KATA PENGANTAR
Sebelum saya memulai kata demi kata dan membentuk jalinan kalimat dalam sebuah tulisan yang akan terangkai dalam beberapa kertas ini baiklah kiranya saya mengucapkan banyak terimakasih kepada para dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pemahaman kepada kami para mahasiswa sehingga dapat mengetahui dan menggunakan pikiran (itu) dalam bertindak dan bertingkah laku di dalam setiap aktivitas yang kami lakukan.
Sebelumnya saya meminta maaf kepada bapak, jika tugas yang bapak amanatkan kepada kami dengan yang telah saya buat kali ini tidak memiliki kesesuaian. Judul ini (baca : “Liberalisasi Pertanian Dan Kemiskinan Di Indonesia”) saya buat dengan alasan bahwa (menurut saya) sebenarnya akar dari permasalahan mengapa bisnis dalam dunia pertanian tidak berkembang sampai dengan saat ini adalah secara penuh dilatarbelakangi Liberalisasi perdagangan sektor pertanian. Selain dari faktor klasik lainnya, seperti infrastruktur, kualitas input dan penggunaan teknologi dan sumber daya manusia dalam proses produksi, sifat produk pertanian dan kurangnya inovasi yang secara terpadu dilakukan, adalah sektor liberalisasi yang menjadi faktor dominan yang pada akhirnya mempengaruhi faktor-faktor seperti yang telah saya sebutkan. Ketika kesepakatan ini masih terus disikapi oleh pemerintah dengan tidak melakukan apa-apa, maka sebenarnya kita sedang berada dalam tujuan yang suram untuk masa depan dunia pertanian kita.
Berbicara masalah pertanian di Indonesia, maka kita pasti tidak akan dapat melepaskannya untuk juga memperbincangkan masalah rakyat. Berbicara mengenai rakyat berarti kita berbicara mengenai Indonesia, yang mana sampai saat ini kita masih menjadi salah satu negara dengan komposisi penduduk yang bekerja di sektor pertanian memiliki persentase dan jumlah yang besar, atau kalau ingin dikatakan sangat besar.
Kaitan yang erat antara pertanian dan penduduk Indonesia ini tidak akan dapat dilepaskan dari berbagai aktivitas ekonomi yaitu produksi-untuk memperoleh penghidupan dari pendapatan yang didapat, konsumsi-untuk dapat bertahan hidup, serta alokasi yaitu untuk dapat mendistribusikan output atau hasil-hasil produksi pertanian dari produsen ke konsumen. Rantai ini saling memiliki hubungan yang sangat erat dan dapat saling mempengaruhi aktivitas antar keduanya. Ketika keseimbangan diantara terganggu, maka tentu yang akan menjadi masalah adalah rakyat (baca : penduduk Indonesia) yang akan berujung terciptanya kemiskinan-yang sebenarnya harus diberantas oleh pemerintah.
Untuk itu, dalam tugas kali ini, liberalisasi (yang menjadi pemicu masalah tidak berkembangnya sektor pertanian), yang juga mengakibatkan meningkatnya jurang kemiskinan yang diderita oleh kebanyakan rakyat Indonesia, sehingga pada akhirnya saya memutuskan untuk mengangkat judul ini (baca : “Liberalisasi Pertanian Dan Kemiskinan Di Indonesia”)-yang menurut saya sangat relevan dengan kondisi yang kita rasakan, sebagai salah satu pengganti Ujian Tengah Semester (UTS).
Padang, 21 Maret 2012
Penulis
LIBERALISASI PERTANIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
A.Pendahuluan
Sejak diterbitkannya sebuah buku fenomenal (baca : The Wealth of Nations) pada tahun 1776 yang lalu, ekonomi dunia mengalami perubahan drastis, terutama paham yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Paham sebelumnya (baca : Merkantilisme) mengajarkan bahwa, satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sedikit mungkin impor. Ide ini terus berkembang dan diterapkan oleh negara kebangsaan modern seperti Inggris, Spanyol, Perancis, Portugal dan Nederland. Salah satu tokoh yang terkenal dan paling berpegaruh dalam menyebarluaskan aliran ini adalah Thomas Munn (1571 – 1641). Seperti yang dikutip dari salah satu bukunya yang berjudul England’s Treasure by Foreign Trade, Munn mengatakan bahwa :
“Meskipun sebuah kerajaan kaya akan sumber daya alami, atau melimpah dengan barang-barang yang dibeli dari negara lain, namun semua ini bersifat tidak tentu dan tidak begitu dapat dijadikan patokan. Dengan demikian, cara yang paling baik untuk meningkatkan kekayaan adalah melalui perdagangan internasional, yaitu melalui aturan ini : dengan menjual lebih banyak produk kepada penduduk asing dibanding dengan nilai konsumsi kita dari barang-barang mereka. Oleh karena itu...bagian dari stok kita tersebut (ekspor) yang tidak kembali kepada kita dalam bentuk barang (impor) harus dibawa kembali ke negara kita dalam bentuk kekayaan (emas)...
Kita mungkin...dapat mengurangi impor, jika kita dengan bijaksana dapat menahadiri dari konsumsi berlebihan terhadap produk-produk luar negri. Dalam aktivitasekspor, kita tidak hanya harus mempertimbangkan berlebihnya produk, namun juga harus melihat kebutuhan negara-negara yang kita ekspor. Dengan cara seperti itu, kitadapat mengembangkan berbagai pabrik/produk yang mereka butuhkan, dan melakukan segala usaha untuk menjualnya dengan menguntungkan, karena harga yang tinggi tidak akan menyebabkan kebocoran kecil dakam ekspor kita...”
Namun, setelah diterbitkannya buku Adam Smith, paham ekonomi dunia menjadi berbalik arah. Dalam bukunya Smith berpandangan bahwa pandangan Merkantilis tidak dapat dijadikan dasar dalam perdagangan internasional, karena menurut Smith paham merkantilis yang menitikberatkan pengendalian pemerintah yang ketat terhadap semua aktifitas ekonomi akan menimbulkan keguncangan dalam perekonomian. Bukunya The Wealth of Nations berisi pandangan-pandangan yang menentang pengendalian pemerintah yang ketat terhadap aktifitas ekonomi. Pandangan ini melahirkan Teori Perdagangan Internasional yang baru dan dikenal dengan nama Teori Keungulan Absolut. Teori ini mengatakan bahwa, jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolute terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolute terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam output iniakan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua negara yang melakukan perdagangan. Hal ini pasti akan dapat terjadi dan dilakukan mengingat tidak mungkin suatu negara ingin memproduksi semua komoditi yang diperlukannya. kejadian ini hampir sama dengan prilaku individu, karena individu pun biasanya hanya mampu memperoduksi komoditi yang dapat ia produksi dengan lebih efisien, kemudian menukarkan outputnya tersebut dengan komoditi lain yang ia inginkan atau ia butuhkan. Melalui cara ini, total output semua individu dapat dimaksimalkan.
Berdasarkan hal ini, negara-negara di dunia mulai menyusun suatu konsep perekonomian yang melandaskan setiap kegiatannya dengan paham perdagangan bebas. Pada bulan September 1986 setelah ditanda-tanganinya deklarasi Punta Del Este yang sering dikenal dengan nama Putaran Uruguay, perundingan mengenai liberalisasi perdagangan dunia dan melibatkan banyak negara dimulai. Indonesia sebagai salah satu bagian dalam perekonomian dunia ikut ambil bagian dalam setiap perjanjian internasional, salah satunya yaitu liberaliasi perdagangan di sektor pertanian pada tahun 1993. Dalam liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian, Putaran Uruguay telah menghasilkan dokumen kompromi pada bulan Desember 1993. Ada dua hal yang disepakati, yaitu:
1.Melaksanakan liberalisasi perdagangan, dengan menerapkan aturan permainan GATT di bidang pertanian; dan
2.Setiap negara menyusun besaran tarif yang akan diterapkan, serta melakukan konversi terhadap hambatan non-tarif ke dalam ekivalen tarif (Kartadjoemena, 1997; Feridhanusetyawan, 1998 dalam A. Husni Malian, 2004)
Atas dasar ini, pemerintah Indonesia berharap dengan diikutkannya Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional terutama komoditas pertanian akan dapat meningkatkan produksi pertanian dalam negri, seterusnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan terakumulasi menjadi berkurangnya pengangguran dan kemiskinan.
B.Masalah Liberalisasi dan Kemiskinan
I.Masalah Liberalisasi dan Kemiskinan
1.Sejarah Liberalisasi Pertanian
Wayan Reda Susila dan Made Antara dalam tulisan mereka yang berjudul : “Esensi dan Dampak Liberalisasi Perdagangan pada Subsektor Perkebunan” menuliskan sejarah singkat mengenai liberalisasi pertanian yang berisi :
“Masalah perdagangan produk pertanian sepertinya sudah ditakdirkan untuk menjadi biang keladi pertikaian dalam negosiasi GATT. Sejak persiapan Havana Charter (1940) yang merupakan cikal bakal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), sudah tidak ada kesepakatan mengenai bagaimana perdagangan komoditas pertanian harus diperlakukan (Werley 1989). Pertentangan ini kemudian berkelanjutan dalam penyusunan kerangka dasar GATT pada tahun 1947. Sebagian delegasi berpendapat bahwa perdagangan produk pertanian harus bebas sesuai dengan ketentuan GATT dan sebagian lagi berpendapat bahwa masalah tersebut harus ditata dengan melibatkan negara pengekspor dan pengimpor dan antara negara berkembang dan maju. Berawal dari sini, masalah perdagangan produk pertanian terus menjadi isu sentral pada perundingan GATT selanjutnya yaitu Dillon Round (1960-62), Kennedy- Round (1963- 67), Tokyo Round (1973-79), dan Uruguay Round (1986-1993).
Setelah melalui rangkaian perundingan yang alot dan panjang, GATT PU akhirnya ditandatangani pada tanggal 15 Desember 1993. Salah satu kekhususan putaran ini adalah dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda perundingan. Dengan perkataan lain, keberhasilan PU menyebabkan pemberlakuan sektor pertanian sama dengan sektor lainnya atau sektor pertanian tidak lagi diperlakukan secara eksklusif dalam kerangka GATT. Dengan demikian, distorsi perdagangan produk pertanian diharapkan akan hilang atau menurun sehingga terjadi peningkatan efisiensi dan volume perdagangan produk pertanian...”
Sejarah singkat yang ditulis oleh Wayan Reda Susila dan Made Antara memperlihatkan bahwa paham perdagangan bebas yang ingin dijadikan landasan dalam perdagangan internasional sangat sulit untuk diterima oleh semua pihak. Proses yang panjang dan memakan waktu yang lama membuktikan kepada kita bahwa konsep liberalisasi perdagangan terutama sektor pertanian belum diterima oleh semua pihak.
2.Masalah Liberalisasi Pertanian
Dari dulu hingga sekarang Indonesia masih disebut-sebut sebagai salah satu negara yang memiliki corak perekonomian agraris. Hal ini dapat dilihat dalam komposisi Produk Domestik Bruto PDB Triw I s/d III-2010 Terhadap Triw I s/d III-2009 dimana sektor pertanian menyumbang pertumbuhan sebesar 2,6 persen. Dilihat dari laju pertumbuhan dan distribusi PDB menurut lapangan usaha tahun 2005-2009 terlihat laju pertumbuhan sektor pertanian mengalami tren kenaikan. Hanya pada tahun 2009 pertumbuhan sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 4,1 persen.
Dilihat dari struktur neraca perdagangan, ekspor hasil pertanian periode Januari-Oktober 2010 naik sebesar 16,58 persen. Melihat peluang yang begitu besar, membuat pemerintah berinisiatif untuk mengikutsertakan sektor pertanian nasional dalam kerangka perjanjian perdagangan bebas dengan mitra strategis dalam kawasan ASEAN yang dikenal dengan nama AFTA dan baru-baru ini mengikutsertakan China ke dalamnya hingga menjadi CAFTA, serta kerjasama-kerjasama internasional lainnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah keikutsertaan Indonesia dalam setiap perjanjian internasional komoditi pertanian akan berlaku positif terhadap sektor pertanian? Pertanyaan ini sangat penting mengingat sektor pertanian memiliki peran strategis bagi Indonesia.
Husni Malian dalam tulisannya yang berjudul “Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia” menyebutkan
“Indonesia mengalami peningkatan impor pangan sejak liberalisasi radikal yang dilakukan pemerintah atas tekanan dari International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1998.Tingkat ketergantungan impor pangan meningkat dua kali lipat, yaitu beras sebesar 10 persen, jagung 20 persen, kedelai 55 persen dan gula 50 persen (Sawit, 2003 dalam Husni Malian, 2004)...”
Selanjutnya, Husni juga menyebutkan bahwa peran sektor pertanian sangat besar dalam menyerap tenaga kerja sebesar 68 persen dari total rumah-tangga di Indonesia. Hal ini tentu akan sangat memukul tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor pertanian
Selain masalah yang telah disebutkan diatas, penelitian yang dilakukan oleh Husni Malian juga menyebutkan bahwa terjadi kecurangan dalam pelaksanaan GATT. Dimana sampai saat ini negara-negara maju masih memberikan proteksi yang besar terhadap produk pertanian yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang untuk diekspor ke negara maju. Tidak tanggung-tenggung, proteksi yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan untuk melindungi produk pertanian yang dihasilkan petani-petani mereka, negara-negara tersebut menetapkan proteksi sebesar 116,2-463,4 persen (Duncan et al. 1999 dalam Husni Malian, 2004). Tidak hanya itu, ekspor produk pertanian dari negara-negara maju juga didukung oleh subsidi ekspor, dimana Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang membelanjakan subsidi untuk Sektor Pertanian pada tahun 1998 masing- masing sebesar US $ 142,2 milyar, US $ 101,5 milyar dan US $ 56,8 milyar (Pranolo, 2001 dalam Husni Malian, 2004).
Bukti ini semakin memperkuat pernyataan awal yang ditulis oleh Wayan Reda Susila dan Made Antara mengenai sejarah perumusan liberalisasi yang berjalan alot dan panjang.Bukti ini memperlihatkan bahwa dalam merumuskan kesepakatan liberalisasi perdagangan sektor pertanian, begitu banyak politik kepentingan yang coba diusung berbagai negara terutama negara maju untuk semakin menekan negara berkembang agar semakin tergantung kepada negara maju. Salah satu jalan yang paling strategis yaitu melalui mekanisme liberalisasi perdagangan sektor pertanian.
3.Masalah kemiskinan
Dari dahulu hingga sekarang, kemiskinan menjadi fenomena yang tidak habis-habisnya disorot oleh berbagai kalangan, baik akademisi maupun pengambil kebijakan dan tokoh-tokoh politik. Berbagai study telah banyak menghasilkan pengamatan-pengamatan empiris mengenai kemiskinan yang didasari dari berbagai aspek dan sudut pandang tertentu. Mengingat hal ini merupakan masalah yang hingga saat ini tidak juga kunjung usai untuk ditanggulangi, maka study-study sejenis terus dilakukan. Apalagi saat ini dimana struktur perekonomian indonesia telah berubah, fenomena kemiskinan semakin menjadi sorotan dan lahan bagi para akademisi untuk diteliti mengenai dampak apa yang dapat ditimbulkan oleh adanya interaksi perdagangan dunia dalam konsep liberalisasi perdagangan yang diikuti indonesia. Tidak hanya sampai disitu, kemiskinan dipandang dari faktor kemandirian akan menimbulkan beberapa masalah, diantaranya yaitu sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, akses kesehatan, kelembagaan dan pencerdasan politik.
Menurut Kuncoro (1997: 102–103) dalam anonim. Mengemukakan bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Definisi tersebut menyiratkan tiga pernyataan dasar, yaitu :
1)Bagaimanakah mengukur standar hidup ?
2)Apa yang dimaksud dengan standar hidup minimum ?
3)Indikator sederhana yang bagaimanakah yang mampu mewakili masalah kemiskinan yang begitu rumit ?
Untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada baiknya memunculkan beberapa kosakata standar dalam kajian kemiskinan (Friedmann, 1992: 89) dalam anonim sebagai berikut :
a)Powerty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk “keranjang pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan kalori dan protein utama yang paling murah.
b)Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif). Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan (karitas/amal). Sedangkan relatif adalah kemiskinan yang eksis di atas garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan kelompok non miskin berdasarkan income relatif.
c)Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-orang non-miskin, bersih, bertanggungjawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi memperoleh upah yang ditawarkan.
d)Target population (populasi sasaran adalah kelompok orang tertentu yang dijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah. Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta penghuni kampung kumuh perkotaan.
Dari data yang dikeluarkan BPS, persentase penduduk miskin Indonesia yang dilihat dari tahun 1998-2011 menunjukkan tren turun yang lambat. Jika coba dilihat dari jumlah, maka akan tampak bahwa masih begitu banyak jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia. data terakhir menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin per 2011 adalah 30,02 juta jiwa.
Padahal target pemerintah dalam program MDGs adalah sebesar 7,5 %. Suatu pencapaian yang harus dilakukan dengan kerja keras.
Masalah kecukupan pangan masih menjadi polemik sehari-hari dalam kemiskinan di Indonesia. Tidak sulit kemudian untuk menemukan penduduk Indonesia dengan pendapatan Rp 10.000,- per hari perkepala keluarga. Selain itu, jika dilihat dari angka kecukupan gizi anak saat ini yang ada di Indonesia yaitu sebesar 28,7%. Padahal target pemerintah dalam program MDGs angka kecukupan gizi anak sebesar 18%.
Masalah lainnya yang juga menjadi sorotan bagi masyarakat miskin yaitu akses untuk mengenyam bangku pendidikan. Meskipun saat ini pemerintah telah banyak menggelontorkan uang untuk mendanai proses pendidikan sebesar 20% dari APBN, akan tetapi disaat itu pula akses ke dunia pendidikan masih sulit ditembus oleh masyarakat miskin. Terlebih akses pendidikan tinggi. Hingga kemudian tidak asing lagi bagi kita jika melihat banyak anak berkeliaran di jalan raya sebagai peminta-minta, pemulung atau pun pengamen.
Masalah lain yang juga mendapat sorotan penting yaitu kelembagaan dan pencerdasan politik. Dalam masyarakat miskin, kelembagaan ditengah-tengah masyarakat sulit mereka masuki. Kecenderungan yang terjadi yaitu banyak kemudian masyakat miskin dikucilkan. Pencerdasan politik juga dirasa sangat kurang bagi kelompok miskin sehingga membuat mereka buta akan hak-hak mereka yang seharusnya mereka dapatkan dari pemerintah dan banyak kemudian membuat mereka tidak mengerti posisi yang melekat didalam diri mereka di suatu negara.
4.Penyebab kemiskinan
Menurut Baswir, (1997: 23), Sumodiningrat, (1998: 90) dalam anonim. Secara sosio-ekonomis, terdapat dua bentuk kemiskinan, yaitu :
1)Kemiskinan absolut adalah suatu kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, kalori, GNP per kapita, pengeluaran konsumsi dan lain-lain.
2)Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa yang lain.
Di samping itu terdapat juga bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan). Ia terdiri dari: (1) Kemiskinan natural, (2) Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan struktural (Kartasasmita, 1996: 235, Sumodiningrat, 1998: 67, dan Baswir, 1997: 23 dalam anonim.
1)Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir (1997: 21) kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1996: 235) disebut sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir.
2)Kemiskinan kuktural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997: 21) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya.
3)Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor- faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997: 21). Selanjutnya Sumodiningrat (1998: 27) mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kartasasmita (1996: 236) hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurkese (dalam Sumodiningrat. 1999: 150) sebagai suatu “lingkaran setan kemiskinan” yang meliputi enam unsur, yaitu : Keterbelakangan, Kekurangan modal, Investasi rendah, Tabungan rendah, Pendapatan rendah, Produksi rendah. Lain halnya dengan pendapat Chambers yang mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, di mana “deprivation trap” atau jebakan kemiskinan ini terdiri dari lima unsur yaitu: Kemiskinan, Kelemahan jasmani, Isolasi, Kerentanan, Ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut saling kait mengait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi(Chambers, 1983 : 145-147).
II.Pengaruh Liberalisasi Pertanian terhadap Kemiskinan
Banyak yang tidak menyangka bahwa perubahan dunia begitu sangat cepat terjadi, terlebih dalam proses perdagangan internasional. Ajaran Smith mengenai perdagangan bebas yang digagas beberapa abad yang lalu, sedikit-demi sedikit mulai dipraktikkan oleh setiap negara. Perubahan ini lah yang terjadi saat ini.
Praktik-praktik yang diupayakan setiap negara ini menimbulkan implikasi nyata dalam proses akumulasi pendapatan disuatu negara yang berujung pada terciptanya kesejahteraan masyarakat. Cita-cita ini terus didengung-dengungkan oleh para pengikut Adam Smith serta negara-negara maju kepada negara berkembang.
Namun sepertinya penganut ajaran klasik sangat keliru mengatakan bahwa liberalisasi dapat mewujudkan kesejahteraan.
“Sejarah memperlihatkan bahwa teori ekonomi pasar nampaknya tidak selalu berjalan efesien dan efektif, individu dengan motifnya masing-masing ternyata lebih sering melakukan cara-cara non produktif dan mekanisme pasar pun seringkali gagal mengoreksinya...(Maimun Soleh)”
Pengalaman Amerika Latin dan Indonesia membuktikan bahwa keterbelakangan perekonomian negara-negara berkembang karena adanya eksploitasi oleh pihak asing sebagai akibat hubungan ekonomi yang tidak adil dengan pihak asing.
Menurut Raul Presbich dalam Maimun Soleh, ketergantungan, kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara berkembang karena liberalisme menggunakan konsep pembagian kerja internasional dan konsep keunggulan komparatif yang dalam prakteknya menimbulkan ketidakadilan dan ketergantungan negara miskin terhadap negara kaya atau maju.
Penelitian yang dilakukan Tulus Tambunan lebih lengkap lagi dalam menjabarkan pengaruh liberalisasi pertanian terhadap kemiskinan. Hasilnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, sektor pertanian Indonesia menderita kerugian yang sangat besar dalam bentuk penurunan volume produksi sebesar 332,83%, dan khususnya produksi beras berkurang hampir 30%. Hasil simulasinya menunjukkan bahwa dampak awal pada ASEAN sendiri sebagai suatu wilayah ekonomi di dunia sebenarnya tidak terlalu besar. Namun karena produksi dari komoditi-komoditi pertanian di Indonesia memainkan suatu peran yang sangat besar, tidak hanya di dalam perekonomian Indonesia sendiri tetapi juga di dalam perekonomian ASEAN secara keseluruhan, maka dampak (negatif) terhadap Indonesia menjadi paling besar di dalam ASEAN. Selain itu, penerapan liberalisasi perdagangan, baik dalam lingkup AFTA maupun pada tingkat dunia (WTO), mempunyai suatu efek negatif yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekspor dari komoditi-komoditi pertanian Indonesia, yakni lebih dari 800%. Efek ini paling besar dibandingkan efek terhadap ekspor dari komoditi-komoditi pertanian dari negara-negara ASEAN lainnya. Di antaranya, ekspor beras Indonesia diestimasikan turun hampir 70%, dibandingkan misalnya Malaysia yang turun hanya 2,8%. Hanya untuk ekspor ternak hidup, baik di Indonesia maupun di negara-negara ASEAN lainnya diproyeksikan tumbuh positif.
Scollay dan Gilbert 1999a,b, 2000, 2001 dalam Tulus Tambunan, 2007, melakukan sebuah simulasi dengan memfokuskan pada sejumlah komoditi pertanian tertentu. Proses simulasi mereka didasarkan pada 3 skenario yang berbeda, yakni liberalisasi most-favoured-nation (MFN) tanpa keharusan timbal balik (non-diskriminasi non- kondisional) (A), preferential APEC free trade area (B), dan liberalisasi MFN dengan keharusan timbal balik (non- diskriminasi kondisional) (C). Hasilnya menunjukkan bahwa untuk tiga skenario tersebut liberalisasi perdagangan dunia (WTO) maupun regional (APEC) berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia; sedangkan negara-negara tetangga seperti Thailand and Malaysia menikmati keuntungan positif.
Berbagai penelitian mengenai dampak liberalisasi terhadap kemiskinan di Indonesia membuktikan bahwa Indonesia sebagai salah satu pelaku dalam kesepakatan perjanjian internasional dalam kerangka perdagangan bebas tidak diuntungkan. Atau dengan kata lain Indonesia dirugikan dalam kesepakatan tersebut.
III.Usaha-usaha Efektif untuk Memanfaatkan Liberalisasi
Agar liberalisasi tidak semakin nyata memperburuk perekonomian kita, terlebih kaum miskin yang notabene berasal dari sektor pertanian, maka sudah sangat penting bagi pemerintah untuk semakin gencar membantu petani agar dapat berdaya dan memiliki daya saing tinggi dalam menghadapi gempuran berbagai jenis produk yang dihasilkan negara lain terutama produk-produk yang dihasilkan dari sektor pertanian. Beberapa langkah strategis yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu
1.memfasilitasi pengembangan infrastruktur fisik dan kelembagaan, perbaikan sistem insentif usaha tani, dan mendorong pengembangan agroindustri padat tenaga kerja di pedesaan,
2.reorientasi arah dan tujuan pengembangan agribisnis padi dengan sasaran peningkatan pendapatan dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi, serta sebagai wahana dinamisasi perekonomian desa, dan#
3.pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan), teknologi, permodalan, kebijakan stabilisasi, dan penyuluhan untuk komoditas alternatif nonpadi yang bernilai ekonomi tinggi tetapi memiliki risiko yang besar (Tahlim Sudaryanto dan I Wayan Rusastra, 2006)
C.Kesimpulan
Cita-cita dan harapan untuk menjadi negara maju dengan tingkat kesejahteraan msayarakat yang tinggi tentu diharapkan oleh semua negara. Jalan untuk mencapai hal tersebut tentu tidaklah mudah dan sangat sulit ditempuh. Kerangka kerjasama perdagangan internasional dengan konsep liberalisasi perdagangan sektor pertanian yang telah disepakati bersama perlu disikapi dengan bijaksana oleh berbagai pihak, mengingat sektor pertanian memiliki peran vital dalam struktur perekonomian bangsa. Tidak hanya itu, sektor pertanian merupakan ruh dan nafas kehidupan rakyat yang mendiami bumi Indonesia. Untuk itu pemerintah dan segala elemen yang ada hendaknya berupaya dan bahu-membahu dalam mendorong dan meningkatkan sektor pertanian Indonesia agar menjadi negara agraris yang dapat bersaing di kancah internasional. Sehingga kemudian cita-cita dan harapan untuk menjadi negara maju dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Faktor Penyebab Kemiskinan
Antara, Made and Wayan Reda Susila. “Esensi Dan Dampak Liberalisasi Perdagangan Pada Subsektor Perkebunan” Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor dan Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Malian, A.Husni. 2004. “Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia” AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 135-156 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan A. Yani No. 70 Bogor
Rusastra, I Wayan and Tahlim Sudaryanto. 2006. “Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan” Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No.70, Bogor 16161
Sholeh, Maimun. “Akar Kemiskinan dan Ketergantungan di Negara-negara berkembang Dalam Perspektif Strukturalis Dependesia”
Tambunan, Tulus. 2007. “Efek-efek Ekonomi dan Sosial dari Liberalisasi Perdagangan dalam Pertanian di bawah China-ASEAN FTA: Kasus Indonesia”
Data Strategis BPS 2011
Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi BPS 2011
Laporan Millennium Development Goals 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H