Sumber Photo: http://sidomi.com/
Baru-baru ini pengamat ekonomi Faisal Basri melemparkan suatu pernyataan yang cukup kontroversial mengenai pendekatan ekonomi yang diterapkan Presiden Jokowi. Dia mengatakan bahwa “Jokowi lebih neolib dibandingkan dengan SBY”. Penilaian ini didasarkan karena Jokowi telah memutuskan untuk menyerahkan harga premium yang selama ini mendapat subsidi dari pemerintah. Menurut ekonom ini kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang bertentangan dengan semangat Nawacita yang digadang-gadang Jokowi selama ini.
Apa sih sebenarnya Neoliberalisme itu?
Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal seyogyanya adalah paham yang mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad keduapuluhan. Dengan menambah kata “Neo” sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik. Alasan yang diberikan oleh pendukung paham ini karena campur tangan pemerintah yang berlebihan akan mengarah pada penciptaan Distorsi dan High Cost Economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif.
Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas dengan cara menghilangkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi.
Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, namun pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.
Hal itu adalah salah satu dampak dari kemerosotan nilai rupiah, sehingga Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesiapun diwajibkan untuk melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.
Seperti halnya dalam setiap paham atau aliran pemikiran, pasti ada kebenaran yang tercantum di dalamnya. Namun jika hal itu diterapkan secara membabibuta dan tidak disesuaikan dengan konteks yang tepat maka akan timbul juga dampak negatifnya. Demikian juga dengan penerapan pemahaman ekonomi neoliberisme ini.
Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya yang belum terbangun, apabila ditekan secara total pemahaman ini maka ada bahaya akan terkuras habis sebagai akibat dari tidak terlindunginya Negara berkembang tersebut dari arus deras perdagangan dan modal.
Bahkan dalam gerakan neoliberal sendiri terdapat kritik terhadap banyaknya negara maju telah menuntut negara lain untuk meliberalisasi pasar mereka bagi barang-barang hasil industri mereka, sementara mereka sendiri melakukan proteksi terhadap pasar pertanian domestik mereka. Jadi ada kebijakan double standard dalam hal ini.