"Nggak, Rena. Aku ke sini beneran gak ada maksud seperti itu. Aku ingin tahu bagaimana keadaan kamu. Aku khawatir banget sama kamu." Inka menjawab sambil bersimpuh di hadapan temannya ini yang sekarang harus menggunakan kursi roda untuk memudahkannya berpindah tempat dari tempat satu ke tempat yang lain, karena kedua kakinya sudah tak dapat lagi digunakan untuk berjalan akibat musibah yang dialaminya.
      "Nggak mungkin kamu peduli sama aku. Aku tahu bagaimana kamu. Kamu pasti senang, kan, melihat keadaan aku yang sekarang?"
      "Nggak, Rena. Aku benar-benar khawatir sama kamu. Pak Reno bilang.."
      "Kakakku bilang apa?" Aku langsung memotong ucapannya itu, sebab ia terlalu bertele-tele untuk mengatakan yang sebenarnya sudah kuketahui maksudnya datang ke sini.
      "Bilang aku ini cacat? Aku lumpuh, gak bisa berjalan? Aku sekarang jadi merepotkan orang lain, karena harus pakai kursi roda ke mana-mana? Iya?"
      Aku terus memaki Inka dengan mencemooh diriku sendiri, hingga Kak Reno datang untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kami. Aku tak tahu kapan ia tiba di rumah, namun aku yakin ia pulang bersama Inka.
      "Ada apa Rena, Inka?" Kak Reno bertanya dengan masih mengenakan tas kerja yang ada di punggungnya.
      "Kakak kenapa bawa gadis ini ke sini?" Bukan menjawab, aku malah melontarkan kembali pertanyaan lain padanya.
      "Atau jangan-jangan kakak pergi sama dia sampai pulang ke rumahnya telat?" Tanpa disadari aku menuduh Kak Reno dan Inka dengan mengatakan itu.
      Mendengar hal demikian, Inka langsung membuka suara. "Nggak, Rena. Itu gak seperti yang kamu pikir. Aku memang ke sini sama Pak Reno, tapi.."
      "Tapi apa? Tuh, kan, benar kalian pergi bareng," lagi-lagi aku memotong ucapannya.