Mohon tunggu...
Markus Fernando Siahaan
Markus Fernando Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Pengelana

Aktualisasi tanpa Batas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ni Pollok, Sang Legong Legendaris

29 April 2021   17:41 Diperbarui: 29 April 2021   17:47 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PERINGATAN HARI TARI INTERNASIONAL

Lahir sebagai anak bontot dalam sebuah keluarga kecil di kota Denpasar dengan keadaan ekonomi yang memprihatinkan ternyata tidak mampu menghambat kesuksesan Ni Pollok. Terlatih sejak kecil dalam seni tari membawa Ni Pollok kedalam posisi terhormat di dalam suatu pelatihan seni tari bahkan disaat usianya masih enak setengah tahun.

Berbeda dengan teman sejawatnya yang menempuh pendidikan di bangku sekolah, Ni Pollok hanya menuntut pendidikan dari pengetahuan orangtuanya. Sama hal nya dengan kemampuan tarinya, Ni Pollok hanya mengembangkannya melalui tradisi yang ia saksikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kedatangan Adrien Jean Le Mayeur de Marpres, seorang pelukis Belgia menjadi titik tolak naiknya ketenaran Ni Pollok. Pelukis yang menjadi suami pertama Ni Pollok tersebut berkolaborasi bersama dalam menggapai mimpi mereka. Ni Pollok yang merupakan penari Legong Keraton yang handal dijadikan sebagai model objek lukisan sang suami. Tidak berhenti disana, lukisan sang suami juga dibawa hingga masuk pameran internasional. Tidak lupa tarian Legong Keraton Ni Pollok ditampilkan untuk disaksikan para penghuni negara tempat mereka pameran.

1985 Ni Pollok menghembuskan nafas terakhirnya. Hubungan Ni Pollok dan Mayeur yang tidak dikaruniai anak menjadikan mereka menyerahkan segala hasil kesenian mereka kepada pemerintah setempat. Saat ini hasil karya Ni Pollok dan suaminya Mayeur dapat kita lihat di Museum Le Mayeur yang ada di Bali.

Sedikit informasi tari Legong Keraton merupakan salah satu jenis tari yang berasal dari daerah Denpasar, Bali. Tidak semua orang dapat menarikan Legong Keraton. Hanya anak yang sudah tanggal gigi susunya lah yang dapat menarikan tarian ini. Tari Legong juga acap kali ditarikan dalam upacara keagamaan. Tidak heran jika penari Legong Keraton disebut sebagai orang suci. (Hidayat, 2008: 89)

Untuk saat sekarang ini, acap kali khalayak ramai menomor duakan seni dari pada akademik, terlebih seni tari. Seni dianggap sebagai tambahan dalam pendidikan atau bahkan hanya sebagai hiburan semata. Seni dijadikan sebagai pilihan terakhir dalam pengembangan karir. Dampaknya, seni semakin lama semakin terabaikan, dan bahkan beberapa diantaranya telah punah.

Seni bukanlah suatu hal yang hanya digunakan sebagai penghapus rasa jenuh dan resah. Seni merupakan suatu bagian dari emosi yang mampu membunuh segala beban hidup. Melalui seni, kesabaran dalam ketenangan akan lahir. Ilmu pengetahuan semakin lama akan semakin berkembang, namun apakah seni mampu bertahan? Hanya bertahan saja. Semuanya itu kembali pada kita. Siapapun kita, apapun profesi kita, tugas kita adalah mempertahankan seni supaya tetap bertahan dan mampu hidup berdampingan dengan kita, setiap saat, setiap waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun