Mohon tunggu...
Marlita Sihombing
Marlita Sihombing Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nababan

Doakan kerjamu, kerjakan doamu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Api Nan Sulit Menyala

8 Februari 2021   14:04 Diperbarui: 8 Februari 2021   14:06 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Api Nan Sulit Menyala

Oleh: Rut Marlita

Terbangun aku dari lelapku, kumulai dengan pengarahan pandangan kepada Sang Khalik, berharap mampu menjalani hari ini dengan segala cerita yang ada di dalamnya. Tak lupa juga membawa di dalam harapku bencana non alam yang menyelimuti tanah, tempatku berpijak. Kuakhiri dengan satu kata yang berarti pasti didengar.

Keluar dari ruanganku berbaring, aku hendak memulai suatu pekerjaan yang sebelumnya belum kulakukan. Memasak air memakai api kayu. Ya benar, di rumah kami sudah lama sekali tidak memasak dengan menggunakan kompor. Kuawali dengan mengisi air di dalam wadahnya, kuhitung setiap gayungannya. Wah sembilan gayungan untuk mengisi wadah air ini. Kubiarkan air itu, lalu membuka pintu belakang rumah dan melangkah ke arah pemasakan air.

Kulihat potongan karet ban. Aku ingat, setiap memasak air, pasti dimulai dengan membakar potongan karet ban ini. Kugesekkan mancis, potongan karet ban terbakar. Aku bingung, apa lagi yang hendak kulakukan. Oh iya, aku harus menciptakan tempat karet ini terbakar. Lalu kususun kayu pendek yang bersamaan menghadap ke depan dan saling bertemu. Karet ban masih menyala, dan sebentar lagi padam. Aku kehabisan akal, kulihat matahari telah menampilkan dirinya tanda aku yang menghabiskan waktu cukup lama untuk menghidupkan api ini. Kucoba lagi dengan membakar potongan karet yang lain, menyala. Dengan semangatnya, aku menggabungkan kayu yang besar dari tumpukan kayu yang telah dikumpulkan orang tuaku di samping tempat pemasakan itu. Namun, kayu yang besar itu memadamkan potongan karet ban tadi. Mungkin aku sudah menyerah, dan berpikir apa lagi yang harus kulakukan.

Tampak oleh ayahku aku yang kehilangan arah ini, dan menanyakan apa yang kulakukan di tempat pemasakan air itu. Ayah mendatangiku dan melihat yang telah terjadi. Bagaimana bisa aku menghabiskan potongan karet ban hampir sepertiga dari persediaannya? Kemudian ayahku mengambil alih dan memulai menyalakan api.

"Yang kamu lakukan dua tahap ini telah benar, Karina. Namun kamu lupa, api tidak dengan langsung membakar kayu yang besar ini. Kamu harus memulainya dengan membakar ranting-ranting ini. Setelah terbakar semuanya, kamu bisa melanjutkannya dengan kayu-kayu yang besar untuk menyalakan bara api ini." Ayah memulai tahap-tahap itu, aku memperhatikannya.

"Oh begitu ya, Ayah. Karina pikir, karena tujuan Karina untuk menyalakan api kayu, Karina hanya memulainya dengan membakar kayu itu, Ayah."

Sembari melakukannya ayah berkata, "Karina, semua butuh proses, semua butuh kiat. Untuk mencapai sesuatu, kamu harus setia melakukan kiat-kiat yang ada di dalam proses tersebut. Sama halnya dengan menyalakan api ini. Coba kamu sebutkan, apa saja yang tidak bisa dicapai jika tanpa kiat?" Ayah melanjutkan dengan rantingan kayu tadi.

"Ada Ayah, contohnya Covid-19 ini, sepertinya kita semua tidak akan sampai pada tujuan."

"Jangan salah Karina, penyeberan rantai virus ini dapat diputuskan, kok. Apakah kamu tidak memandang upaya pemerintah dalam mencapai tujuan kita bersama ini? Lihat saja, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat sebelumnya telah diupayakan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun