Pembajakan buku yang dilakukan secara ilegal tentu sangat merugikan banyak pihak. Oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan hanya untuk memperoleh keuntungan diri dan memperkaya diri dengan teganya merusak harga diri penulis dan penerbit bahkan merugikan pembeli. Pembajakan buku juga dapat mengakibatkan menurunnya semangat penulis untuk mengembangkan kreativitasnya dan menurunkan angka literasi karena rendahnya apresiasi terhadap penulis dengan membeli buku asli.Â
Pembajakan buku menunjukkan kurangnya kesadaran hukum dan moral daripada para pembajak karena tidak menghargai jerih payah penulis dan bahkan penerbit untuk menerbitkan buku berkualitas. Kualitas buku bajakan yang tidak layak, ditambah pembajakan buku sekarang ini tidak lagi dilakukan melalui buku cetak dalam bentuk fisik tapi melalui buku digital dalam bentuk pdf, dan aksi yang lebih parah lagi dijual dengan harga yang sangat murah diluar batas kewajaran diplatform penjualan online seperti : shopee, lazada, tokopedia. Penjualannya bahkan bisa diharga 500-1000 rupiah dalam bentuk buku digital.
Tentu hal ini membunuh penulis dan merusak citra penerbit. Pembajakan buku meruntuhkan semangat penulis untuk terus berkarya dan tentu juga sangat merugikan bagi penerbit, serta menurunkan penjualan ditoko. Banyaknya pihak yang dirugikan oleh karena perbuatan oknum yang tidak bertanggung jawab.(Baca: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/05/16/pembajakan-buku-membunuh-kreativitas)Â
Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, bahwa Pembajakan adalah Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara. Pembajakan buku ini jelas melanggar hak cipta sebagaimana dimaksud dalam UU hak cipta. Â Menurut Pasal 1 UU nomor 28 Tahun 2014, Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Â Perlindungan hak cipta secara otomatis muncul ketika ciptaan diwujudkan (dapat dilihat, dibaca atau didengar). Walaupun tidak didaftarkan pencipta tetap mempunyai hak, alasan untuk tetap didaftarkan untuk tidak menimbulkan sengketa hukum dikemudian hari dan sebagai bukti terhadap ciptaannya. Selain hak ekslusif, pencipta juga memiliki perlindungan berupa hak moral dan hak ekonomi. Â Buku termasuk hak cipta yang dilindungi tercantum dalam pasal 40 UU Nomor 28 Tahun 2014. Dalam konteks ini, buku memiliki dua jenis hak eksklusif, yaitu hak ekonomi dan hak moral, yang timbul dari pemikiran dan inovasi penulis atau pemilik hak cipta. Hak-hak ini memberikan kemampuan kepada pemilik hak cipta untuk mengontrol penggunaan karyanya, sementara orang lain tidak diperbolehkan melakukannya tanpa izin resmi dari pemilik hak ciptaÂ
Pembajakan terhadap karya cipta diatur dalam Pasal 113 ayat (3) dan ayat (4) UU Hak cipta.  Dalam ayat (3) berbunyi bahwa Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izinPencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).  Sedangkan dalam ayat (4) berbunyi sebagai berikut : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1O (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.O00.000.000,00 (empat miliar rupiah). Dan juga bagi marketplace atau tempat yang membiarkan perdagangan  pembajakan karya cipta itu sanksinya diatur dalam Pasal 114 yang berbunyi : Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil
pelanggaran Hak Cipta dan/ atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). PP Nomor 80 Tahun 2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pada Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) mengatur tentang larangan memperdagangkan barang ilegal, adapun bunyi pasal tersebut secara singkatnya menyatakan bahwa apabila dalam perdagangan melalui sistem elektronik memiliki hal-hal yang ilegal maka penyedia perdagangan elektronik tersebut akan mendapatkan sanksi.Â
Ada dua perlindungan hukum yang bisa dilakukan pemerintah untuk menindaklanjuti pembajakan buku tersebut. Perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif bisa dilakukan dengan penguatan hak cipta dan revisi UU Hak Cipta untuk lebih mengakomodir kebutuhan masyarakat, serta melakukan sosialisasi terkait pentingnya perlindungan terhadap hak cipta untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Sedangkan langkah represif yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pengawasan yang lebih ketat  agar pembajakan buku itu tidak terjadi dan merugikan penerbit, penulis bahkan toko buku resmi. Pemerintah bisa memberikan tindakan tegas untuk memberikan sanksi dan teguran kepada e-commerce yang membiarkan maraknya hal ini terjadi. Pemerintah juga bisa meminta toko-toko online dimaksud untuk memblokir pelaku tindak kejahatan tersebut. Kalau perlu sanksi pidana itu diterapkan agar bisa memberikan efek jera pada pelaku.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H