"Kalau gini, sih, aku jadi mau main terus ke rumah kamu. Biar bisa ketemu sama kakak kamu,"
"Hehehe,"
Saat itu aku tidak secemburu sekarang, bahkan aku biasa saja dengan sikap mereka yang juga menyukai Kak Reno. Mereka tidak seperti teman-teman perempuanku di SMA ini, yang berlebihan menyukai kakakku dan yang tidak se-'lebay' Inka.
Mungkin kami masih kecil dan baru beranjak remaja yang belum memikirkan masalah percintaan. Mungkin juga karena akunya saja yang berlebihan, takut Kak Reno tak menyayangiku lagi.
"Kalian ini bisa aja, deh. Kakakku itu laki-laki, udah pasti tampan, kalau cantik, kan, perempuan. Dan kalau aku cerita ke kalian tentang kakakku ini, nanti kalian jadi suka lagi? Hehehe. Oh iya, kakakku namanya Reno, sama kayak namaku, Rena." Begitulah jawaban santaiku menanggapi ucapan mereka tentang Kak Reno, tanpa harus marah-marah seperti sekarang kepada Inka.
Saatku masuk SMP, Kak Reno sudah duduk di kelas tiga SMA. Semakin besar, ia semakin tampan. Tetapi, aku tak sedikitpun memiliki 'rasa' melebihi dari seorang adik kepada kakaknya. Masa adik suka sama kakak sendiri, sih?
Aku malah sangat berterimakasih pada Tuhan, karena Ia telah menghadirkan seorang kakak seperti Kak Reno. Juga pada ibu yang telah mendidiknya menjadi lelaki baik dan menyayangiku. Hihihi.
      "Kakak pembohong, Bu! Aku gak mau lagi jadi adik kakak! Hapus nama kakak dari kartu keluarga kita, ya, Bu?" Dengan spontan, aku mengatakan itu yang mengundang ibu untuk tertawa.
      "Hahaha, kamu ini ada-ada aja, deh. Mana bisa kakak dihapus dari kartu keluarga kita? Kakak, kan, bagian dari keluarga kita, sayang."
      "Ibu aku serius! Mulai hari ini kakak bukan kakak aku lagi! Aku gak punya kakak pembohong kayak kakak!"
      "Maksud kamu pembohong bagaimana?"