Mohon tunggu...
Markus Santoso
Markus Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

Postdoctoral Fellow di Fraunhofer IDMT, Erfurt-Jerman.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fenomena RBU di Indonesia

4 April 2014   21:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun silam, semangat entrepreneurship sempat menjadi hot issue diranah pendidikan kita. Mungkin hal ini didasari pada situasi saat itu dimana terjadi ketidakpuasan akan kesejahteraan masyarakat kita. Situasi ini diperparah dengan ada krisis global yang sempat melanda mayoritas negara di dunia yang sedikit banyak mempengaruhi roda perekonomian negara kita. Entrepreneurship dianggap sebagai dewa penyelamat dan pemutus rantai kesengsaraan di Indonesia. Fenomena ini ditangkap dengan cepat dan cerdas oleh civitas akademika kita dan dijadikan slogan baru dalam materi promosi mereka. Setidaknya beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berani mendeklarasikan dirinya sebagai universitas berbasis semangat entreprenurship.

Namun, akhir-akhir ini terlihat adanya pergeseran paradigma dari universitas di Indonesia menjadi universitas yang berbasis riset, atau bahasa kerennya Research Based University (RBU). Entah apa dasar yang melatar belakangi pergeseran jargon ini, apakah karena memang civitas akademik saat ini sudah melihat betapa pentingnya peran riset untuk kemajuan bangsa kita atau jargon sebelumnya sudah diangaap kurang marketable lagi. Entahlah.... Yang pasti dewasa ini rasanya universitas-universitas sudah tidak terlalu ramai lagi menghembuskan kalimat-kalimat berbau entrepreneurship namun lebih giat mempromosikan diri sebagai RBU.

Tercatat ada beberapa universitas di Indonesia terekam aktifitasnya, baik yang secara eksplisit maupun yang secara diam-diam, telah mulai mempersiapkan diri menjadi universitas berbasis riset. Ada sebuah PTS di daerah kota satelitnya Jakarta yang dengan jelas membuka identitas mereka sebagai RBU. Tak pelak, untuk mendukung visi tersebut, mereka telah mendatangkan banyak sekali putra/i Indonesia bergelar Doktor atau Ph.D yang sebelumnya merantau di luar negeri. Ada pula sebuah PTS di kota berjarak +/- 80 km dari Surabaya juga secara underground namun pasti mempersiapkan diri sebagai RBU. Rektornya yang merupakan Ph.D lulusan Jerman menggunakan networkingnya untuk membangun kultur riset di instansi yang ia pimpin.Terdengar pula informasi bahwa sebuah konsorsium scientific Jerman dan Indonesia sedang mempersiapkan RBU di Indonesia. Jika jargon RBU ini memang ternyata layak jual, jangan kaget jika kedepan akan banyak universitas-universitas melakukan migrasi visi serupa ke arah yang lebih berbau-bau riset.

Pertanyaannya adalah seberapa pentingkah peran riset dalam sebuah kehidupan berbangsa? Sejauh saya memahami, didasari oleh sedikit pengalaman hingga saat ini, saya mulai mempercayai bahwa riset itu memiliki peran penting bagi kemajuan sebuah negara. Ambil contoh Korea Selatan. Pasca perang dunia 2, ekonomi Indonesia masih 3X lebih besar dari Korea Selatan. Beberapa langkah dilakukan untuk mengangkat diri mereka dari keterpurukan, salah satunya adalah menjadikan teknologi sebagai salah satu ujung tombak kebangkitan mereka. Inilah salah satu dasar pendirian Korea Advance Institute of Science and Technology (KAIST).

Universitas ini didirikan untuk melakukan berbagai riset dibidang teknologi yang pada akhirnya akan menjadi kawah candradimuka untuk menggodok calon top-flight engineer lokal bagi negara mereka. Sekarang bisa kita lihat bagaimana negara ini bertransformasi menjadi sebuah negara maju dengan penguasaan teknologi yang mandiri dan mumpuni. Jika dibandingkan, saat ini perekonomian mereka sudah 10X lebih besar daripada Indonesia dengan GDP dikisaran $30.000 per tahun. Lebih mencengangkan lagi adalah Korea mampu bertransformasi dari negara miskin menjadi negara maju hanya dalam 1 generasi saja. Jangan tanya mengenai kawasan yang memiliki awareness tinggi terhadap dunia pendidikan seperti masyarakat Eropa. Di Jerman, universitas pertama didirikan sekitar tahun 1.300 an. Maka jangan kaget jika beberapa (ratus) tahun kemudian, bangsa Eropa memiliki 'bekal' yang lebih baik untuk 'mengendalikan' negara lain dengan peradaban dibelakang mereka.

Jadi, sebenarnya merupakan sebuah hal yang positif bagi bangsa kita ketika banyak universitas di Indonesia berani mendeklarasikan diri sebagai RBU. Sejujurnya, berkaca dari RBU yang sudah ada, perjalanan untuk menjadi sebuah RBU bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa hal yang wajib dipenuhi, yang pertama adalah dana. Riset butuh dana. Dana untuk membangun lab riset, pembelian peralatan riset, perekrutan peneliti, berlangganan publikasi akademik seperti jurnal dll. Dana layaknya bahan bakar dalam kendaraan. Semahal apapun mobilnya jika tidak ada bahan bakarnya maka mobil tersebut seperti properti yang tidak ada gunanya. Sehebat-hebatnya seorang peneliti, jika menghadapi keterbatasan dana maka ia harus melakukan kompromi sedemikian rupa atas output riset yang dihasilkan.

Riset juga membutuhkan dukungan, baik dari pemerintah, masyarakat dan industri. Pemerintah memang sengaja disebutkan diawal karena merekalah induk dari para warga negaranya termasuk didalamnya para periset. Berbagai kebijakan yang lebih kondusif untuk dunia riset perlu dipikirkan. Besaran nominal dan kemudahan akses akan dana riset juga masih memiliki ruang untuk improvisasi lagi. Namun, perkiraan realistis saya dalam waktu beberapa tahun kedepan susah mengharapkan perhatian lebih dari pemerintah terhadap dunia riset di Indonesia. Dunia pendidikan, apalagi riset, masih merupakan barang tersier dalam kehidupan berbangsa kita. Maka tidaklah terlalu berlebihan jika pejabat kita masih perlu memberesi hal-hal yang lebih primer terlebih dahulu seperti pemenangan pileg dan pemilu, pengembalian modal kampanye, lobi-lobi untuk transaksi politik demi kursi jabatan. Setelah itu (mungkin) baru mereka akan mulai memikirkan hal-hal sekunder seperti pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan, perbaikan infrastruktur, peningkatan pelayanan masyarakat dll. Baru setelah itu menyentuh hal yang lebih tersier seperti peningkatan alokasi APBN bagi dunia riset Indonesia dll.

Dukungan lain datang dari masyarakat. Masyarakat ternyata juga memiliki peran krusial dalam perkembangan dunia riset di sebuah negara. Diawal munculnya mobil Korea, masyarakat setempat tetap membeli mobil Korea tersebut walaupun mereka tahu bahwa kualitasnya masih dibawah mobil Jepang atau Eropa. Pernah saya tanyakan hal ini kepada salah satu orang Korea dan saya mendapat jawaban yang mengejutkan " kalau bukan kita, siapa lagi yang mau beli. Dari kita lah, produsen tahu masalah apa yang muncul dan akhirnya mereka bisa memperbaiki kualitasnya". Selain masyarakat, dunia Industri juga memiliki peran sentral dalam pengembangan dunia riset.  Periset biasanya lebih fokus pada pengembangan hal-hal baru dalam field nya masing-masing. Agar masing-masing topik riset dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai penggunanya, maka industri lah yang berperan untuk mengkomersialkan hasil riset tersebut menjadi sebuah produk massal. Dari hasil komersialisasi hasil riset inilah, dapat terbuka lapangan pekerjaan baru dan juga sebagian hasilnya dikembalikan lagi kepada dunia riset untuk pengembangan hal-hal yang lebih baru lagi.

Ada banyak cara dapat ditempuh untuk menyuburkan budaya riset. Salah satu yang paling mudah adalah melalui universitas. Dalam lembaga inilah kebebasan akademik dijamin dengan tetap berpegang pada kode etik yang berlaku. Pada organisasi inilah banyak ditemui para young gun dengan semangat, imajinasi dan kreatifitas yang tak terduga. Keberhasilan RBU di masa depan juga ditentukan oleh konsistensi dari para pemegang kepentingan dalam sebuah universitas tersebut. Tanpa konsistensi yang baik dan visi yang tajam dari civitas akademik terkait, jangan kaget jika suatu saat semangat riset ini akan dengan mudah digantikan oleh paradigma lain yang mungkin lebih marketable di masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun