Bagi pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di Swedia mungkin istilah "cashless society" udah nggak asing lagi. Kalau rajin baca berita dari negara kita, hal ini menjadi salah satu wacana yang tak henti-hentinya menjadi pembahasan hangat di media-media tanah air.
Pemerintah Indonesia saat ini juga sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), atau bisa dikenal juga dengan "cashless society". Isu hangat tersebut berkisar dari biaya top-up kartu e-money, pembebasan biaya penggunaan kartu kredit hingga pemberlakuan pembayaran non-tunai di hampir semua jalan tol di Indonesia.
Uang merupakan salah satu sistem pembayaran yang terus berevolusi mulai dari bentuk koin dan uang kertas, cek/giro, kartu kredit/ATM, e-money, e-wallet hingga virtual currency seperti bitcoin. Dengan perkembangan zaman yang sangat cepat, sistem pembayaran "cashless" memiliki banyak keuntungan, seperti lebih praktis karena nggak perlu repot bawa uang tunai untuk bertransaksi. Selain itu, biaya transaksi secara cashless juga tidak mahal dan bisa memudahkan kita dalam memantau histori transaksi.
Dalam indeks ini, Swedia merupakan negara di kawasan Nordic dengan peringkat tertinggi di antara Denmark, Norwegia dan Finlandia dalam hal kesiapan dan pelaksanaan digital money serta menjadi peringkat ke enam di dunia. Saat ini masyarakat Swedia sudah cukup terbiasa menggunakan sistem non-tunai di hampir seluruh transaksi, mulai dari belanja di supermarket sampai beli es krim di kedai pinggir jalan.
Pusat perbelanjaan maupun pertokoan di Swedia juga hanya menunjukan nilai transaksi tunai kurang dari 20%, di mana angka ini cukup jauh di bawah rata-rata transaksi tunai secara global, yaitu 75%. Hal yang lebih mengejutkan lagi, ternyata sebanyak 900 dari 1600 bank di Swedia sudah tidak menyimpan uang tunai maupun melayani setoran uang tunai.
Sebagai pelajar yang merantau untuk belajar ke luar negeri, khususnya Swedia, hidup tanpa uang tunai merupakan proses penyesuaian terhadap nilai-nilai budaya setempat. Di masa awal hidup di Swedia saya sempat cukup lama menyimpan uang tunai dalam bentuk Swedish Krona (SEK) di dalam dompet.
Namun, dengan banyaknya transaksi yang dilakukan secara cashless di berbagai tempat, saya pun memutuskan untuk tidak lagi menyimpan uang tunai dalam jumlah yang terlalu banyak. Biasanya saya menyimpan sekitar 50-100 SEK saja untuk beberapa toko yang masih membutuhkan uang tunai walau nyatanya bisa tidak terpakai sampai berhari-hari karena jarang dibutuhkan. Hidup di negara yang serba cashless, kuncinya adalah memiliki rekening bank.
Mulai dari belanja di supermarket, isi ulang atau membeli kartu transportasi, bayar taksi, isi ulang pulsa, makan di kantin kampus, semua dilakukan dengan kartu debit/kredit bank baik Visa maupun Mastercard dengan sistem PIN yang kurang lebih hampir sama dengan di Indonesia.
Memanfaatkan sistem online banking dan mendaftarkannya pada aplikasi, tiket dapat langsung dibeli dalam bentuk QR code yang nantinya bisa di-scan pada QR reader di dalam bus atau kereta. Bahkan untuk kereta jarak jauh milik Swedia yang bernama SJ, kita tidak perlu repot untuk mencetak tiket karena QR code bisa ditunjukkan selama pemeriksaan tiket.Â