Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) merupakan wadah perjuangan rakyat Papua khususnya bagi kalangan mahasiswa Papua. AMP bagi mahasiswa Papua adalah wadah untuk menyalurkan aspirasi “M” untuk Papua.
Selain itu, isu-isu utama dan isu sektoral yang selalu diwacanakan dan selalu menjadi bahan diskusi mereka ; Agenda Self determination, pelanggaran HAM, eksploitasi lingkungan, dan masalah kemiskinan. Secara umum disebut; masalah genosida, ekosida, dan etnosida.
Agenda AMP selama ini sejalan dan terorganisir dengan rekanan mereka ; Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Forum Independen Mahasiswa (FIM), Sonmapa, dan FRI-WP.
Arah pergerakan dan perjuangan mereka secara hirarki yang paling tinggi adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan United Liberation Movement For West Papua (ULMWP).
AMP sendiri terbentuk pada tanggal 27 Juli tahun 1998, bertempat di Manggarai Jakarta Selatan. Dilansir dari halaman Facebook AMP, alasan Organisasi AMP dibentuk karena situasi NKRI yang represif di Papua. Hal ini berpuncak pada situasi pelanggaran HAM yaitu peristiwa Biak berdarah pada 6 juli 1998 (Jubi, 2022). Selain itu, ada peristiwa Wamena berdarah, Abepura, dan peristiwa represif terhadap kongres Papua 1 di Jayapura. Sejarah kelam ini telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, misalnya tahun 1960an ketika terjadi operasi Trikora atau tujuan perebutan Irian Barat. Perjuangan AMP kini telah berusia 26 tahun. Sebagai wadah yang berjuang pada kaum tertindas di Papua tetapi juga berjuang terhadap hak-hak bangsa Papua yang utama adalah hak penentuan nasib sendiri.
Meskipun, menurut konstitusi Negara bahwa AMP merupakan organisasi terlarang karena memiliki ideologi berseberangan (kiri) dengan NKRI. Tetapi semangat perjuangan AMP kini semakin eksis sejak tahun 1998. Hampir setiap kota studi tersapa wadah Organisasi AMP sebagai media propagandis perjuangan terhadap politik orang Papua.
Pergerakan AMP dilandasi dengan teori-teori sosial secara luas sebagai metode untuk berjuang. Diantara umumnya AMP menggunakan prinsip Demokrasi terpimpin, Sosialis demokratik, dan Kapitalisme sebagai perlawanan terhadap Kapitalisme, Imperialisme, kolonialisme, Militerisme, dan Seksisme. AMP melihat bahwa Situasi Papua masih dominan terjadi eksploitasi sumber daya alam sebagaimana dapat merugikan OAP sendiri.
Masifnya mobilisasi militer dan para Transmigran ke Papua juga menambah permasalahan tersendiri bagi OAP. Hak-hak politik OAP di legislatif pada pileg 2024 misalnya, berdasarkan real count sangat minim di Provinsi Papua Barat Daya (PBD) sebagaimana hanya 1 orang dari 3 kursi. Kursi DPRD Provinsi PBD juga demikian, hanya 2 orang saja dari kuota 35 kursi.
Sedangkan di Kabupaten Sorong dari total 4 dapil dan kuota 25 kursi hanya 2 orang saja yang berpotensi menang dalam kontestasi Pileg. Fakta problematik perebutan hak-hak politik OAP ini akan berpotensi meningkatkan surplus kemiskinan bagi OAP, pengangguran, eksploitasi sumberdaya alam, dan melanggengkan ketimpangan secara sosial sebagaimana selama ini telah terjadi masif, teratruktur, dan sistematis dalam pengertian luas disebut sebagai bagian dari imperialisme dan kolonialisme.
Semangat AMP yang progresif menunjukan bahwa ideologi kiri semakin subur di Kalangan intelektual Papua ataupun Mahasiswa. Berbagai komite yang telah dibentuk di setiap kota studi seperti ; AMP Komite Pusat, Komite Bandung, Bogor, Jakarta, Bali, Banten, dan Malang, Jember, Yogyakarta, dan Maluku, dan Maluku Utara.
Setiap komite melakukan kajian, diskusi, dan aksi dapat menjadi senjata propagandis untuk mmelawan ketidakadilan oleh Negara. Hampir semua mahasiswa Papua telah bergabung secara kolektif juga telah sadar akan ideologi mereka. Kegiatan agitasi, propaganda, dan aksi sering dilakukan untuk memfasilitasi aspirasi atau tuntutan akan Kemerdekaan Papua. AMP berpandangan bahwa ada kecenderungan NKRI yang memiliki kesan di mata bangsa Papua sebagai Imperialisme, kolonialisme, Kapitalisme, dan Militerisme.
Adanya kesan-kesan seperti ini karena memang negara selama ini belum mampu membangun Papua dengan pendekatan yang tepat. Menurut penelitian LIPI (2008), bahwa terdapat empat akar permasalahan di Papua ; stigmatisasi, Pelurusan sejarah, pelanggaran HAM, dan Rasisme. Stigmatisasi adalah semacam pelabelan terhadap orang asli Papua (OAP) sebagai masyarakat yang kurang mampu dan tidak perlu diakui martabatnya.
Pelurusan sejarah adalah bagaimana negara harus menyelesaikan status integrasi Papua sebagaimana menurut AMP bawa penuh dengan dramatisasi seperti PEPERA misalnya. Telah terjadi rekayasa yang manipulatif dalam PEPERA 1969 dimana hanya 1025 yang memilih mewakili seluruh populasi OAP pada masa itu berjumlah kurang lebih 800.000 jiwa. Rasisme pun, masih sering terjadi, hal ini karena memang secara antropologi OAP secara fisik sangat jauh berbeda dengan ras Melayu di Indonesia.
Harapannya untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua harusnya Negara melakukan pendekatan khusus terhadap Papua. Memberikan semacam kebijakan khusus yang mestinya berbeda dengan otonomi khusus (otsus) karena kebijakan otsus sebenarnya adalah tiruan dari kebijakan di Provinsi Aceh setelah damai dengan NKRI melalui perjanjian HELSINKI tahun 2006.
Selagi negara masih gagal maka suara AMP terhadap hak penentuan nasib sendiri masih akan terus digaungkan. Otsus sejak masa kontraknya selama 20 tahun bermula pada tahun 2001, kini telah berakhir namun diperpanjang melalui UU otsus No. 2 tahun 2021.
Lahirnya kebijakanya tersebut, Negara berjanji bagi OAP dengan masa kontrak selama 20 tahun. Setelah tahun 2041 akan diberikan hak-hak khusus seperti pembagian hasil sumber daya alam sebesar 50% bagi OAP. Walaupun, banyaknya perjanjian dengan berbagai tawaran tetapi praktik negara dalam mengimplementasikan kebijakanya sangat tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh OAP. Otsus periode pertama tahun 2001 tidak dievaluasi namun diperpanjang tanpa mekanisme sesuai kearifan lokal (local wisdom) OAP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H