Gila, wanita itu memang kelihatan setengah gila. Dia mengaku hampir gila dan tidak hilang ingatan. hanya saja cara hidupnya yang tidak seperti wanita kebanyakan. Ku kembalikan tas tangannya, yang menurutnya itu tas mahal bermerk padahal yang kulihat hanyalah tas plastik usang milik salah satu mini market lokal di kota ini.
Dari ceritanya tadi kudengar lagi bahwa dia hanyalah wanita korban janji seseorang yang dianggapnya "lelaki idaman".Sepanjang perjalanan dari mulutnya terus keluar sumpah serapah. Mungkin ditujukan kepada Sang Kekasih,karena suaranya tak kudengar dengan jelas. Terlebih dia banyak berbicara dengan menggunakan bahasa "sunda", yang tak ku ketahui artinya.
Sesampainya di rumah kontrakanku, kupersilahkan dia istirahat sebentar. Sebelum nanti kuajak bicara lebih jauh.
Ada tetes bening bersama setiap kalimat yang dia ucapkan. Menghela nafas, kemudian terus bercerita. Sekarang suaranya sudah jauh lebih jelas dan masuk akal. Mungkin karena aku juga sudah mulai memahami keadaannya dan tidak merasa ketakutan lagi seperti tadi saat bertemu pertama kali.
Berjam-jam aku bersamanya, bersama wanita kutemui di jalanan tadi. Setelah berpamitan dan kupersilahkan dia berlalu.
Ada perih di hati ketika kuteringat cerita wanita tadi. Ada luka yang kembali menganga. Bukan karena aku yang bersalah atas "setengah gilanya".
Melayang, menerawang ke masa 24 bulan 16 hari yang lalu. Saat semua kejadian di cerita itu menjadi kenyataanku masa itu. Memang berat melangkah dengan jiwa terkoyak. Bahkan, raga indah pun tak jadi kebanggaan saat jiwa terluka.
Mencari arti luka di sepanjang perjalanan hidup dengan wanita-wanita yang mencoba mencerna luka jadi harapan. Setengah gila aku terluka, dulu. Hampir gila mendengar banyak cerita serupa dari puluhan wanita berbeda. Semua sama dalam balutan luka berbeda.
Sepoi senja menyapu wajah sendunya. Wanita yang sengaja datang ke kontrakanku untuk sekedar meminta aku jadi penyimak semua cerita hidupnya. Kali ini, tidak ada air mata di obrolan kami, hanya helaan nafas panjang kami mengakhiri obrolan senja itu. Obrolan kami terus berlanjut di senja-senja berikutnya.
Tentang wanita dan cerita, semua tak ada habisnya kudapati. Selama aku terus menyiapkan waktu di ujung hari untuk sekedar bertemu dengan mereka , baik yang sengaja datang maupun ku temui tanpa sengaja di antara panas hari dan dinginnya malam.
Bersama wanita-wanita yang sempat menghabiskan masa lalu dengan air mata dan putus asa, kutemui masa depan penuh harapan dan ketangguhan.