Politik tanah air sudah kembali mencair paska pemilu serentak 2019 lalu. Tim dari masing-masing kubu para kontestan yang ikut berlaga pun sudah dibubarkan. Baik dari kubu Tim Kemenangan Nasional (TKN) capres nomor urut 01, Jokowi-Ma'aruf Amin, maupun dari kubu Badan Pemenangan Nasional (BPN), Prabowo Subianto- Sandiaga Uno.Â
Koalisi tim pengusung dari masing-masing partai sudah menerima kenyataan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pasangan petahana Joko Widodo menang dalam pemilu tersebut untuk periode 2019-2024.
Namun, kini hanya menyisakan konflik yang terjadi dalam koalisi Indonesia Kerja, antara PDIP dengan Partai Nasdem. Sehingga, banyak yang meminta, partai yang dikomandoi Surya Paloh tersebut untuk keluar dari koalisi Jokowi-Amin. Tujuannya, agar tak terjadi gesekan dengan partai sesame koalisi lainya menjelang pelantikan pada Oktober mendatang.
Gesekan ini berawal dari merapatnya Nasdem kepada Gubernur DKI, Anies Baswedan untuk dicalonkan menjadi capres 2024-2029 mendatang. Hal ini, membuat PDIP merasa dikianati oleh Nasdem yang dianggap membajak Kepala Daerah untuk kepentingan satu golongan (nasdem) jelang tahun politik lima tahun ke depan. Selain itu, sebelum Pemilu 2019 NasDem banyak membajak kader partai lain untuk maju dalam pencalegan dan kepala daerah.
Salah satu pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Marianus Kleden menilai pertemuan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dengan Gubernur DKI Anies Baswedan merupakan bentuk "menakut-nakuti" PDI Perjuangan (PDIP) dan Jokowi. Semacam gertakan dari Surya Paloh.Â
Tentu sikap ini sudah menyalahkan estetika bagi rekan sesama koalisi. Meski tidak diungkapkan secara eksplisit, menurut Marinus, rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo demi persatuan bangsa akan dieksekusi melalui rekrutmen menteri dengan mempertimbangkan keterwakilan Gerindra. Begitu pula, partai-partai lain yang sebelumnya berada di kubu yang berseberangan dengan Jokowi pada Pilpres 2019.Â
Dengan kata lain, semua akan dilakukan agar tujuan untuk berkuasa dapat terwujud. Dalam politik tidak ada rencana yang tetap. Satu detik dapat berubah jika itu akan menguntungkan bagi sebuah partai. Anggapan yang selalu dianggap buruk diupayakan agar tujuan kekuasan itu terwujud, bukan untuk kemaslahatan orang banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H