Mohon tunggu...
Naomi Saerang
Naomi Saerang Mohon Tunggu... Pengusaha -

Langkah Awal Menentukan Hasil Akhir

Selanjutnya

Tutup

Politik

Come on! Siapa Pemilik Republik Ini?

7 Februari 2016   00:46 Diperbarui: 7 Februari 2016   01:13 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam buku Words of Wisdom yang ditulis oleh Dalai Lama, banyak kata-kata inspiratif yang dapat kita baca, salah satunya apa yang dikatakan beliau, “World belongs to humanity, not this leader, that leader or that king or prince or religion leader. World belongs to humanity”, jika diterjemahkan bebas mungkin dapat diartikan bahwa “Dunia adalah milik umat manusia, bukan pemimpin ini, pemimpin itu atau raja itu atau pangeran atau pemimpin agama. Dunia milik umat manusia”

Jika kata “world” dari sang Dalai Lama ini saya pahami sebagai Indonesia, maka menurut saya tak ada salahnya jika kalimat  tersebut saya pandankan dengan apa yang di katakan Bung Karno bahwa “This country, the Republic of Indonesia, does not belong to any group, nor to any religion, nor to any ethnic group, nor to any group with customs and traditions, but the property of all of us from Sabang to Merauke!” Bagaimana mungkin? Ya iya lah? memang keberadaan Indonesia saat ini tanpa harus mengakui hak yang sama, semua wilayah tersebut? Banggakah kita jika Indonesia tanpa papua atau "menjual" papua? Namun masih mengakui wilayah papua adalah bagian dari Indonesia? Munafik!

Apa artinya semua ini? Siapa pemilik Indonesia yang katanya kita cintai bersama ini? Apa mau dikapling-kapling sesuka hatinya menurut SARA, dan masing-masing membusungkan dada sebagai jagoan dan paling superior di Negara ini, bahkan dikondisikan hingga bertumbuh subur ketika otonomi (desentralisasi) diberlakukan di Negara ini? Dan ketika pergantian kepimpinan Nasional, yang merasa “kalah” menganggap wajib hukumnya “menjatuhkan” pemerintah yang konstitusional, dengan dalil perimbangan untuk mengawal jalanya pemerintahan. Menyerang membabi buta dan memanas-manasi rakyat, membuat resah bangsa ini. Apakah ini perbuatan yang patut diacungkan jempol? Terlalu!! Anda sebenarnya salah dipilih rakyat bila anda mewakili mereka, minimal saat ini saya yakin mereka meyadarinya.

Kata Bung Karno "Tuhan tidak merubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya sendiri", maaf kalau yang telah mengkapling Negara ini menurut SARA menyatakan diri mereka adalah pemilik dan penguasa sebenarnya negara ini,  “Emang Negara ini milik nenek lu ?” Kapan bangsa ini bisa merubah nasibnya sendiri? Sekali lagi terlalu!

Ketika Negara ini memiliki seorang pemimpin yang berasal dari kaum biasa, “tukang Kayu!”, banyak kalangan yang tidak menerimanya? Tampang “Ndeso” membuat mu malu di mata dunia? Dengan banyak dalil yang entah diilhami datang dari mana, ketika si “tukang kayu” beserta jajaranya berusaha melakukan perubahan ke arah yang lebih baik? Gak terima?  Ngambek? Demo? Saling Fitnah? Apalagi di era yang sarat dengan percepatan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, Dengan menggunakan dalil kebebasan berpendapat dan berekspresi, Sharing fitnah dianggap biasa, sesuka hati saling membunuh karakter  dan memecah belah bangsa. Bahkan yang mengaku dirinya pembela kebenaran dan kaum papa, tokoh nasionalis, akademisi jenius, pengamat keblinger ikut-ikutan menjadi contoh yang tidak pantas untuk generasi muda yang sebagian besar mengakses internet sebagai konsumsi sehari-harinya. Anda mencuci otak generasi muda lebih kejam dari seorang penjajah bangsa sendiri.  Apa jadinya bangsa ini kedepan? Anda bangga? Terlalu!!

Semua seolah-olah terserang virus narsis dan haus pengakuan. Merasa sudah berkomentar, memposting, nge-tweet bahkan menyediakan waktu untuk “kultwit “ dan merasa diri seorang patriotic yang sudah mencerahkan bangsa? Anda tak sadar menyesatkan mereka? Eh.. tetap keukeuh dan masih membusungkan dada hanya lewat tulisan? Come on, jujurlah pada diri sendiri, apa yang sudah anda lakukan secara nyata untuk bangsa ini. Tidak perlu dipertontonkan juga ketika anda memang sudah berbuat untuk rakyat, suatu saat mungkin akan ada penyemetan tanda kehormatan pahlawan kesiangan.  Kasihan!

Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita”, lebih lanjut kata Bung Karno. Maka sadarlah hai provocator, andalah antek-antek “imperialism” yang menjadikan bangsa ini bangsa tempe dan kuli, yang merasa hebat ketika sudah memanas-manasi rakyat ini. Anda tak lebih dari pemalas, bukan menjadikan bangsa ini sebagai rakyat yang berusaha untuk bekerja keras.

Jadilah cerdas! Bangsa ini bukan milik penguasa saat ini, bukan milik anda yang duduk di kursi empuk di Senayan, atau anda yang memiliki pengikut fanatik yang jumlahnya jutaan. Anda tidak ada arti apa-apanya, Negara ini bukan milik anda, kelak anda akan “mampus” (maaf) jika anda menghianati bangsa ini.

Ya sudahlah! Saya menutup tulisan ini dengan kata-kata Bung Karno lagi, “Apabila dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun

Sumber Gambar : www.pbs.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun