Mohon tunggu...
Marnalom Denridwan B T
Marnalom Denridwan B T Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kisah Seorang Karyawan Swasta sebagai Penerima Bantuan Sosial jenis PKH

15 April 2024   09:13 Diperbarui: 15 April 2024   09:16 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi halaman depan rumah Bu Reva yang langsung terhubung dengan jalan umum (foto diambil oleh penulis)

Pada wilayah perkotaan tepatnya di kota Pontianak, kami menemukan salah satu keluarga yang merupakan penerima bantuan sosial berjenis PKH (Program Keluarga Harapan) pada tahun 2023 lalu. Responden yang berkesempatan kami wawancarai pada saat itu ialah Bu Yeti Alvina yang merupakan salah satu Ibu Rumah Tangga dan juga bekerja sebagai Karyawan Swasta. Lokasi rumah Ibu ini tepat berada di tengah kota namun dalam lingkup wilayah kumuh yang berada di kelurahan Benua Melayu Darat, Pontianak Selatan. Dengan posisi rumah yang saling berdempetan satu sama lain tanpa memiliki halaman depan ataupun belakang di rumah tersebut.

Saat wawancara dilakukan, Bu Yeti Alvina yang berusia 45 tahun ini bercerita mengenai kondisi kehidupan mereka. Di rumah tersebut, Ia tinggal bersama dengan suami beserta 3 orang anaknya yang masih bersekolah. Dengan status suami Bu Yeti Alvina yang merupakan pekerja serabutan, sehingga Bu Yeti Alvina memutuskan untuk mencari pekerjaan tambahan demi menafkahi keluarganya dengan menjadi seorang pekerja swasta di salah satu perusahaan yang tidak jauh dari rumahnya. Ia menjelaskan pendapatan yang diperoleh sebesar Rp 2.000.000,00 per bulan, jika ditambah dengan pendapatan suami nya berkisar hampir Rp 3.000.000,00 dalam sebulan.

Dengan pendapatan yang terbilang besar, pendapatan tersebut masih kurang cukup bagi mereka karena tinggal di wilayah perkotaan yang membutuhkan biaya lumayan besar dan masih menanggung 3 orang anak. Pengeluaran keluarga Bu Yeti Alvina cukup besar dengan perkiraan pengeluaran yang ia sebutkan sebesar Rp 400.000 dalam sebulan. Meskipun demikian, keluarganya tetap makan dalam frekuensi 2 sampai 3 kali dalam sehari.

Meskipun lokasi rumah Bu Yeti Alvina berada tepat di tengah kota, rumah tersebut adalah milik pribadi dengan luas 10 x 15 meter, yang mana sangat berdekatan dengan rumah warga lainnya. Ukuran tersebut sudah mencakup dengan tanah mereka, jadi tidak ada ruang tanah tersisa karena sudah sepenuhnya dijadikan rumah. Dinding yang digunakan dalam rumah tersebut adalah setengah tembok, bagian depan rumah berdinding semen namun di bagian belakang hanya berdinding kayu. Atap pada rumah itu sudah menggunakan seng dan lantainya sudah menggunakan keramik.

Selain itu, rumah Bu Yeti Alvina tidak begitu lengkap karena belum memiliki wc sendiri di dalam rumahnya. Mereka menggunakan fasilitas WC umum yang tidak berada jauh dari rumahnya sebagai tempat untuk mandi, mencuci serta BAB. Sumber air yang mereka gunakan ialah dari PDAM dan sumber air minum mereka adalah galon isi ulang yang dapat dibeli dari warung sekitar rumah mereka. Rumah Bu Yeti Alvina mendapati akses listrik sehingga penerangan yang digunakan dalam rumah adalah lampu listrik dengan tingkat daya listrik sebesar 900 watt.

wc umum yang digunakan (foto diambil oleh penulis)
wc umum yang digunakan (foto diambil oleh penulis)

Di lingkungan kumuh tersebut, mudah bagi para warga terjangkit penyakit jika tidak serius dalam menangani kebersihan lingkungan. Salah satu cara Bu Yeti Alvina dalam mengantisipasi hal tersebut ialah dengan sebisa mungkin rutin membersihkan pekarangan rumahnya agar tidak terkena virus ataupun bakteri. Akses kesehatan yang terjangkau oleh keluarga Bu Yeti ini ialah puskesmas yang berada cukup jauh dari rumahnya. Namun hal itu bukan menjadi masalah bagi Bu Yeti.

Kondisi sekitar rumah Bu Reva yang saling berdekatan dengan rumah lainnya (foto diambil oleh penulis)
Kondisi sekitar rumah Bu Reva yang saling berdekatan dengan rumah lainnya (foto diambil oleh penulis)

Aset yang dimiliki oleh Bu Yeti Alvina ini ialah hanya sebuah motor yang ia beli pada tahun 2010 silam. Motor tersebut terbilang sudah cukup tua karena usia motor yang lama. Meskipun demikian, suami Bu Yeti sangat merawat motor tersebut karena hanya itu aset satu-satunya yang sangat bermanfaat dalam hal transportasi di keluarga mereka. Selain itu, mereka memiliki televisi dengan lebar layar 29 inci dan sebuah kulkas serta 1 penanak nasi. Mereka juga memiliki 1 buah handphone untuk mendukung aktivitas anak-anak untuk bersekolah dan mengakses sosial media untuk mendapatkan informasi.

Dalam kondisi keluarga Bu Yeti Alvina yang demikian, pada tahun lalu ia mendapatkan rekomendasi dari lurah setempat untuk mendaftarkan keluarga nya dalam salah satu program bantuan sosial “Program Keluarga Harapan” di tahun 2023 lalu. Setelah berhasil mendaftar dan mendapatkan persetujuan, keluarga Bu Yeti Alvina mulai mendapatkan bantuan dari pemerintah yang berupa beras sebanyak 10kg setiap bulan selama tahun 2023 dan mulai dialihkan menjadi uang tunai yang dapat diambil sebesar Rp 200.000 setiap bulannya di tahun 2024. Uang bantuan tersebut akan dicairkan ke dalam rekening Bu Yeti dan dapat diambil di bank.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun