Yogyakarta merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang banyak menyimpan keindahan alamnya. Dibalik itu semua, tersimpan aktivitas kegempaan yang cukup tinggi di wilayah Yogyakarta. Kondisi ini disebabkan karena adanya pertemuan lempeng Eurasia dengan lempeng Indo-Australia di selatan pulau Jawa yang menyebabkan potensi terjadinya gempa bumi. Selain sangat rawan gempa bumi akibat aktivitas tumbukan lempeng tektonik, Yogyakarta juga sangat rawan gempa bumi akibat aktivitas sesar-sesar lokal di daratan. Kondisi tektonik semacam ini menjadikan daerah Yogyakarta dan sekitarnya sebagai kawasan seismik aktif dan kompleks.
Masih teringat dipikiran masyarakat Indonesia, peristiwa gempa bumi yang terjadi di wilayah Bantul dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006. Berdasarkan info resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gempa bumi tektonik ini terjadi pada pukul 05:53:58 WIB dengan kekuatan M=6,2. Berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta, gempa bumi tersebut mengakibatkan lebih dari 5800 orang meninggal dunia, 37.000 orang luka-luka, 84.000 rumah rata dengan tanah, dan lebih dari 200.000 rumah mengalami rusak ringan, sedang maupun berat. Kerusakan paling parah terjadi di Kecamatan Imogiri, Jetis, Pleret, dan Piyungan di Kabupaten Bantul dan Kecamatan Wedi, Gantiwarno, dan Bambanglipuro di Kabupaten Klaten.
Berdasarkan data diatas, fakta yang menarik adalah banyaknya bangunan yang mengalami kerusakan bahkan rata dengan tanah. Mengapa ini bisa terjadi? Faktor geologi tanah suatu wilayah sangat memengaruhi kondisi bangunan yang berdiri diatasnya. Semakin lunak kondisi tanah, maka semakin besar potensi terjadinya kerusakan ketika terjadi gempa bumi. Selain itu, faktor lainnya adalah rumah warga yang dibangun dengan tidak mempertimbangkan ketahanan terhadap gempa bumi. Pemilihan material dan konstruksi bangunan sangat perlu diperhatikan, dengan harapan bangunan akan tetap berdiri kokoh ketika gempa bumi terjadi.
Dengan melihat salah satu sejarah kegempaan di Yogyakarta, ada baiknya masyarakat di Yogyakarta lebih tanggap dalam mitigasi gempa bumi. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Hal tersebut tercantum dalam UU no 24 tahun 2007 pasal 1 angka 9.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan kerusakan infrastruktur lainnya, seperti memberikan pendidikan dan pelatihan dalam menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami, baik kepada petugas maupun masyarakat Yogyakarta. Hal tersebut harus dilakukan secara kontinyu supaya semua pihak siap menghadapi aktivitas gempa bumi di wilayah Yogyakarta. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah membangun kerjasama antar instansi terkait dan masyarakat, seperti BMKG, BPBD, dan Pemerintah Daerah Yogyakarta untuk bekerja sama memberikan sosialisasi dan pelatihan sedini dan sesering mungkin kepada masyarakat Yogyakarta, pada semua lapisan masyarakat dari hulu hingga hilir.
Di Yogyakarta bukanlah hal yang tidak mungkin membangun perencanaan sistem mitigasi yang baik. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan melatih masyarakat untuk tanggap menghadapi bencana, menghindari berdirinya bangunan di daerah yang termasuk dalam kategori rawan bencana (termasuk merelokasi pemukiman warga yang berdiri di sekitarnya), membuat sistem peringatan dini tsunami (Indonesia Tsunami Early Warning System/Ina TEWS), dan membuat jalur evakuasi yang sesuai dengan standar. Tidak ada salahnya belajar dari pengalaman yang lalu, karena sesungguhnya perubahan alam itu pasti selalu terjadi dan manusia harus mampu menyesuaikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H