Sekolah Menengah Atas (SMA) Unggulan Garuda oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) kembali memantik perdebatan publik. Di satu sisi, program ini digadang-gadang sebagai solusi untuk mencetak talenta unggul yang mampu bersaing di tingkat global. Namun di sisi lain, langkah ini memunculkan kekhawatiran akan semakin lebarnya kesenjangan pendidikan antara sekolah unggulan dan non-unggulan.
Rencana pembangunan 40Visi Besar Sekolah Unggulan Garuda
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Prof. Stella Christie, menegaskan bahwa pembangunan Sekolah Unggulan Garuda bukanlah bentuk dikotomi antara sekolah favorit dan nonfavorit. Menurutnya, tujuan utama program ini adalah membangun talenta dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk talenta unggul yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi dan sains teknologi bangsa.
"Tidak ada dikotomi sekolah favorit dan nonfavorit. Tetapi yang kita harus pikirkan dalam suatu pembangunan sains dan teknologi dan pembangunan ekonomi negara, kita tentu saja harus membangun talenta dari setiap lapisan," ujar Stella dalam Taklimat Media 2025 di Jakarta, Jumat (3/1/2025).
Pelajaran dari Sejarah: Taruna Nusantara yang Redup
Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah memiliki sekolah unggulan serupa, yakni Taruna Nusantara, yang didirikan dengan visi mencetak pemimpin bangsa melalui pendidikan berkarakter ala militer. Pada masanya, Taruna Nusantara dianggap sebagai simbol prestisius, namun kini gaungnya mulai meredup.
Faktor utama yang menyebabkan redupnya sekolah ini adalah metode pendidikan yang cenderung eksklusif dan militeristik, yang akhirnya gagal beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Model pendidikan serupa sempat dianggap tidak relevan karena hanya mencetak individu tertentu tanpa memberikan dampak signifikan pada pemerataan pendidikan.
Apakah Sekolah Unggulan Garuda Mengulang Kesalahan Lama?
Ada kekhawatiran bahwa Sekolah Unggulan Garuda akan mengulang pola eksklusivitas seperti yang terjadi pada Taruna Nusantara. Jika kurikulum dan metode pendidikan yang diterapkan terlalu fokus pada mencetak talenta elite, maka risiko menciptakan kesenjangan baru dalam dunia pendidikan sangat besar.
Kebutuhan Indonesia saat ini adalah pemerataan pendidikan berkualitas, bukan pendidikan yang hanya dapat diakses oleh segelintir kalangan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih menjadi persoalan serius. Di tahun 2024, Indeks Pendidikan di daerah pedesaan hanya mencapai 62,5, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 71,3.
Edukasi untuk Semua, Bukan Sekadar Eksklusivitas
Pakar pendidikan menyatakan bahwa solusi terbaik untuk mencetak talenta unggul adalah dengan memperkuat sistem pendidikan yang inklusif dan merata. Menurutnya, pendidikan berkualitas harus dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi.