanya tingkat ke- Taqwaannya semata.  Demikian Syariat Islam mengangkat drajat perempuan ketempat yang mulya, sehingga dalam Al-Quran Allah merasa perlu menjelaskannya dalam satu surat, yakni Surat Annisa. Demikian pula banyak hadist Rasullulah selalu menyerukan akan pentingnya menghormati perempuan, baik sebagai ibu maupun sebagai istri.

Relevan dengan itu, sebagai manifestas dari menyatunya adat dan agama Islam, Hukum Adat Minangkabau yang disusun dan atau dibentuk berdasarkan falsafah; "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, alam takambang jadi guru", maka mengingat pentingnya keberadaan Bundo Kanduang,  budaya Minangkabau telah menempatkan kedudukannya pada posisi yang sangat tinggi dan mulya, menjadikannya memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau, terutama membentuk akhlak generasi muda, dan juga diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial lainnya, baik itu di lingkungan keluarga, sanak famili, maupun di lingkungan tempat tinggal, baik sebagai pemimpin dalam kaum maupun sebagai pemimpin masyarakat dalam kampung dan Nagari, sebagaimana diungkapkan dalam gurindam adat Minang tersebut di atas.

Berdasarkan Tambo Adat Minangkabau, Bundo Kanduang (Bunda Kandung) adalah julukan yang diberikan kepada perempuan yang memimpin Kerajaan Minangkabau baik sebagai ratu maupun selaku ibu dari raja (ibu suri). Gelar ini diwariskan secara turun-menurun. Sebagian pendapat menyatakan bahwa gelar ini pertama kali diberikan kepada Dara Jingga seorang putri dari raja Minangkabau yang menikah dengan seorang bangsawan Kerajaan Singosari dari tanah Jawa, tapi pendapat ini tidak mempunyai bukti yang kuat.

Berkaitan dengan itu, dalam Tambo Alam Minangkabau dinyatakan, Puti Dara Jingga adalah cicit dari Puti Jamilan (lahir 1159), adik  bungsu perempuan,  seayah- seibu dari Datuk Perpatih nan Sabatang (Sutan Balun, lahir 1152) dari perkawinan antara Puti Indo Jelito dengan Cati Bilang Pandai. Namun demikian Puti Jamilan dan keturunanya, termasuk Puti Dara Jingga sebagai pemangku gelar Putri Mahkota, dibesarkan dan di didik oleh Datuk Ketumanggungan (Sutan Panduko Basa, lahir 1147), saudara seibu lain ayah dengan Datuk Perpatih nan Sabatang (Hasil Perkawinan antara PutiIndo Jelito dengan suaminya yang pertama bernama Sutan Sri Maharaaja Diraja yang menikah tahun 1127) raja Kerajaan Minangkabau.  Tahun 1149 Sutan Sri Maharaaja Diraja, mangkat,  Datuk Ketumanggungan sebagai putra Mahkota menjadi raja pada usia 2 tahun, karena itu untuk sementara waktu kekuasaan dipegang oleh ibunya Puti Indo Jelito (ibu Suri). Pada tahun 1295, karena Datuk Ketumanggungan sudah tua, maka  dia menobatkan   Puti Dara Jingga sebagai Ratu Minangkabau bergelar Bundo Kanduang.   Bundo Kanduang ini lah yang melahirkan Raja Adityawarman  sebagai Putra Mahkotayang menjadi raja Minangkabau pada tahun1347- 1375,  dengan gelar Dang Tuanku (Sutan Rumanduang). Berdasarkan kisah dalam tambo tersebut di atas, tidak dapat dipastikan apakah gelar Bundo Kanduang untuk pertama kalinya diberikan kepada Puti Dara Jingga atau bukan, karena pada kenyataannya Puti Indo Jelito sebenarnya secara tidak langsung sempat memerintah atau menjadi Ratu di Kerajaan Minangkabau sebagai pengganti atau wakil dari putranya Datuk Keumanggungan yang baru berusia 2 tahun. Sehubungan dengan itu masyarakat  Minangkabau meyakini, Mande Rubiah yang sekarang ini berada di Lunang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, merupakan keturunan generasi ke-7 dari Bundo Kanduang ( Dara Jingga) yang pernah menjadi Ratu Kerajaan Minangkabau tersebut.

Dalam perkembangan kebudayaan Minangkabau selanjutnya, Bundo Kanduang juga diartikan   sebagai istilah atau  julukan terhadap terhadap golongan perempuan di Minangkabau, yang  memiliki sifat-sifat keibuan sekaligus sifat-sifat kepemimpinan, yang cerdas, bijaksana dan berhati mulya sebagaimana yang digambarkan dalam gurindam adat di atas.

Bundo Kanduang ialah pemimpin non formal terhadap seluruh perempuan-perempuan dan anak cucu dalam kaumnya. Kepemimpinannya tumbuh atas kemampuan dan kharismanya sendiri yang diakui oleh anggota kaum yang bersangkutan. Adanya Bundo Kanduang dalam suatu kaum karena kaum membutuhkan seorang pemimpin perempuan yang dapat memimpin seluruh perempuan dan anak cucu dalam kaumnya. Bundo Kanduang bukanlah jabatan formal yang dipilih dalam suatu pemilihan resmi, ia merupakan figur seorang pemimpin yang tampil secara spontan diantara pemimpin –pemimpin yang ada. Penampilannya adalah berkat kemampuan dan Kharisma yang tumbuh dari dalam dirinya  sendiri yang didukung oleh ilmu pengetahuan yang memadai disertai kejujuran dan tingkah laku yang baik, diterima oleh semua pihak.

Menurut Raudha Thaib (Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung keturunan ke-33. Kerajaan Pagaruyung), Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang atau yang dalam dunia sastra lebih terkenal dengan nama Upita Agustine, sistem masyarakat Minang meletakkan posisi perempuan dan laki-laki seimbang, yang mana konsep jender dalam budaya Minang seperti tangan kiri dan kanan. Perempuan dan laki-laki sama pentingnya, yang membedakan hanya fungsinya. Dalam budaya Minang, keputusan tertinggi dipegang perempuan atau bundo kanduang. lbarat sebuah perusahaan bisa diandaikan owner-nya perempuan, direkturnya laki-laki. “Bundo kanduang” disebut sebagai penerus keturunan, pewaris harta pusaka, penjaga kesejahteraan dalam masyarakat, dan pemegang kedaulatan utama. Oleh karena itu peran bundo kanduang itu banyak sekali, mulai dari memotivasi kaum, mengayomi, hingga mendistribusikan bantuan jika ada keluarga yang tidak mampu. Segala persoalan kaum dan penyelesaiannya berpulang kepada bundo kanduang. Kedudukan itu menuntut perempuan harus kuat karena itu tanggung jawabnya berat. Karena itu pula, untuk memuliakan perempuan, orang Minang menjuluki istri dengan sebutan induk bareh (induk beras). Sebaliknya, dulu dalam ritual tani, orang Minang menyebut padi, mande sayang (ibu sayang). Ada yang tidak suka sebutan itu karena mengintepretasikannya sebagai istri sebagai subordinat suami. “Padahal, yang dimaksud induk bareh itu adalah induk kehidupan. Bareh itu sumber energi untuk hidup. Di Minang, perempuan jadi induk kehidupan dan itu tecermin dalam peran bundo kanduang,” paparnya. Kata Raudha, benih terkait kehidupan. “Di dalam benih ada kehidupan yang kita tidak bisa ciptakan. Melihat benih seperti memandang kebesaran dan keajaiban Tuhan,” katanya.Lewat benih pula, manusia menjadi khalifah di bumi dengan tugas menyempumakan dan merawat ciptaan Tuhan. Kalau benih tidak dipelihara, dia tidak akan berlanjut. Jika manusia merampas semua untuk kebutuhannya, tanpa tanggung-jawab untuk melestarikan, kelak habislah manusia. Bagi saya pendidikan terhadap anak perempuan lebih keras, anak perempuan tidak boleh cengeng, mereka harus bisa mandiri, sebab dia akan menjadi bundo kanduang setidaknya di level rumah tangga. orang senang itu gampang, tetapi menjadi orang susah itu yang sulit. Ada istilah bancah-darek. Kita diajarkan bertahan dalam segala keadaan, baik di tanah basah maupun di darat. “Padi itu benih dan dengan padi apa pun bisa menjadi,” ujar Raudha.

Dewasa ini, kata Bundo Kanduang menjadi sebutan kepada sekelompok perempuan yang berpakaian adat Minangkabau, pendamping para Penghulu atau niniak mama dan para pemuka adat dalam acara-acara seremonial yang diadakan oleh pemerintah. Sebagai pribadi pendamping dimaksud terlihat mereka adalah merupakan kemenakan perempuan atau istri dari Penghulu, niniak mama dan pemuka adat tersebut. Dan Bundo Kanduang juga merupakan satu Lembaga dalam Kerapatan Adat Minangkabau. Selain itu, di Minangkabau, Bundo Kanduang juga diartikan sebagai panggilan kehormatan dari seorang anak terhadap ibunya sendiri. Panggilan tersebut banyak disajikan dalam karya-karya seni sastra, seni drama dan seni suara.

2. Kedudukan Dan Peranan Kedudukan Bundo Kanduang

Memperhatikan gambaran tentang Bundo Kanduang dalam gurindam adat di atas, dalam adat Minang, kedudukan dan peranan perempuan itu sangat besar dan sangat diharapkan keberadaannya.  Disamping itu, Sistem Kekerabatan Matrilinial, pun pula semakin memperkokoh kedudukan perempuan di Minangkabau pada posisi yang sangat mulia dan terhormat. Konsekwensi logis dari semua itu, seorang ibu, baik sebagai Bundo Kanduang dalam keluarga dan kaumnya, maupun sebagai bundo kanduang dalam Nagari mempunyai tanggung-jawab yang besar pula.Oleh karena itu kaum ibu patut mendapat penghormatan dan dimulyakan oleh anak cucunya.

Sistem Kekerabatan Matrilinial, yang menentukan garis keterunannya berdasarkan garis keturunan ibu, mengandung makna, agar manusia yang dilahirkan oleh kaum ibu, patut menghormati dan memuliakan ibu atau perempuan. Kedudukan perempuan yang sangat mulya dan terhormat itu, dapat dilihat dari ciri khas, antar lain:

ü Suku anak menurut suku ibu. Basuku kabakeh ibu Babangso kabakeh ayah Jauah mancari suku Dakek mancari ibu Tabang basitumpu Hinggok mancakam Jika seorang ibu bersuku Piliang, maka anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun  perempuan , beruku Paliang pula sesuai dengan suku ibunya. Demikian pula jika seorang ibu bersuku jambak atau Caniago dan lain-lain, anak-anaknya, bersuku sama dengan suku ibunya;

ü Pusako tinggi turun dari mamak ka kamanakan, pusako randah turun dari bapak kapado anak. Dalam hal ini terjadi "ganggam bauntuak" hak kuaso pada perempuan hak mamaliharo kapado laki laki. Dan hak menikmati secara bersama sepakat kaum, ayianyo nan buliah diminum, buah nan buliah dimakan, nan batang tatap tingga, kabau pai kakbuangan tingga, luluak dibawok sado nan lakek di badan.

ü Exogami (kawin diluar suku).

ü Matrilokal (suami kerumah istri). Rumah tempat kediaman diperuntukkan untuk kaum perempuan dan bukan untuk laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki secara kodrat lebih kuat dibandingkan perempuan. Mengingat pentingnya peranan wanita dalam kehidupan dan juga kodratnya yang lemah, maka Adat Minangkabau lebih mengutamakan perlindungan terhadap kaum wanita. Sesuai dengan pepatah adat:

Nan lamah ditueh,

Nan condong ditungkek,

Ayam barinduak,

Sirieh bajunjuang.”

Itu pula sebabnya seorang bapak di Minangkabau selalu mempunyai cita-cita untuk membuatkan rumah tempat tinggal anaknya yang perempuan, bukan untuk anaknya yang laki-laki. Bahkan menurut adat Minangkabau, sudah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini sangat mempengaruhi sistem perkawinan di Minangkabau, dimana setiap terjadi perkawinan si laki-laki menetap di rumah perempuan, sebaliknya apabila terjadi perceraian, laki-laki yang pergi dari rumah, perempuan tetap tinggal.

ü Sawah dan ladang merupakan sumber ekonomi, pemanfaatannya diutamakan untuk keperluan wanita karena wanita lebih lemah dibanding laki-laki. Sebaliknya kaum laki-laki Minangkabau diberi tugas mengurus dan mengawasi sawah ladang untuk kepentingan bersama karena laki-laki menjadi tulang punggung bagi wanita, namun tidak berarti bahwa kaum laki-laki tidak dapat menikmati hasil atau mendapat manfaatnya sama sekali.

Sebagai, “bundo kanduang di dalam kaum”, atau keluarga, perempuan Minang, harus memiliki sifat kepemimpinan dan ibu sejati. Hal ini penting karena ibu tempat bertanya, ditiru dan menjadi teladan lingkungan keluarganya. Bahwa seorang ibu akan lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkan seperti pepatah:

“Kalau karuah aie di hulu, sampai ka muaro karuah juo,
Kalau kuriak induaknya, rintiak anaknyo, Tuturan atok jatuhan kapelimbahan”

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih; Kalau keruh air dihulu/sampai ke muara keruh juga/kalau ibunya kurik, rintik anaknya/cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan, artinya sifat-sifat ibu akan sangat dominan ditiru oleh anak-anaknya. Hal ini wajar, mengingat ibu lebih banyak berada disamping anak-anaknya.

Sebagai, “limpapeh rumah nan gadang, perempuan Minang atau bundo kanduang diibaratkan sebagai tiang utama bangunan rumah gadang yang letaknya di tengah rumah yang akan terlihat pertama sekali ketika orang akan naik ke rumah gadang. Pengibaratan Bundo Kanduang sebagai limpapeh, karena ia jadi orang pertama dan utama kelihatan oleh masyarakat. Dia tampak menonjol, disegani, dihormati dan diagungkan. Apabila tiang tengah ambruk, maka tiang yang lainnya akan berantakan. Pengertian limpapeh disini sendiri menurut adat Minangkabau adalah seorang bundo kanduang yang telah meningkat menjadi seorang ibu. Jadi, ibu sebagai seorang limpapeh rumah gadang adalah tempat meniru, teladan. "Kasuri tuladan kain, kacupak tuladan batuang, satitiak namuah jadi lawik, sakapa buliah jadi gunuang." Seorang ibu bertugas membimbing dan mendidik anak yang dilahirkan dan semua anggota keluarga lainnya di dalam rumah tangga.

Sebagai,” amban paruik pagangan kunci, artinya perempuan Minang diibaratkan sebagai kain pelilit pinggang semacam korset yang mempunyai kantong untuk menyimpan segala sesuatu yang berkaitan dengan harta kekayaan kaum. Hal ini karena, perempuan, sesuai dengan sifatnya yang pandai berhemat dan pandai mengatur ekonomi, maka yang menyimpan hasil sawah ladang dipercayakan kepadanya.

Sebagai, “pusek jalo kumpulan tali, ibarat jala ikan, Bundo Kanduang diibaratkan sebagai pangkal semua tali, pangkal semua benang, tempat berhimpunnya atau terkumpulnya semua informasi dan permasalahan. Oleh karena itu, perempuan atau Bundo Kanduang, dalam musyawarah, mempunyai hak suara dan pendapat sama dengan laki-laki menyangkut segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam lingkungan kaumnya. Bahkan suara dan pendapat perempuan menentukan lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut. Misalnya, dalam upacara pernikahan belum dapat dilaksanakan jika belum mendapat persetujuan dari kaum perempuan atau kaum ibu. Demikian pula dalam mendirikan gelar penghulu dalam suatu kaum baru dapat diresmikan apabila semua ibu dalam kaum tersebut menyetujuinya. Di samping itu penggunaan harta pusaka seperti menggadai, atau hibah dapat dilakukan tetapi harus mendapat persetujuan dari seluruh wanita anggota kaumnya. Penggunaannya pun untuk kepentingan bersama, misalnya untuk biaya upacara kematian, biaya upacara perkawinan anak perempuan dan untuk memperbaiki rumah gadang (rumah adat).

Sebagai, “unduang-unduang ka madinah, payuang panji ka sarugo”, dalam pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan sifat-sifat baik dalam berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam perbuatan. Dia harus menjauhi sifat pendusta, sebaliknya selalu berpihak dan menegakkan kebenaran serta ahklak sesuai tuntunan agama Islam. Dimasa jahiliah berlaku pelecehan terhadap anak perempuan. Kelahiran anak perempuan disambut dengan kematian. Wanita hanya pembawa aib, bayi perempuan mesti dibunuh. Setelah Islam, alquran menyebut perempuan dengan "Annisaa" dan "umahat". Perempuan adalah bundo atau "ibu". Annisaa adalah tiang bagi suatu negeri, begitu penafsiran tentang perempuan. Semenjak dua abad yang lalu, alquran menempatkan perempuan dalam derajat yang sama dengan laki-laki pada posisi azwajan (pasangan hidup) Perempuan menyimpan arti pemimpin (raja), orang pilihan, ahli, yang pandai, dengan segala sifat keutamaan yang dikurniakan Allah kepada Nya sebagaimana firman Allah Ta’ala , Artinya :

“Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].

Pesan Rasulullah SAW dalam sebuah hadist, kaum ibu itu adalah tiang utama dalam nagari, kalau mereka baik, akan baiklah seluruh nagari, dan kalau mereka rusak, maka binasalah seluruh nagari. Sunnah Nabi menyebutkan ;

Dunia itu adalah perhiasan dan perhiasan yang paling indah adalah perempuan yang shalih (perempuan baik-baik yang tetap pada peran, dan konsisten menjaga citranya).”

Perempuan Minang atau Bundo Kanduang, mestilah dapat bertingkah laku dan bersikap sebagaimana yang diibaratkan gurindam adat berikut;

Muluik manih kucindam murah;

Baso baiak gulo di bibie, muluik manih talempong kato, sakali rundiang disabuik, takana juo salamonyo.

Bahwa yang disebut perempuan adalah sebagai berikut :

ü Tapakai taratik dengan sopan, mamakai baso jo basi, tahu jo ereang dengan gendeang, artinya : Perempuan itu memakai etika dan sopan santun dalam tata pergaulan, dan memakai basa-basi, arif dengan keadaan, mengenal kondisi dan memahami posisi keberadaan mereka.

ü Mamakai raso jo pareso manaruah malu dengan sopan, manjauhi sumbang jo salah, Muluik manih baso katuju, kato baiak kucindan murah, pandai bagaua samo gadang.

ü Takuik di budi katajua Malu di paham ka tagadai Pandai menata, menyajikan kebahagiaan di rumah tangga Pandai menuntun kepada yang baik dan menghimpunkan yang terserak Takut budi akan terjual Sangat cemas dan malu pendirianya akan tergadai (perempuan dalam budaya minangkabau sangat teguh memelihara citranya dan konsisten)

ü Perempuan minangkabau pandai dan mengerti posisinya : Tau dimungkin jo patuik Malatakan sasuatu pado tampeknyo Tahu ditinggi randah Baying-bayang sapanjang jalan Buliah ditiru ditauladan Kasuri tauladan kain Ka cupak tuladan batuang Artinya, Mengetahui mana yang pantas dan patut untuk dilakukan Pandai meletakan sesuatu pada tempatnya Sangat arif (tahu mana yang harus diletakan ditempat yang tinggi dan mana pula yang harus diletakan ditempat yang rendah) Pandai berhitung, hemat, dan tidak boros Sikap dan perilakunya dapat ditiru, amalanya dapat dicontoh, seperti patron kain yang dapat dipotong dan dijahit Bertindak adil seperti cupak (gantang) dan tindakanya dapat jadi ukuran Maleleh buliah dipalik Manitiak buliah ditampuang Satitiak buliah dilauikan Sakapa buliah digunuangkan Iyo dek urang dinagari Pemurah dan penyantun, perbuatanya dapat dipedomani dan bermanfaat bagi orang dinagari

ü Hiduik batampek Mati bakubua Kuburan hiduik dirumah gadang Kuburan mati di tangah padang Artinya : Memiliki tempat dikala hidup dan memiliki kuburan dikala mati Tempat perempuan semasa hidupnya adalah dirumah gadang dan kalau dia sudah meninggal, kuburanya terletak ditengah padang Dapat dipahamkan bahwa tidak pantas perempuan minangkabau bermain ditanah lapang kalau tidak ada keperluan penting

Lebih lanjut, di dalam adat Minangkabau Hakymi Dt. Rajo Penghulu, mengklasifikasikan perempuan ke dalam tiga bagian, yaitu (1) parampuan, (2) simarewan, dan (3) mambang tali awan.

Parampuan, mengacu kepada perempuan yang mempunyai budi pekerti yang baik, tawakal kepada Allah, sopan dan hormat pada sesama. Sifat ini tampak dalam ungkapan: budi tapakai taratik dengan sopan, memakai baso-basi di ereng jo gendeng, tahu kepada sumbang salah, takut kepada Allah dan Rasul, muluik manih baso katuju, pandai bagaua samo gadang, hormat pado ibu jo bapa, baitupun jo urang tuo.

Simarewan, istilah yang mengacu kepada perempuan yang tidak mempunyai pendirian, tidak mempunyai budi pekerti. Sifat ini tampak dalam ungkapan berikut: paham sebagai gatah caia, iko elok etan katuju, bak cando pimpiang di lereng, bagai baliang-baliang di puncak bukik, ka mano angin inyo kakian, bia balaki umpamo tidak, itulah bathin kutuak Allah, isi narako tujuan lampiah.

Mambang tali awan, adalah perempuan yang sombong, tidak punya rasa hormat, tenggang rasa, selalu ingin kedudukannya. Sifat ini terlihat dalam ungkapan: parampuan tinggi ati, kalau mangecek samo gadang, barundiang kok nan rami, angan-angan indak ado ka nan lain, tasambia juo laki awak, dibincang-bincang bapak si upiak, atau tasabuik bapak si buyuang, sagalo labiah dari urang, baiklah tantang balanjonyo, baiak kasiah ka suami, di rumah jarang baranjak-ranjak, dilagakkan mulia tinggi pangkek, sulit nan lain manyamoi, walau suami jatuah hino, urang disangko tak baiduang, puji manjulang langik juo.

Jelaslah, bahwa adat Minangkabau pada khususnya membentuk individu yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya, manusia yang beradab. Sifat-sifat ideal itu adalah;

a. Hiduik baraka, baukua jo bajangko, artinya orang minang harus mempunyai "rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat";

b. baso-basi malu jo sopan, artinya adat Minang mengutamakan sopan santun dalam pergaulan;

c. tenggang raso, artinya di dalam pergaulan yang baik kita harus menjaga perasaan orang lain. Dalam pergaulan, adat mengajarkan kita selalu berhati-hati dalam berbicara, bertingkah laku tidak menyinggung perasaan orang lain;

d. setia, artinya teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan.

Dalam realita kehidupan masyarakat Minangkabau yang sebenarnya, apakah konsep budaya Minangkabau ini sudah tersosialisasikan dan tertanamkan dalam diri masyarakat? Seberapa jauh perempuan Minang menghayati sifat yang melekat pada Bundo Kanduang seperti yang dilukiskan dalam Kato Pusako?

Menurut penulis, sosialisasi mengenai konsep-konsep budaya Minangkabau ini tentu saja sangat memotivasi dan membantu masyarakat dalam membentuk kepribadiannya dan menentukan sikap ke depan dalam rangka mempertahankan budaya Minangkabau dari pengaruh budaya asing yang begitu kuat masuk dan mempengaruhi perilaku masyarakat sehingga cenderung tidak lagi berpijak ke budaya Minangkabau bahkan akan bisa menyebabkan hilangnya identitas diri.Bagi kaum perempuan, dengan memahami peran dan kedudukannya dalam adat Minangkabau itu secara mendalam tentu saja lebih memotivasi dirinya dan memberikan inspirasi untuk menjalankan peranannya sebagai perempuan Minang.

3. Bundo Kanduang di dalam Kaba Cindua Mato

Dalam kaba Cindua Matro, Bundo Kanduang adalah seorang ratu yang memerintah di  Kerajaan Pagarruyung,  yang mempunyai seorang putra bernama Sutan Rumandung bergelar Dang Tuanku. Ia mempunyai seorang adik laki-laki bergelar Rajo Mudo yang memerintah di daerah rantau timur Minangkabau direnah sekalawi (sekarang kab.lebong) Dan ia mempunyai seorang keponakan (anak dari adik perempuannya bernama Cindua Mato).

Ia naik tahta menjadi raja sepeninggal ayahnya sementara itu saudara laki-lakinya bukanlah figur yang cocok untuk menjadi raja. Diduga ia memerintah di saat terjadinya kevakuman di Pagaruyung (periode sekitar abad 15 - 16). Akibat serangan dari kerajaan di Timur, ia sekeluarga menyingkir ke arah barat daya Pagaruyung yaitu ke Inderapura atau Lunang.Dan menetap disana, dalam pelariannya Sultan Rumandung mempunyai dua anak Sutan Sarduni dan Putri Sariduni.

Kaba Cindua Mato (KCM) adalah karya sastra Minangkabau yang popular, terkenal dalam masyarakat Minangkabau. Sebagai karya sastra yang popular, KCM ini terdapat dalam naskah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden (van Ronkel, 1921) dan di Perpustakaan Nasional, Jakarta (Juynboll, 1899 dan Sutaarga, 1972) dan diterbitkan dalam beberapa edisi, di antaranya, edisi van der Toorn (1886), Gurun (1904), Saripado (1930), Madjoindo (1964), Endah (1967), Singgih (1972), dan Penghulu (1980); serta pernah digubah dalam bentuk naskah sandiwara oleh Moeis (1924), Penghulu (1955), dan Hadi (1977 dan dalam Esten, 1992).

KCM ini juga telah dibicarakan oleh para ahli, di antaranya oleh Abdullah (1970) berjudul, “Some Notes on the Kaba Cindua Mato: an Example of Minangkabau Traditional Literature”; Esten (1992) membicarakan KCM ini tentang tradisi dan modernitas dalam sandiwara Cindua Mato dalam hubungannya dengan mitos Minangkabau, dan Djamaris (1995) melakukan penelitian perbandingan kepahlawanan Hang Tuah dengan Cindua Mato.

Sesuai dengan judulnya, karya sastra ini tergolong kaba, cerita prosa berirama yang panjang. KCM ini tergolong sastra pahlawan, sastra epos, atau wiracerita, cerita yang mengisahkan perjuangan seorang tokoh cerita untuk mencapai tujuan yang terpuji, membela negeri atau kerajaan Minangkabau.Dalam KCM ini yang menjadi tokoh pahlawan adalah Cindua Mato, seorang hamba, pembantu utama Kerajaan Pagaruyung, alam Minangkabau.Kerajaan Pagaruyung yang diperintah oleh seorang ratu yang disebut Bundo Kanduang dan putra mahkotanya, putra Bundo Kanduang, yaitu Dang Tuanku.

Bundo Kanduang sebagai ratu, Dang Tuanku sebagai putra mahkota, dan Cindua Mato sebagai pembantu utama adalah tokoh sentral dalam KCM ini, tokoh yang banyak berperan dalam cerita.

KCM ini mengisahkan kebesaran dan keagungan Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Tema pokok, tujuan perjuangan Cindua Mato adalah mengagungkan Ratu Kerajaan Pagaruyung. Tokoh yang ditonjolkan adalah Bundo Kanduang sebagai ratu dan Dang Tuanku sebagai raja alam Minangkabau, sedangkan Cindua Mato merupakan tokoh yang berfungsi mengukuhkan kebesaran dan keagungan Ratu dan Raja Minangkabau dengan cara membasmi kezaliman dan menegakkan kebenaran. Tema KCM ini adalah Ratu dan Raja Minangkabau adalah Ratu dan Raja yang besar dan agung.Kerajaan yang besar dan agung tidak mungkin dikalahkan dengan kebohongan dan tipu daya. Raja yang zalim akan celaka, kejahatan akan dibalas dengan kejahatan, tipu daya dibalas dengan tipu daya. Amanat cerita ini adalah, jangan suka menodai, membohongi, dan menipu raja yang baik.

Tokoh perempuan, Bundo Kanduang, sangat menonjol dalam KCM ini. Sebagaimana sudah umum diketahui dalam masyarakat Minangkabau, perempuan sangat dihargai dan dimuliakan. Perempuan disebut dengan istilah Bundo Kanduang dan laki-laki disebut niniak mamak. Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau adalah garis keturunan matrilineal, garis keturunan berdasarkan garis ibu. Harta pusaka, seperti rumah, sawah ladang diwariskan kepada kemenakan perempuan.

Dalam KCM ini, kita akan mengetahui bagaimana citra perempuan, apakah sesuai dengan kedudukannya dalam adat Minangkabau itu yang sangat dimuliakan. Berikut ini akan dibicarakan citra perempuan (Bundo Kanduang) dalam KCM ini.2) Citra Perempuan (Bundo Kanduang) dalam KCM, Bundo Kanduang diceritakan adalah ratu Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau, ratu yang besar dan agung. Keagungannya diketahui dari awal cerita. Ia menjadi raja dengan sendirinya sama terjadinya dengan alam Minangkabau. Karena ia bukan manusia biasa, tidak diceritakan bagaimana asal-usulnya, siapa ayahnya dan siapa ibunya.Kebesarannya sama, bahkan lebih dari Raja Rum dan Raja Cina. Dia seketurunan dengan Raja Rum dan Raja Cina itu. Raja Rum dan Raja Cina pernah melamarnya. Lamaran itu disetujui, tetapi sebelum perkawinan dilaksanakan, raja-raja besar itu sudah meninggal karena tidak dapat mengimbangi kesaktian dan kebesaran Bundo Kanduang (Panghulu, 1980:161). Keagungannya juga terungkap melalui perlengkapan istana yang dimilikinya antara lain mahkota Kulah Kamar, kain Sang Seto Sigundam-Gundam, keris Curik si Mundam Giri (Panghulu, 1980:129).

Ia orang yang sakti. Ia mengalami hal-hal yang bersifat supernatural. Ia tidak mempunyai suami, tetapi ia hamil setelah diberi tahu oleh seorang Wali Allah melalui mimpi bahwa ia sedang mengandung seorang anak yang kelak menjadi raja Minangkabau. Ia disuruh minum air kelapa nyiur gading yang sakti. Setelah meminum air kelapa gading itu ia hamil dan kemudian lahirlah anaknya Sutan Rumandung yang bergelar Dang Tuanku, yang kelak menjadi Raja Alam Minangkabau, Daulat yang Dipertuan.

Bundo Kanduang diceritakan sebagai tokoh yang pintar, cerdas, arif bijaksana. Sebagai orang yang cerdas dan pintar, ia mengajar anaknya Dang Tuanku dan mengajari Cindua Mato dalam segala hal, antara lain, tentang adat istiadat, sopan santun dalam masyarakat, dan cara-cara memerintah (Panghulu, 1980: 131, 161-162).

Sebagai orang yang demokratis,, arif, dan bijaksana, ia tidak memutuskan sendiri segala masalah. Ia mengatur dan memberi tugas orang sesuai dengan jabatan dan keahliannya. Dalam pemerintahan ia dibantu oleh beberapa lembaga yang menjadi sarana kelengkapan pemerintahan yaitu lembaga Rajo Duo Selo (Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat (agama) di Sumpu Kuduih) dan Lembaga Basa Ampek Balai (Dewan Empat Menteri) yaitu Bandaharo di Sungai Tarab, Tuan Kadi di Padang Gantiang, Makhudum di Sumanik, Indomo di Saruaso (Panghulu, 1980:131).

Pengambilan keputusan tidak dilakukannya sendiri, tetapi selalu dibawanya bermusyawarah. Ia selalu berunding dengan pembantu-pembantunya. Keputusan yang telah diambil dalam musyawarah diikutinya walaupun bertentangan dengan keinginannya. Kebijaksanaan Bundo Kanduang terungkap ketika dalam sidang bersama dengan Basa Empek Balai, masalah Cindua Mato yang membawa Puti Bungsu dari negeri Sikalawi ke Pagaruyung diserahkan keputusannya kepada Bundo Kanduang, ia menolak secara bijaksana sebagai berikut.

“Manjawab Dang Tuanku, “Ampun sayo Bundo Kanduang-kicuah-kicang bunyi salahnyo-putuihkan malah hukum nangko.”

Manitah pulo Bundo Kanduang, “Indak denai mamagang adat-indak denai mamagang limbago-hukum syarak jauah sakali-adat pagangan Bandaharo-syarak pagangan Tuan Kadi-bicaro pulang kepadonyo-ikolah samo bahadapan.” (Panghulu, 1980:245).

Terjemahannya :‘Menjawab Dang Tuanku, “Maafkan saya Bundo Kanduang-tipu muslihat macam salahnya-putuskanlah hukuman ini.”

Menitah pula Bundo Kanduang, “Bukan saya ahli adat-bukan saya ahli lembaga-hukum agama jauh sekali-adat dikuasai Bandaharo-syarak dikuasai Tuan Kadi-keputusan dikembalikan kepadanya-sekarang sudah berhadapan.”

Sebagai seorang ratu yang arif bijaksana, ia secara diplomatis memberi petunjuk kepada Basa Ampek Balai bagaimana cara menyambut kedatangan Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, yang sangat marah menuntut Cindua Mato yang telah melarikan Puti Bungsu, sebagaimana terungkap pada kutipan berikut.

Baruari Bundo Kanduang-manitah ka Basa Ampek Balai, “Jikok datang Imbang Jayo-jan disonsong dengan karih-songsong jo siriah dangan pinang-sonsong jo jamba jo hidangan-lawan jo adaik jo limbago-lawan jo sudi jo siasaik-apo dijapuik diantakan-ingek-ingek tantang itu.” (Panghulu, 1980:262)

Terjemahannya; Adapun Bundo Kanduang-menitah kepada Dewan Empat menteri, “Jika datang Imbang Jayo-jangan disambut dengan keris-sambutlah dengan sirih dan pinang-sambut dengan makanan dan minuman-ajak dengan adat istri-adat-ajak dengan siasat-apa dijemput diantarkan-ingat-ingat tentang hal itu.”

Demikianlah kebesaran dan keagungan Bundo Kanduang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan citra Bundo Kanduang sebagai pemimpin di Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Ia adalah Ratu Agung yang memiliki sifat-sifat luar biasa; ia seketurunan dengan raja besar di dunia, yaitu Raja Rum dan Raja Cina, ia memiliki benda-benda yang istimewa, seperti mahkota Kulak Kamar, Kain Sang Seto, dan keris Curak si Pundan Giri; ia adalah seorang yang sakti setelah meminum air kelapa gading yang sakti. Ia pintar, cerdas, arif bijaksana, dan demokratis.(Edwar Djamaris, dari Pusat Bahasa, Jakarta)

Menurut Penulis cerita Kaba Cindua Mato, boleh jadi mempunyai nilai-nilai historis dan edukatif, namun tentang kebenarannya tentu mesti diuji dengan sejarah, tambo adat Minangkabau serta sumber-sumber lainnya.  Dengan tetap bertolak dari pandangan,” penjajah tetaplah penjajah”, bukan tidak mungkin cerita tersebut dibangun untuk kepentingan Belanda, yang disatu puhak menina bobokan masyarakat Minang dengan legenda nenek moyang yang hebat, di lain pihak merusak sejarah itu sendiri. Bahwa beberapa bahagian dari KCM tersebut tidak sesuai dengan falsafah,” Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah, Syarak mangato, adat mamakai, Alam takambang jadi guru”, seperti misalnya Bundo Kanduang hamil setelah meminum air kelapa. Dan beberapa bahagian pula tidak sesuai dengan isi atau kisah yang diuraikan dalam tambo adat Minangkabau, seperti isi kisah yang menceritakan Bundo Kanduang diangkat jadi Ratu oleh ayahandanya, pada hal menurut Tambo, dia dinobatkan oleh kakeknya Datuk Ketumanggungan, karena dari awal memang dia adalah putri mahkota.  Kenyataan ini tentunya merupakan tantangan bagi orang Minang untuk menggali sejarah budayanya lebih teliti dan giat lagi, sampai bertemu sejarah yang benar.

Bahwa satu hal yang perlu di catat oleh orang Minang, terutama sekali para generasi muda, budaya Minang telah pernah besar dan jaya, terbukti dari tokoh-tokoh besar bangsa ini yang lahir dari putra putrid Minang, baik sebagai ulama, pejuang, sastrawan dan sebagainya. Pada abat ke 19, terkenalah Syeh Burhanuddin asal Ulakan Pariaman yang menjadi penyebar syariat Islam ke hamper seluruh Nusantara ini.  Di masa perjuangan melawan Penjajah awal abat ke 18, terkenal pula;  Haji Miskin, Haji Piobang, Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol. Diawal abat ke 19, Dikalangan bundo kanduang atau kaum perempuan terkenalah antara lain ; Siti Manggpoh, Rasuna Said dan Rohana Kudus. Dikalangan laki-laki, dunia mengakui ketokohan nama-nama, antara lain; Agus Salim, HAMKA, Tan Malaka, Hatta, Syahrir, Yamin, Natsir, Khairul Anwar, Sutan Takdir Alisyahbana, Ismael Marzuki dan banyak lagi lainnya.

Mereka semua tak lain dan tak bukan produk budaya Minangkabau, yang dari kecil di besarkan dan di didik dengan budaya dan agama Islam di sekolah khas Minangkabau, yang bernama, “ Surau”. Kejayaan seperti inlah yang mesti dijemput pulang oleh generasi muda Minangkabau, agar; jalan ndak di aliah urang lalu, cupak ndak dituka urang panggaleh !

Dt. Sanggoeno Diradjo Ibrahim , Tambo Alam Minangkabau , Kristal Multimdia, 2009. Hal 71-74.

Raudha Thaib: Memuliakan "Bundo Kanduang" , Kompas, Minggu 21 Juli 2013http://tumbuhtumbuh.blogspot.com/2013/07/raudha-thaib-memuliakan-bundo-kanduang.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun