Mohon tunggu...
Marnida Tampubolon
Marnida Tampubolon Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ibu rumah tangga yang nyambi kerja jadi buruh. Keluargaku adalah hartaku

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

PP Nomor 61 Tahun 2014 yang Kontroversial

20 Agustus 2014   19:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:03 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14085148311848386890

[caption id="attachment_354144" align="aligncenter" width="546" caption="Ilustrasi (Sumber: regional.kompas.com)"][/caption]

Akhir-akhir ini publik sedang diramaikan dengan adanya PP nomor 61 tahun 2014 yang kontroversial. PP nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menuai kontroversi karena mengizinkan aborsi. Dalam hal ini aborsi yang diperbolehkan karena ada indikasi kedaruratan medis, yaitu kehamilan yang membahayakan keselamatan nyawa dan kesehatan ibu serta janin dalam kandungan, juga kehamilan akibat perkosaan. Banyak yang mengkhawatirkan PP akan disalahgunakan oleh mereka yang hamil karena hubungan perselingkuhan dan seks bebas untuk menggugurkan kandungan. Sebenarnya poin ini tidak perlu dikhawatirkan karena jelas dalam PP tersebut aborsi dengan kondisi ini tidak diijinkan. Ada juga yang berpendapat bahwa walaupun masih janin atau bahkan saat sel telur bertemu sel sperma yang mengawali masa kehidupan janin, janin sudah seharusnya memiliki hak hidup yang seharusnya tidak dirampas dengan kondisi apapun juga.

Saya agak enggan sebenarnya mengemukakan pendapat mengenai hal ini. Saya cenderung netral terhadap hal ini, tidak setuju ataupun setuju. Walaupun secara pribadi saya punya pandangan yang berbeda, saya cenderung akan menyarankan agar si ibu menerima ‘anugrah’ yang diberikan, namun jika dengan kondisi yang diatur dalam PP tersebut yaitu 1. Dapat membahayakan nyawa ibu dan bayi; 2. Kehamilan akibat perkosaan; si ibu tetap memutuskan untuk tetap tidak meneruskan kehamilan, maka haruskah kita mengkriminalisasi keputusannya tersebut…?

Seorang teman pernah menjalani kehamilan dimana saat masa-masa pembuahan kondisi badannya sedang tidak fit, flu – demam – yang ternyata cacar atau campak (saya kurang ingat antara kedua ini). Saat konsultasi pertama dengan dokter kandungan, dokter sendiri sudah memberikan gambaran kondisi perkembangan janin dimana kondisi kesehatan si ibu akan mempengaruhi kondisi si janin, dan dari dokter sendiri sudah memberikan saran agar kehamilan tidak diteruskan. Namun setelah diskusi yang panjang baik dengan suami, konsultasi dengan keluarga, dokter lain (second, third, dan entah beberapa opinion), teman dan suaminya memutuskan akan meneruskan kehamilan dan menerima apapun yang nantinya terjadi. Dan memang selama kehamilan banyak perawatan yang harus dijalani oleh si ibu, dan berlanjut saat kelahiran, saat bulan-bulan awal kehidupan si bayi, dan hingga sekarang anak tersebut sudah mau masuk smp. Memang anak tersebut hidup dan merupakan kebahagiaan bagi keluarga teman saya tersebut. Walaupun dengan kondisi hingga sekarang masih harus mengkonsumsi obat-obatan setiap hari. Saya pribadi salut dengan keputusan dan perjuangan teman saya ini.

Idealnya seorang anak dilahirkan dalam keluarga yang memang mendambakannya, menerima anak tersebut dan dapat membesarkannya. Namun bagaimana dengan kondisi yang berbeda…?Seperti kehamilan akibat perkosaan, dimana calon ibu secara mental tidak dapat menerima kehamilan tersebut. Haruskah kehamilan tersebut harus dipaksakan walaupun nantinya beresiko terhadap perkembangan si anak, dan juga masa depan si anak. Memang sebaiknya harus ada pendampingan dan dukungan sehingga si ibu dapat menerima kehamilan. Dan jika si anak sudah dilahirkan, jika si ibu menolak membesarkan si anak, bagaimanakah nasib anak tersebut.

Saya tidak akan menyimpulkan apa-apa di sini. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya bahwa jika sebagai warga negara saya ditanyakan apakah saya setuju atau tidak, saya akan cenderung netral. Secara pribadi saya akan menyarankan agar si ibu menerima ‘anugrah’ yang diberikan oleh Tuhan terlepas dengan kondisi apapun kehamilan tersebut. Namun saya juga enggan mengkriminalisasi keputusan ibu yang diambil dengan kondisi aborsi yang diijinkan yang disebutkan dalam PP nomor 61 tahun 2014. Saya kembalikan itu semua kepada masing-masing pribadi, sebagai tanggung jawab kita kepada Yang Kuasa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun