Mohon tunggu...
Lina Hafs
Lina Hafs Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Hanya seorang wanita sederhana yang senang menulis walau tak ada yang membaca...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Tanah Masih Hitam

28 Maret 2015   07:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:53 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi: atasteof-myworld.blogspot.

Mana yang lebih berharga....kearifan, air mata, atau darah....??Di atas ladang-ladang nestapa yang hitamsetelah lautan, setelah pelabuhan, bandara dan terminalsetelah simpang jalan, hutan-hutan, tempat ibadah dan perkampungansetelah perdebatan serta pertempuransetelah ratusan juta mulut berteriak lantangmenanti jawaban yang tiada ada kepastianLewat pemberitaan kita dengar, kita lihat, kita mengertimereka bicara tentang anak bangsa, tapi tak bicara tentang kitamereka bicara tentang keadilan, tapi tak adil untuk kitamereka bicara tentang masa depan, tapi bukan masa depan kitamereka punya hati, tapi hati mereka bukan untuk kitaLalu siapa mereka...??dan siapa kita...??Ah...aku pening....!!!Derita seolah sudah sah menjadi milik bangsaYaa... milik anak bangsa yang mereka bicarakantetapi mengapa mereka selalu menyatakan segala halyang mereka sedang perjuangkan memakai nama kitaTanah masih hitam....tempat keringat kita bersimbah siang dan malamkita mungkin akan tetap bertahan di sinidi Tanah Air kita tercinta....IndonesiaDi sisi lain Negri kitaada seorang penari merentakkan kakinya tanpa ragudi lantai ia meliuk-liuk sambil berteriakseluruh ruang mata memeluk setiap geraknyasentakan leher dan kepalanya membuat tubuhnya seperti terangkat ke udarabetapa rentak kakinya kukuh penuh semangatserempak dengan bunyi gendang bertalu-taludi tempat lain...seorang nakhoda berdiri kukuh di belakang kemudinyamenghadang topan, badai yang menerjangtangannya berdarah, dadanya bergemuruhtanpa ragu kepalanya tengadah menerjang gelombangdia berusaha mengalahkan kecemasan dan bimbangdi tengah-tengah gemerlapnya kotaseorang  tua terhenyak di kursi megahsetelah mondar-mandir di ruangan yang surammatanya terbelalak ketika serombongan anak-anak mudadatang menghadap menagih janji, meminta jawabannamun di sudut yang terabaikan...di atas tanah hitam yang semakin hitamanak-anak penerus bangsa yang tiada berdosaanak-anak yang hanya mengerti Indonesia Merdekadan orang tua renta yang berlinang air matameratapi hitamnya tanah Negri sendiriTubuh mereka dingin, tangan terlipat di dadadi luar jendela menggema suaradan mereka hanya diam, tak mampu berbuat apa-apamereka hanya bisa mendengar tanpa tahu bicara apa-apamereka adalah anak Negri yang hanya mengerti Merdeka

_LinNa Marlina_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun