..."Lina... sini injak-injak punggung bapak sebentar, nanti bapak kasih upah" kata bapakku siang sepulang beliau dari tempat kerja. "yeee ..yeee...yeee... !!" serruku girang karena akan di berikan uang belanja. Akupun bergegas naik di punggung bapak setelah bapak tidur tertelungkup.Tidak susah melakukan tugas itu karena sudah sering kali aku lakukan. Menginjak-injak punggung bapak sampai betis, dan setelahnya di berikan upah atau bayaran karena sudah bekerja.. hahaÂ
Bapakku memang galak, tapi beliau juga sangat baik. Beliau pandai menempatkan kapan harus tegas, kapan harus galak bak singa, kapan harus lembut dan kapan harus mengalah. Aku memiliki satu orang adik laki-laki dan lima kakak laki-laki juga lima kakak perempuan, Totalnya... Hayooo berapa hayooo...?? Hitung sendiri yaaa..upsÂ
"Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali" Aku bernyanyi sampai selesai dan mengulangnya berkali-kali sambil naik turun ke betis dan punggung bapak. Rupanya suaraku terlalu merdu untuk di dengarkan sehingga bapak terlelap, beliau bahkan mendengkur mengiringi nyanyianku, owh sudah di pastikan irama yang indah tentunya.Â
Kuperhatikan rambut bapak sudah tak wajar, sepertinya beliau lupa kalau harus mencukur rambut. Mungkin karena belakangan itu bapak sibuk, sehingga urusan cukur mencukur di abaikannya atau belum sempat saja. Tentunya dalam benakku yang sering kali mengeluarkan ide-ide menantang seketika melahirkan ide cemerlang. Aku turun dari punggung bapak dan berlari ke kamarku, mengambil bungkusan karet gelang yang di belikan ibu kemarin pagi sebagai upahku tidak ikut ibu ke pasar. Kata-kata upah itu adalah jimat bagiku.Â
Aku mengambil sisir dan karet gelang, lalu aku mulai dengan aksi jituku menyisir rambut bapak dan menguncirnya, wuiiih bagus sekali. Bapak tidak menyadari kalau rambutnya sudah ku kuncir atau ku kepang sedemikian rupa, puas saja ternyata aku sukses melakukan aksiku. Sambil senyum-senyum aku mengikat karet terakhir, tiba-tiba terdengar suara orang salam dari halaman depan "Assalamu'alaikum"... Ibuku yang sedari tadi sedang asyik menyulam kain bergegas keluar membukakan pintu ruang tamu, akupun mengenal suara itu. Dia adalah pamanku, adik dari bapakku.Â
"Paaak..pak" panggil ibuku, tapi bapak tak menyahut "Lin, bangunin bapak itu, kasih tau ada paman" Akupun membangunkan bapak, tapi dengan rasa campur aduk. "Pak..pak.. ada paman" Bapak yang sepertinya enggan bangun dari tidur nyenyaknya hanya menyaut"hmmm" ... Akupun bergegas masuk kamarku, lalu duduk di sela-sela lemari. Yaa waktu itu aku masih kecil, jadi aku muat nyelip di sela-sela lemari. Aku mendengar obrolan mereka, rupanya bapakku sudah beranjak dari tidurnya dan menemui paman "Waaah..hahaha, bagus sekali kuncirannya, doooh pasti itu kerjaannya Lina" suara pamanku meledek dan langsung mencurigai aku. Aku mendengar suara langkah bapak masuk ke kamarnya, mungkin sedang bercermin membuktikan kegantengannya setelah di kuncir anaknya yang menggemaskan seperti aku... "Lina..Lina" kata bapakku, Lalu memanggil ibuku "bu...buu... sini dulu minta tolong nih, bukain kuciran ini dulu, Lina ini ada-ada saja" kata bapakku.Â
Aku hanya terdiam menggigit jariku, padahal bapak tidak marah, tapi aku sangat ketakutan janga-jangan sepulang paman dari rumah, bapak akan memarahiku. Lalu aku berdo'a dengan sangat khusuk sampai meneteskan air mata, kira-kira begini do'aku " Ya Allah, Lina rela nggak di kasih upah, asal bapak jangan marahin Lina ya Allah, Lina takut ya Allah" di sini aku nangis "huuuhuuuhuuu" ...
Singkat cerita pamanku pulang, rasa cemasku semakin menjadi-jadi. Tapi ternyata bapak tidak memarahiku, beliau memanggilku "Lina... ini upahnya" Tapi aku tetap diam tidak berani keluar, "Liiin..yok, kok ndak keluar. Sini bapak ndak marah" ..Rupanya bapakku sudah bisa membaca pikiranku, tapi kali ini aku menang karena bapak tidak marah. Berlahan dengan rasa serba-serbi penuh warna seperti warna-warni gelang karet yang ku pakai menguncir rambut bapak, akupun keluar berlahan dengan langkah kaki pelan, wajah pucat, menunduk lemas, mau nangis, lebih tepatnya baru saja selesai nangis dan mau nangis lagi. Bapak menyodorkan sejumlah uang padaku, jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Ada rasa bahagia dalam lubuk hatiku yang paling dalam, tapi aku pura-pura bersikap biasa saja. "Mau ndak, ya sudah kalau tidak mau, bapak nggak jadi ngasih" kata bapak bergurau  "mau.." jawabku pelan.. "Bapak menyodorkan lagi uang itu sambil tersenyum "sini nak" kata beliau menarik tanganku dan memangku seraya mengecup keningku bertanda bapak benar-benar tidak marah padaku. Rasanya ingin ketawa, tapi aku tidak punya keberanian untuk merayakan kemenanganku terlalu awal, dalam hati aku sudah memikirkan akan aku belanjakan apa saja uang upahku ini, hmmm...sebegitunya aku. Ternyata aku berbakat menghitung uang sejak kecil, bakat terpendam yang luar biasa.. Hee
Aku yang merasa bahagia, bangga dan puas kembali ke kamar, karena rupanya bapakku juga akan segera berangkat ke masjid untuk shalat ashar berjamaah. Ku hitung hasil kerja kerasku hari itu, lalu kusimpan di bawah bantal. Aku menghitung-hitung apa yang akan aku beli, berapa harganya dan berapa yang harus aku tabung. Tanpa sadarkan diri aku terlelap tidur, padahal sudah masuk waktu ashar.Â
"Lina...Lina... bangun, ayo cepat bangun lalu mandi, belum sholat juga" ibu membangunkanku. Aku sangat kaget karena belum sholat dan mandi, bergegas aku menuju lemari pakaian dan mengambil seragam sekolahku, tak biasanya aku membawa seragam sekolahku masuk ke dalam kamar mandi, tapi karena hari itu aku sangat panik kalau sampai terlambat, jadi aku pikir akan lebih cepat jika sehabis mandi aku langsung memakai seragam saja di kamar mandi. byar byur byar byer.. aku mandi tanpa pakai sabun, yang penting judulnya mandi. Setelah selesai mandi, langsung menggunakan seragam sekolah dan berwudhu. Aku keluar dengan sudah berpakaian sekolah yang rapi, sambil berlari aku melintasi bapak, ibu dan kakakku yang sedang menonton televisi, kala itu masih zamannya TVRI dan TPI hanya ada dua channel itu saja yang ada. Lalu kakakku menyapaku "woi...mau ke mana pakai seragam..?" Aku menjawab sambil buru-buru masuk kamar "sekolah sih".. Lantas mereka bertiga tertawa berbarengan, rupanya mereka paham kalau aku kebingungan. Ibuku lalu menghampiriku ke kamar yang sudah siap-siap shalat, "Nah..trus itu mau shalat apa.?" tanya ibu, dengan sedikit ketus aku menjawab ibu "subuh..!" nada sedikit keras, karena aku jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan aneh mereka, yang sudah pasti jawabannya sudah jelas kalau pakai seragam mau ke sekolah, kalau sholat mau sholat subuh. Ibu mentertawakanku, beliaupun sampe tidak langsung memberitahuku kalau sekarang itu sudah sore bukan subuh, lalu sambil masih tertawa ibu memberitahuku "Nggak ada orang sekolah Lin, sekarang ini udah sore bukan subuh, shalatnya juga shalat ashar bukan subuh" ... Akupun bengong tak percaya, bapakku dari luar kamar membenarkan "Kan tadi bapak di kuncir rambutnya" suara bapak mengingatkan perbuatanku yang sudah membuat bapak salah tingkah di depan adiknya sendiri, kakakku mentertwakanku, rasanya ingin ku pukul dia dengan jurus mandraguna yang kumiliki, tapi ah kali ini aku memang kalah, aku sudah menyadari bahwa benar saat itu sudah sore. Akupun melanjutkan shalatku, yaitu shalat ashar dengan kiblat yang benar. Tidak lagi salah kiblat seperti cerita waktu di rumah nenek.Â
Selesai shalat, ku buka seragamku dan menggantinya dengan pakaian lain, lalu aku memamerkan uangku di hadapan kakakku sebagai pembalasanku dia sudah mentertwakanku. Saat dia meminta pada bapak, aku langsung memarahinya "enak saja, Lina capek nginjek-nginjek punggung bapak makanya di kasih uang" lalu tak lupa kuingatkan bapakku agar jangan terpedaya dengan hasutan politiknya. Huch enak saja dia...belum kerja, udah mau dapet duit.Â