"Kakak pembohong! Aku kecewa sama kakak!" Tanpa sesuai dengan pertanyaan yang ia ajukan, aku menjawab apa yang tengah kurasakan pada Kak Reno, seperti Inka kala itu yang mengetahui aku dan Kak Reno bersaudara.
      "Kamu bicara apa, sih? Kakak gak ngerti," Kak Reno kebingungan mendapat jawaban tersebut dariku.
      "Kakak memang gak pernah mengerti perasaanku!"
      "Kakak memang gak mengerti apa maksud kamu, Rena."
      "Kemarin kakak sebenarnya gak ada urusan di sekolah, kan? Kakak sengaja beralasan itu dan menyuruhku pulang duluan biar aku gak mengetahui kakak pergi sama Inka, kan? Kakak tega membohongi aku! Aku kecewa sama kakak!"
      "Nggak, Rena. Itu gak seperti yang kamu pikir. Kakak benar ada tugas dari sekolah kemarin. Sekolah akan mengadakan acara dua minggu lagi, jadi kakak.."
      "Cukup, Kak! Aku gak mau mendengarkan apapun lagi dari kakak!"
Aku lalu pergi meninggalkan Kak Reno dengan hati yang marah tanpa memberi kesempatan padanya untuk berbicara lagi. Namun, ia dengan cepat menghentikan langkahku dan menjelaskan bahwa semua yang aku tuduhkan itu salah.
      "Cukup, Kak Reno!" Seketika aku langsung menutup mulut setelah mengatakan itu, karena sadar ini kali kedua aku memanggilnya 'kakak' beserta nama. Ia tak mau aku memanggilnya 'Kak Reno', seperti yang dijelaskan olehnya dulu padaku.
"Panggil kakak aja, ya. Gak usah pakai nama," Kak Reno menegurku saat adiknya ini memanggil dirinya sama seperti anak-anak lain yang merupakan tetangga kami dengan sebutan 'Kak Reno'.
"Tapi yang lain panggil Kak Reno dan kakaknya beserta nama, Kak?" Dengan polosnya aku mengatakan demikian yang kala itu berusia antara lima atau enam tahunan.