[caption id="attachment_321927" align="aligncenter" width="254" caption="www.cherrybam.com"][/caption]
Aku malas mengakui bahwa kita berbeda.
Sebenarnya aku terlalu polos untuk mengartikan gerak-gerikmu.
Bahwa tiap kali kau menanyakan kabar adalah hal yang istimewa bagiku.
Tapi (mungkin) kau juga menanyakan kabar pada siapa saja, dan tak ada syarat istimewa untukku.
Bahwa kepedulianmu selalu aku rasakan, tiap kali kau berbicara.
Tapi (mungkin) kau selalu peduli pada teman-temanmu karena memang itu sifatmu.
Ataukah aku yang hanya merasa kau peduli? Padahal perlakuanmu sama rata pada siapa saja.
“Aku hanya bingung.
Berhentilah membuatku merasaselalu ada kemungkinan-kemungkinan yang indah padahal hal indah itu adalah perasaan yang kureka sendiri.
Aku selalu merasa gelisah, menebak-nebak tatapanmu.
Tatapanmu yang mengesankan.
Meski aku selalu keras pada hatiku, tapi aku terlalu menebak hal-hal yang indah.
Padahal (mungkin) kau biasa padaku.
Berhentilah melambungkanku dengan kata-kata manismu.
Biar aku tak berasumsi (mungkin) perkataanmu hanya candaan belaka.
Bahkan aku teramat sadar kata-kata manis itu tak lain hanya untuk gadismu.
Bisakah kau berhenti membuatku berharap? Karena tiap kali aku ingin berhenti, tatapanmu selalu meyakinkan untuk kembali mengagumimu.
Aku tidak ingin menjauhimu, aku hanya ingin biar hatiku pergi.
Biar meski ragaku disekelilingmu, namun hatiku tak bisa merasakan harapan.
Karena meski aku sekeras mungkin tak peduli namun hatiku takut kau pergi.
Kenyataannya aku takut tak ada yang peduli padaku, aku takut kau berubah.
Padahal banyak bukti yang memimpinku percaya pada kenyataan bahwa (mungkin) aku keliru.
Tapi hatiku tetap berdiri melihatmu.
Maka, jika kau tak bisa berhenti membuatku berharap, cukup dengan rasa sakit saja kau menyuntikku biar aku tetap ingat kau milik orang lain.
Maka bagiku rasa sakit adalah bahagia.
Bahagia atas perasaanmu padanya.
Bahagia bahwa aku tetap sadar diri.
Bahagia karena meski kenyataannya aku terlalu berharap, aku selalu ingat harapan itu hanya kurasakan sendiri.
Aku mohon beri aku rasa sakit yang lebih dari biasanya.
Entah mengapa, rasa sakit itu cepat menguap karena tatapanmu.
Jika hanya aku yang mencari rasa sakit itu, aku kesulitan meyakinkan hatiku.
Maka beri aku rasa sakit, biar aku lupa pernah memiliki harapan yang indah.
Biar hatiku tak menikung dengan kata “mungkin” ketika kau bersikap manis padaku.
Sekalipun aku malas mengakui bahwa kita berbeda.
Setidaknya dengan rasa sakit, aku bisa merangkak perlahan berhenti mengagumimu.
Karena meski dengan kenyataan tak cukup membuatku berhenti, maka sekali lagi beri aku rasa sakit.”
Surakarta, 27 Januari 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H