Harus diakui bahwa, melalui micro teaching, para santri telah mengembangkan keterampilan pedagogis dasar mereka. Mereka menjadi lebih percaya diri; mengembangkan keterampilan komunikasi, dan yang terpenting, kelas micro-teaching telah membantu mereka mengembangkan keterampilan bertanya. Namun, pada umumnya persiapan mengajar (i'dad tadris), meskipun mengajarkan kepada mereka tentang keterampilan manajemen, seperti manajemen kelas dan waktu, dan keterampilan menulis modul ajar, namun i'dad tadris menjadi aspek pengajaran yang paling tidak mungkin tercakup secara maksimal akibat keterbatasan waktu dalam kelas micro-teaching, yang kemudian menjadi kendala bagi mereka selama mereka belajar untuk mengajar (amaliyah tadris).
Keistimewaan lain dalam filosofi pesantren modern adalah bahwa meskipun calon guru harus terus belajar, namun mengajar adalah cara terbaik untuk belajar. Para kyai pesantren modern menekankan bahwa "mengajarlah dengan baik, agar kalian pintar". Sehingga selama ini orang yang terlibat mengajar santri di pesantren sangat memegang teguh kata bijak "faaqidus Syai'i Laa Yu'thi", artinya ketiadaan sesuatu itu, (berakibat) tidak dapat memberikan sesuatu. Pelajaran penting dari kata bijak ini adalah bahwa siapapun yang tidak menguasai ilmu sebagai konten, maupun ilmu sebagai metodologi, niscaya ia tidak akan mampu membuat perubahan apa-apa terkait dengan upaya "ja'lu talamidz an yata'allamuu" (yaitu menciptakan kondisi agar santri terus belajar).
Disinilah point penting yang menjadi jawaban atas pertanyaan: "Bagaimana mungkin, santri di pesantren modern telah menguasai keterampilan dasar mengajar?"
Semoga bermanfaat......!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H