Aku Aminah, seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak, suamiku seorang abdi negara. Kami telah mengarungi kehidupan berumah tangga lebih dari sepuluh tahun. Sepuluh tahun bersama, ternyata masih membuatku tak mengenal suamiku sepenuhnya.  Banyak hal yang tak kupahami dari dirinya, yang  terkadang membuatku urut dada, bahkan ingin mengakhiri semuanya. Suamiku orang yang sangat labil, labil dalam sikap, perasaan, dan pemikiran, bahkan di usianya tak lagi muda. Kupikir seiring  berjalannya waktu, ia akan menjadi pribadi yang dewasa, lebih-lebih setelah memiliki anak, dan tentu usianya makin bertambah. Ternyata benar kata orang, menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan. Dan suamiku memilih untuk tidak menjadi dewasa. Di usianya yang sudah di angka 45 tahun, ia lebih memilih bersikap seperti remaja tanggung yang cenderung labil. Pendidikan dan usia tak menjamin seseorang bisa bersikap dewasa. Itulah kesimpulanku. Suamiku seorang sarjana yang bergelar S. Ag, yang seharusnya banyak memberikan bimbingan padaku dan anak-anak. Namun, nyatanya tak sesuai harapan. Aku yang hanya lulusan sekolah menengah harus melakukannya sendiri, mulai dari mendampingi dan mendidik anak-anak dengan sedikit ilmu agama yang kumiliki, dan tentu dengan ilmu parenting yang kuperoleh gratis dari Google, dengan harapan anak-anak akan menjadi pribadi yang sesuai dengan perintah agama, anak-anak yang bertakwa pada Tuhannya.
Sebenarnya aku sudah merasakan sikap labil suamiku sejak awal menikah, namun aku berusaha mengesampingkannya, dengan keyakinan bahwa ia khilaf melakukannya. Ia yang seorang sarjana agama tak segan-segan mengeluarkan sumpah serapah padaku karena kesalahan yang kulakukan, meskipun karena kesalahan kecil yang tak kusengaja. Namun, selang beberapa menit ia akan mencium dan memelukku dengan mengucap beribu maaf. Aku pun luluh, kembali memaafkannya  untuk kesekian kali dengan harapan ia akan berubah, karena pada dasarnya ia adalah laki-laki baik yang sedang khilaf. Sikap pemaafku ternyata tak membuatnya berubah, ia malah semakin sering menunjukkan kekhilafan-kekhilafan lain yang akhirnya membuatku lelah hati dan pikiran, lebih-lebih ketika putri sulungku sudah mulai paham akan perilaku ayahnya. Kadang sulungku melihatku menangis dalam diam, "Mama, kenapa menangis?" Tanyanya lugu sambil mengucek matanya yang masih menahan kantuk, kadang ia terbangun karena mendengar isakanku dalam keheningan malam. Mengeluh pada Tuhanku di sepertiga malam, agar derita batin ini segera diakhiri atau diringankan. Meskipun aku tahu, Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan kita, namun tetap saja ini melelahkan, sungguh menguras emosi. Sulungku Sebenarnya tahu kenapa air mata ini tumpah dari pelupuknya, karena ia tahu dengan pasti bahwa cinta pertamanya yang ia panggil ayah sudah beberapa hari tak berada di rumah, dan tak bisa dihubungi. Ya, ketika suamiku berada di luar rumah, ia tak ingin dihubungi, meskipun nomor handphonenya bisa dihubungi atau ketika aplikasi berwarna hijaunya dalam keadaan online. Ia tak mau diganggu. Ketika tak ada jawaban keluar dari mulutku, ia lantas memelukku erat. Hati ibu mana yang tak luka melihat putri kecilnya mencoba menguatkan ibunya yang sedang rapuh. Aku bertahan demi anak-anak. Klise memang, tapi itulah adanya.Â
Suamiku akan pulang setelah dua atau tiga hari "healing"Â bersama teman-temannya, tak menutup kemungkinan kadang kala ia menghilang hingga sepekan tanpa kabar berita. Ketika ia tiba di rumah, ia akan memohon berjuta-juta maaf karena tak bisa dihubungi dengan berjuta-juta alasan yang telah ia siapkan, lebih-lebih ia pulang dengan diantar ojek, tanpa mengendarai kendaraan yang ia gunakan sebelumnya.
Tuhan, izinkan aku mengeluh!
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H