Tragis! itu kata yang terlontar dalam hati saat mata ini melihat kondisi kebun-kebun kopi rakyat yang ada disepanjang jalan desa Guru Kinayan dan Desa Suka Meriah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Tanaman yang buahnya diolah untuk minuman paling disukai diseluruh dunia ini merunduk karena tertimbun abu vulkanik dari letusan gunung Sinabung sejak bulan Oktober 2013 lalu. Seluruh tubuh tanaman tertutup oleh abu vulkanik, sehingga sulit dikenali tanaman tersebut jika kurang teliti kita mengamatinya. Menurut perkiraan kami, tebal debu vulkanik yang telah menimbun dua desa tersebut mencapai lebih dari 20 cm.
Sebahagian besar tanaman kopi tersebut sedang dalam kondisi banyak berbuah hijau dan predeksi kami mungkin satu bulan kedepan para petani yang telah meninggalkan desa dan ladangnya itu akan panen raya kopi. Namun alam berkehendak lain. Apa lagi beberapa hari yang lalu gunung Sinabung kembali mengeluarkan lahar panas yang diikuti semburan awan panas hingga merengut korban jiwa. Setidaknya ada sekitar 1000-an hektar tanaman kopi yang terkena dampak letusan gunung Sinabung, namun belum dirinci berapa presentase tingkat kerusakannya.
Semakin miris melihat situasi ini mengingat dalam satu bulan terakhir ini harga kopi ditingkat lokal lumayan bagus buat petani, dimana berada dalam kisaran Rp 23.000 - Rp 25.000 per kilonya. Sungguh ini bencana yang sangat beruntun. Mereka (para petani korban erupsi G.Sinabung) telah kehilangan harta benda dan mata pencaharian. Artinya, masalah belum berhenti sesaat gunung Sinabung berhenti meletus.
Ditengah kondisi yang belum dapat dipredeksi hingga kapan gunung ini berakhir meletus dan hingga kapan penduduk desa (saat ini jumlahnya berkisar 30 ribuan jiwa) hidup dalam pengungsian, ada angin segar yang datang dari beberapa orang ahli dimana disebutkan bahwa nantinya daerah bekas timbunan abu vulkanik akan memberikan berkah bagi masyarakat karena tanahnya menjadi lebih subur.
Anggaplah itu benar adanya, yang menjadi pertanyaan adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga tanah itu menjadi subur? Dua desa tersebut (Guru Kinayan dan Suka Meriah) merupakan salah satu sentra produsen kopi di kabupaten Tanah Karo, jadi pertanyaan berikutnya adalah apakah masih mungkin masyarakat mengusahakan tanaman kopinya yang saat ini sudah rusak? tidakkah mereka menjadi trauma akibat peristiwa letusan gunung Sinabung ini hingga tetap menanam kopi? Ini menjadi sebuah dilema, butuh perhatian serius dari banyak pihak dan tentu juga anda sebagi pecinta maupun penikmat kopi.
Tidak lagi hanya persoalan hama atau teknik budidaya atau bahkan pasar yang akan mengancam kelangsungan dunia perkopian di Indonesia, tapi bencana alam juga akan menjadi bagian yang turut andil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H