Mohon tunggu...
Marketing Kitchen
Marketing Kitchen Mohon Tunggu... -

Marketing Kitchen! Gak tau kenapa, tiba-tiba kata itu muncul ketika saya mencari nama untuk blog baru ini. Dalam bayangan saya, dapur itu tempat dimana orang sibuk untuk membuat sebuah masakan yang enak. Terkait dengan masakan. Umumnya seorang chef akan mencampurkan berbagai macam bumbu dan pelengkap kedalam bahan utama supaya menghasilkan komposisi yang terlezat bukan? Nah analogi itu yang coba-coba saya gunakan disini. Dari kecil (SMP akhir Tepatnya) saya sudah sangat senang dengan Marketing. Untuk itu tentu saja Marketing adalah bahan dasar yang akan saya pakai dalam memasak. Tapi dari awal mengenal “Si Marketing” ini, saya yakin rasanya kok ada yang kurang ya, kalau si marketing ini beroperasi sendiri. Tentu harus ada teman-temannya! Buat saya yang basic-basic sajalah, manajemen operasi, keuangan dan sumber daya manusia sebagai penyedap rasa. Terakhir tentu saja sauce dan dressingnya yang menjadi payung dari semua itu, yaitu “Kepemimpinan”. Rasanya anda tentu setuju, kalau saya katakan bahwa elemen-elemen diatas tidak bisa dibiarkan bekerja secara parsial, terpisah-pisah alias sendiri-sendiri. Bisa-bisa kaya sayur kurang garam bukan? Semuanya harus sesuai takaran dalam resepnya. Tergantung anda mau buat apa betul? Prinsip ini pula yang mungkin membuat saya secara gak sadar tertarik pada bidang-bidang lain diluar marketing. Maka dari itu jangan heran kalau nanti blog ini banyak tulisan yang topiknya diluar marketing. Nah ini masakan yang saya buat kawan! Saya buat dengan sepenuh hati, sambil lirik buku resep kanan kiri. Soal enak atau engga, ya itu relatif ya….hehehe. Lidah orang kan beda-beda gan! Selamat Menikmati

Selanjutnya

Tutup

Money

Masih Percaya dengan Produk yang (Cuma) Berkualitas?

29 Maret 2014   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:19 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu pagi yang sibuk di stasiun commuters metro station di Washington, D.C. Seorang pria muda tampak asyik memainkan biola nya disalah satu sudut stasiun.
Seperti musisi jalanan pada umumnya, si pemuda juga menaruh semacam tempat dimana ia berharap mendapatkan sedikit uang dari pejalan kaki yang melintas.
Beberapa jam setelahnya, pemuda tersebut hanya berhasil mengumpulkan $59 dari pertunjukannya. Nama pemuda tersebut adalah Joshua Bell

Sampai disini mungkin tidak ada yang aneh dari cerita tersebut. Namun tahukah anda, beberapa hari sebelumnya, bell adalah seorang violist yang memenangkan Avery Fisher Prize for outstanding achievement in classical music.
Disamping itu Bell adalah seorang violist bernilai jutaan dollar yang mampu membukukan 200 international show dalam setahun. Luar biasa!

Lalu mengapa seorang Bell. Berdiri dan "mengamen" di stasiun? Sebetulnya adegan tersebut adalah bagian dari program washington post. How public recognize the maestro.
Tapi apa yang mau kita bahas disini bukan mampu atau tidaknya sekitar seribu orang yang melintas mengenali alunan musik Bell. Namun mengapa mereka tidak mampu mengenali nya.

Context vs content
Dalam konsep marketing modern. Banyak ahli yang percaya kalau "bungkus" alias konteks jauh lebih penting dari kualitas dasar alias konten itu sendiri.
Jika kita percaya hal ini, kita bisa memahami mengapa superdry bisa menjual sepotomg t-shirt lebih mahal dibanding t-shirt biasa yang kita beli di dept store biasa. Kalau bicara kualitas, anda pasti dengan mudah menemukan t-shirt lain yang memiliki kualitas dasar sama atau jauh lebih baik dari superdry

Ini juga menjelaskan mengapa burger king bisa menjual burgernya dengan harga tinggi namun tetap laris dibandingkan dengan toko burger rumahan

Yang dimaksud context disini bukanlah sekedar bungkus dalam arti sebenarnya. Namun "sepaket" upaya yang dilakukan untuk meningkatkan value produk itu sendiri. Bentuknya bisa macam-macam. Service yang juara, citra brand brand yang bagus, asosiasi brand yang kuat, dan lain sebagainya. Namun tanpa menyentuh aspek konten atau kualitas dasar produk sama sekali.

Kembali ke kasus Bell, alunan musik yang bell mainkan tentu adalah alunan yang tidak jauh berbeda dengan yang ia mainkan di theater house.
Perbedaannya adalah, tidak ada sorot lampu, panggung megah, kursi empuk yang menemani konser Bell di stasiun. Dan sekali lagi itu adalah context. Bell adalah Bell baik itu di stasiun maupun di gedung konser dan itu adalah content

Content sama context berbeda hasilnya tentu berbeda

3 reason why
Mohon dipahami bukan berarti kualitas alias context itu tidak penting, namun kami punya 3 argumen mengapa context is more important than content

1. Quality is basic requirement
Kualitas adalah dasar dari value produk anda, disini berarti kualitas memang tidak boleh anda kompromikan. Tapi punya kualitas bagus tidak menjamin produk anda punya value yang bagus pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun